Dia Lahir untuk Berjuang

"Itulah ayat yang kerap diulang-ulang Marjuki suaminya setiap pulang dari pengajian bersama rekan-rekannya di Hizbullah. Tak jarang bila dirinya selalu berpesan agar kelak anak dalam kandungan sang istri dididik dengan ilmu agama dan dijadikan sebagai pejuang. Tak lupa pula, sosok Al-Khansa dan putra-putranya yang rela mati demi meninggikan agama Allah Swt. selalu diceritakan padanya dan juga jabang bayinya. Satu harapan lelaki yang kini sudah tiada itu, baik dirinya maupun istrinya tak ragu melepas anak-anak mereka pergi berjuang."

Oleh. Rosmiati, S.Si
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Udara siang berembus perlahan. Membelai wajah dua pemuda yang masih setia dengan pekerjaannya. Walau peluh sudah membasahi tubuh, keduanya masih bersemangat melakukan rutinitas.

"Man, sudah dengar pasal kedatangan Belanda di Surabaya?" tanya Suhut membuka pembicaraan.

"Sudah, Hut," jawab Iman singkat. Pemuda itu masih lihai memainkan cangkul ke tanah hitam yang akan ditanami tanaman palawija.

"Mereka mau menjajah kita kembali, Man. Kamu mau berjuang apa tidak?" resah Suhut.

"Lah, mau toh, Hut. Masa iya kita mau hidup dijajah terus. Ya, kita harus lawan! Dalam agama kita juga jelas, janganlah sekali-kali orang kafir itu menguasai umat muslim,".tegas Iman sembari menatap wajah sahabatnya.

"Kalau begitu, ayo kita gabung Hizbullah!" desak Suhut tak sabar untuk segera mengambil bagian.

"Hizbullah?" tanya Iman kembali kali ini pemuda itu menghentikan pekerjaannya.

"Iya, Hizbullah! Saya dengar pemuda Hizbullah akan ke Surabaya untuk membantu para gerilyawan di sana. Kita ikut ya, Man. Aku sudah izin sama Ayah dan Ibu. Alhamdulillah, diizinkan."

Iman sejurus terdiam. Lidah lelaki yang masih berusia belasan tahun itu seketika menjadi kelu kala Suhut menyebut kata ayah dan ibu. Pasalnya, pemuda itu hanya hidup berdua dengan sang ibunda. Mungkinkah ia tega meninggalkannya pergi berjuang?

"Gimana, Man?" desak Suhut yang tak sabar menanti jawaban dari sang Karib.

"Oh— a—ku maksudmu?" sahut Iman terbata-bata.

"Iya, tentu, Man. Di ladang ini hanya ada kita berdua. Kalau bukan kepadamu, lantas kepada siapa lagi saya akan bertanya?" kesal Suhut merasa tak dihiraukan oleh lelaki yang telah menjadi rekan mainnya sejak kecil itu.

"Saya harus izin Ibu dulu, Hut."

"Harus, Man. Restu ibu itu perlu."

Demikianlah percakapan dua pemuda desa di Blitar Selatan di sela-sela kerja di ladang milik kedua orang tua mereka. Terlahir di zaman penuh tantangan dan perjuangan, keduanya sudah terbiasa menjalani hidup susah dan menderita.


Saat itu, kabar pasal kemerdekaan sudah tersiar ke seantero negeri. Namun, tampaknya Belanda dan sekutu masih belum bisa melepas secara utuh negeri yang telah banyak menyumbang emas bagi negerinya itu. Tak ayal, Belanda kembali melancarkan serangan demi serangan lewat agresi militer I dan II. Rakyat pun akhirnya kembali waspada.


Blitar Selatan negeri dimana Iman dan Suhut tinggal, sebenarnya masih terbilang aman dari jangkauan tentara Belanda, hanya saja rakyat sudah berjaga-jaga. Pasalnya, pasukan Belanda sudah berada di Malang dan Surabaya. Tak menutup kemungkinan mereka akan merambah ke daerah lain di Jawa Timur.

Dan malam itu, pasca kabar Belanda sudah mulai bertengger di wilayah timur Pulau Jawa. Suasana di kampung-kampung kembali siaga. Tak terkecuali di desa Iman dan Suhut berada. Walau tak ada peralatan perang yang memadai, para pejuang dan warga sudah siap hadapi Belanda bila sewaktu-waktu pasukan yang juga membawa tentara Gurkha dari India itu tiba di sana.

Pohon-pohon bambu yang banyak tumbuh di sekitar desa mulai dipotong dan dibuat bambu runcing. Rumah-rumah kiai pun penuh dengan bilah bambu untuk dibacakan doa-doa mulia. Para kaum lelaki, tak luput dari pekerjaan ini setiap hari. Jembatan-jembatan penyebrangan dijaga oleh para pemuda. Khawatir ada kendaraan patroli Belanda yang menyusup ke sana.

Iman yang malam itu berada di rumah, sesekali membuka jendela yang terbuat dari anyaman bambu untuk melihat suasana desanya yang sunyi senyap di malam hari. Sesekali sayup angin membawa suara lantunan ayat-ayat suci dari Kiai Karto yang rumahnya terletak di sebrang jalan. Beliau adalah salah satu guru dimana Iman kecil belajar membaca Al- Qur'an.

Sorot matanya juga tak luput dari beberapa orang pejuang Hizbullah yang berpatroli keliling kampung dengan menenteng senjata Karaben di tangan mereka. Senjata itu, adalah hasil rampasan dari tentara Jepang pasca kala dalam Perang Pasifik. Para serdadu Nippon itu harus kembali dengan menelan kecewa setelah dua kota mereka hancur dibombardir oleh angkatan udara Amerika.

Tapi, ah, sudahlah. Begitulah hukum alam berlaku. Mereka yang tak bisa merasakan sakitnya penderitaan akan Allah timpakan hal serupa agar mereka dapat belajar dan merasakan betapa pilu dan sakitnya sebuah penjajah.


Sementara itu, para kaum wanita di setiap rumah sibuk memisahkan gabah dan jagung guna disimpan sebagai bekal bila sewaktu-waktu perang besar meletus. Kedatangan kembali Belanda dan pasukannya tentu menjadi tanda bahwa api perlawanan akan kembali menyala. Rakyat pun telah belajar dari pengalaman sejarah masa lalu, perang kerap membuat stok pangan mereka terkuras. Maka, mengantisipasi hal itu, kini para kaum ibu mulai menyimpan stok bersama-sama.

Iman yang siang tadi sudah membuat kesepakatan bersama rekannya, Suhut, bingung hendak dari mana memulai izin pada sang ibu. Tapi, setelah berpikir panjang, ia pun memberanikan diri untuk memulai pembicaraan. Pasalnya, semua pemuda di kampung telah mengambil bagian.

"Bu …" ucap Iman menghela napasnya.

"Iya, ada apa, Man? Kamu Sudah makan?" tanya sang ibu kembali sembari melanjutkan pekerjaannya.

"Bu, ada yang ingin saya omongkan."

"Ya, langsung saja, Man. Ibu sembari melakukan pekerjaan."

"Bu … saya berniat ingin bergabung dengan para pejuang desa untuk berjihad melawan penjajah," cetus Iman.

Lasmina tak bergeming. Seketika tangannya terhenti. Permintaan putranya itu sudah bergelayut dalam benaknya akhir-akhir ini pasca melihat anak-anak dari tetangga mendaftar sebagai pejuang. Tak menunggu lama, angannya pun melayang pada sosok almarhum suaminya.
"Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, …" (QS. An-Nisa[4]: 9)

Itulah ayat yang kerap diulang-ulang Marjuki suaminya setiap pulang dari pengajian bersama rekan-rekannya di Hizbullah. Tak jarang bila dirinya selalu berpesan agar kelak anak dalam kandungan sang istri dididik dengan ilmu agama dan dijadikan sebagai pejuang.

Tak lupa pula, sosok Al-Khansa dan putra-putranya yang rela mati demi meninggikan agama Allah Swt. selalu diceritakan padanya dan juga jabang bayinya. Satu harapan lelaki yang kini sudah tiada itu, baik dirinya maupun istrinya tak ragu melepas anak-anak mereka pergi berjuang.

Dan kini anak yang kerap ia belai dengan kisah heroisme para mukmin sejati itu telah tumbuh dewasa. Bahkan meminta untuk berjuang.

Wanita kelahiran Lodoyo itu hanya bisa menyeka air mata. Kala memori indah bersama sang suami menari dalam ingatan. Dengan nada serak, Lasmina coba membuka suaranya, "Ibu … Ibu bukannya tak mau, tapi … apa kamu bisa ikut perang?" imbuh Lasmina mencoba menyembunyikan alasan sebenarnya.

"Justru itu Bu. Saya akan belajar dengan teman-teman di Hizbullah," tukas Imam penuh semangat.

Bu Lasmina menghentikan sejenak jemarinya yang sedari tadi lihai memisahkan biji jagung dari bonggolnya. Wanita yang sudah puluhan tahun menjanda itu coba menjernihkan hati dan akal sehatnya. Pinta sang Anak, adalah sesuatu yang mulia.

Ditambah lagi, putranya lahir di masa negeri tengah dijajah. Maka, tentulah Allah Swt. menginginkan agar anak tersebut menjadi pejuang. Maka, sepatutnya ia berbangga bila dari rahimnya lahir sosok pejuang yang hanif dan ikhlas. "Ingat, Na. Anak kita akan lahir di tengah masa-masa sulit membayangi negeri. Dia akan menjadi pejuang. Maka, mudahkanlah jalannya untuk itu." lagi-lagi, wasiat sang Suami menghantui dalam ingatan. Sungguh, tak tega bila wasiat itu tak ditunaikannya. Namun, perasaan takut dan cemas dari seorang Ibu tetaplah tak bisa ditutupinya.

"Man, kita hanya berdua. Ibu sudah tak punya siapa-siapa lagi selain dirimu. Setiap malam Ibu selalu berdoa agar orang Belanda itu segera pergi dari negeri ini. Agar kau tak perlu pergi berjuang dan kita akan selalu bersama. Tapi, rasa-rasanya Ibu ini keliru. Justru Allah lahirkan kamu di masa ini untuk meraup pahala berjuang. Dan ibu harus ikhlas," ucap Lasmina menahan sesak di dadanya.

"Kapan kamu mau bergabung dengan Hizbullah?" lanjut Lasmina dengan bermandikan air mata. Wanita itu mencoba tegar walau hatinya tengah menangis.

"Minggu depan, Bu. Langsung berangkat ke Surabaya mau membantu pejuang di sana menghadapi Belanda," jelas Iman kepada wanita yang telah melahirkannya itu tanpa ragu.

"Minggu depan, Man?" tanyanya sembari menyeka air mata. Ingin rasanya ia melarang. Tapi, bibirnya sungguh tak mampu berbicara.

"Kenapa Ibu menangis? Tak sudikah bila anakmu ini pergi berjuang, Bu?" tanya Iman tak kuasa melihat wajah sendu dari sang ibunda.

Belum selesai perbincangan keduanya. Gendang telinga Iman menangkap suara aneh di atas atap gubuk mereka. Tak berselang lama, terdengar letupan keras di ujung kampung.

"Gluarrr"

"Ada Londo! Ada Londo! Lari! Ayo, lari!" teriak beberapa warga dari luar rumah.

"Ada pesawat Bu! Sembunyi Bu! Ayo keluar rumah, Bu! Masuk ke hutan belakang," desak Iman pada sang ibunda.

Lasmina kelimpungan. Wanita itu bingung hendak bagaimana?

"Kamu gimana, Man?!" cemas Lasmina.

"Saya akan bergabung dengan beberapa pemuda desa, Bu," ucap Iman sembari meraih tangan sang ibu, ia lantas menciumnya dan pergi.

Putra semata wayang Lasmina itu pun berlari meninggalkan ibunya. Dan benar saja, iring-iringan pesat tempur Belanda mondar-mandir di atas langit desa yang sedang disinari oleh indahnya purnama. Sontak bunyi kentungan warga bertalu-talu. Semua penghuni rumah berhamburan keluar lari menyelamatkan diri.

Suasana semakin mencekam, kala satu tembakan lagi dari peluru 12.7 mm kembali menghantam tanah warga, jatuh tepat di areal persawahan. Warga pun berteriak histeris.

"Gluarrr!!!"

Lantunan takbir dan doa tiada henti terucap dari lidah warga yang lari tunggang-langgang.

"Lari!!! Lari!!!"

Teriak beberapa pejuang seraya mengarahkan warga untuk berlindung di areal pepohonan bambu yang tak jauh darinya terdapat sebuah tebing curam yang bagus untuk berlindung.

Hampir sekitar 1 jam, pesawat tempur Belanda itu menghujani langit desa Iman dan Suhut. Kini kekhawatiran terbukti sudah. Pasukan Belanda akan menghampiri kampung mereka. Malam itu juga setelah suasana aman, pimpinan Hizbullah di kampung tersebut membatalkan sementara keberangkatan ke Surabaya dan seluruh pemuda diinstruksikan bersiap bila sewaktu-waktu tentara Belanda memasuki kampung mereka. Iman dan Suhut akhirnya bahu-membahu dengan para pejuang di desa mereka. Sementara Lasmina terus mencoba mendamaikan hati agar menerima kenyataan bahwa putranya lahir untuk berjuang membebaskan bangsa dari ketundukan pada selain Allah Swt.

Hadis Baginda Nabi saw selalu diingatan, "Bahwa bersiap siaga (Ribath) satu hari di jalan Allah lebih baik dari dunia dan apa saja yang ada di atasnya dan tempat cambuk seorang dari kalian di surga lebih baik dari pada dunia dan apa saja yang ada di atasnya dan berangkat pada awal hari (pagi) atau pada akhir hari (siang) untuk berperang di jalan Allah lebih baik dari pada dunia dan apa saja yang ada di atasnya." (HR. Bukhari)

Sungguh, ia harus benar-benar ikhlas sebagaimana ikhlasnya seorang Al-Khansa, ibu dari para syuhada mulia.

Selesai

Catatan:
Londo: Belanda[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Rosmiati,S.Si Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Mencintaimu
Next
Generasi Z dan Milenial Berpolitik, Siapkah?
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram