”Sangat disayangkan, jika ada umat Islam yang memiliki akidah Islam menjadi pembela sistem demokrasi. Padahal demokrasi adalah jalan untuk menguasai umat Islam, seperti ‘lubang biawak' yang digunakan untuk menjebak para pendukungnya.”
Oleh. Wa Ode Mila Amartiar
(Tim Media : NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Puluhan tahun sudah negeri ini mengadopsi sistem demokrasi, namun justru semakin ke sini wajah aslinya mulai terlihat. Sistem demokrasi tidak lagi memakai topeng kepalsuan yang tersembunyi di balik jargon “Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Faktanya selama ini justru rakyat yang menjadi korban demokrasi. Sistem politik menipu, mengatakan rakyat pemegang kedaulatan, namun realitasnya yang berkuasa adalah para oligarki. Sering kali masyarakat harus demo besar-besaran demi menentang kebijakan rezim yang dinilai tak adil. Katanya untuk rakyat, namun sekalipun mayoritas masyarakat menginginkan perubahan tidak akan didengar, justru suara mereka sering diabaikan, ditentang, dan dibungkam oleh penguasa.
Demokrasi lahir dari sebuah ideologi kapitalis-sekuler telah memberi jalan tol bagi para pemilik modal untuk menguasai kekayaan alam negeri-negeri ringkih, termasuk Indonesia. Akibatnya sistem ini berhasil menciptakan kesenjangan strata ekonomi yang sangat tajam. Di dunia ini, 62 orang memiliki kekayaan yang setara dengan kekayaan setengah dari penghuni planet berjumlah 3,6 miliar orang. Di Indonesia 1% orang terkaya menguasai setengah aset kekayaan negeri ini. Kesenjangan ini banyak melahirkan jerit penderitaan yang tak berkesudahan. Bahkan kritik dilancarkan tepat di jantung kapitalisme Amerika Serikat, dalam gerakan “Occupy Wall Street”, mereka menuntut keadilan dengan meneriakkan “kami 99% dan mereka kapitalis 1%”. Para aktivis memprotes ketidaksetaraan sosial dan ekonomi, angka pengangguran yang tinggi, keserakahan, korupsi yang tiada henti, dan seabrek masalah lain yang menimpa. Hal ini membuka perspektif baru tentang cacatnya sebuah sistem hasil pemikiran manusia akibat mereduksi peran Sang Pencipta.
Kelemahan Sistem Demokrasi
Sejatinya demokrasi adalah aturan yang lahir dari akal manusia yang pada hakikatnya terbatas dan tidak luput dari khilaf. Alhasil, sistem ini tidak mungkin bisa sempurna, jangankan untuk menyelamatkan sebuah negara, menyelamatkan sebuah keluarga dari kehancuran saja mustahil dilakukan. Adapun kelemahan-kelemahan sistem demokrasi, antara lain:
a. Biaya Pesta Demokrasi Sangat Mahal
Dilansir dari detikNews, presiden Jokowi mengumumkan perkiraan anggaran Pemilu kepala daerah serentak pada 2024 mencapai Rp110,4 triliun. Sungguh nominal yang fantastis di tengah kondisi rakyat yang semakin tercekik. Dana tersebut bersumber dari APBN, yang sebagian besar bersumber dari pajak (10/4/2022).
Anggaran pemilu dan pilkada ini dinilai kurang relevan dengan kondisi sekarang, di mana negara ini baru saja pulih dari masa pandemi. Banyak yang menyayangkan dana sebesar itu harusnya digunakan pemerintah untuk memfokuskan anggaran dalam pembenahan sistem manajemen kesehatan dan pendidikan, serta upaya pemulihan ekonomi nasional, sehingga rakyat bisa keluar dari kemiskinan.
b. Gagal Menghadirkan Sosok Pemimpin Ideal
Inilah kelemahan mendasar demokrasi, di mana calon-calon yang diberikan oleh parpol adalah hasil pilihan sepihak dari para elite parpol itu sendiri. Tentu saja standar utamanya adalah sosok yang memiliki modal besar. Padahal, di luar sana masih banyak orang yang pantas. Para calon yang disuguhkan terkadang tidak mempunyai kapasitas sebagai seorang pemimpin, tidak memiliki integritas dan kemampuan intelektual yang mumpuni.
Indikasi kecurangan sering terjadi, bahkan jauh sebelum masa pemilu tiba. Ditemukannya bukti-bukti money politic seperti pembagian sembako, kaos, kalender, serangan fajar, baliho, dan pernak-pernik lain yang bergambar pasangan calon. Hal ini mereka lakukan untuk membeli suara rakyat dengan memanfaatkan kondisi mereka yang sedang terpuruk. Terkadang biaya yang dikeluarkan untuk satu paslon lebih dari Rp10 miliar. Hal ini menyebabkan para pemimpin yang terpilih akan berusaha untuk mengembalikan modal.
Rakyat yang masih menaruh harapan pada sistem demokrasi terpaksa harus menelan pil pahit akibat selalu dicurangi oleh caleg pilihannya. Meskipun pasangan yang dicalonkan menang, tidak menjamin kehidupan akan berubah selama masih menggunakan sistem yang sama.
c. Demokrasi Gagal Memberantas Korupsi
Korupsi di negeri demokrasi seakan tidak pernah mati, justru makin menjadi-jadi. Prihatinnya lagi, korupsi menjerat hampir semua instansi pemerintahan, tanpa terkecuali. Besarnya biaya yang digunakan selama masa kampanye ternyata menarik para pemodal yang merupakan pengusaha, untuk menyuntikkan dana pada caleg pilihannya. Hal ini menyebabkan pengusaha dan petinggi negara selalu bekerja sama. Membuka peluang aksi suap-menyuap antara pengusaha dan penguasa. Pengusaha membutuhkan kebebasan dalam berbisnis, sementara penguasa membutuhkan modal besar untuk menduduki kursi jabatan. Akhirnya, para caleg yang terpilih selama menjalankan kekuasaannya bertujuan untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya, demi mengembalikan modal politik maupun untuk mencari keuntungan tambahan. Kondisi seperti ini menjadikan korupsi bukan lagi menjadi pilihan, namun sudah menjadi kewajiban.
Anehnya lagi, menurut ICW (Indonesia Corruption Watch) melaporkan sepanjang tahun 2020, bahwa sanksi yang diberikan kepada pelaku korupsi terlalu ringan, yakni rata-rata hanya 4 tahun. Hukum terlihat sangat royal memberikan remisi (pemotongan masa tahanan) terhadap pidana korupsi. Pemerintah mengklaim bahwa itu merupakan amanat undang-undang. Hal ini semakin membuktikan bahwa peradilan tidak aman dari intervensi politik. Realitasnya, hukum sering berlaku tumpul pada mereka yang bersama rezim, namun tajam pada kelompok parpol lain.
Kebebasan yang Kebablasan
Demokrasi lahir dari akal dan hawa nafsu manusia yang mengagungkan kebebasan dalam segala hal. Berikut adalah dampak-dampak negatif akibat kebebasan yang kebablasan ala sistem demokrasi:
a. Kebebasan dalam Beragama
Kebebasan ini berdampak fatal karena membolehkan seorang muslim untuk berpindah-pindah agama sesuka hati, sehingga sering kali menyuburkan toleransi yang kebablasan.
b. Kebebasan Kepemilikan
Demokrasi sering kali memfasilitasi para pemodal untuk merampok kekayaan alam, dengan diserahkan kepada asing secara legal melalui undang-undang yang mereka buat atas nama investasi. Hasil pengelolaan sumber daya alam akan dijual dengan harga mahal kepada rakyat. Pada saat yang sama, rakyat terus dipalak dengan pajak yang kian mencekik. Kemiskinan dan kemelaratan adalah bukti nyata demokrasi hanya mementingkan para penguasa.
c. Kebebasan Berpendapat
Terbukti demokrasi memiliki standar ganda dalam menjamin kebebasan berpendapat terhadap rakyatnya. Jaminan kebebasan berpendapat tidak berlaku bagi orang-orang yang berani mengkritik kebijakan rezim yang dinilai tak adil. Lebih parah lagi siapa pun yang berpendapat dan dianggap menebarkan hoaks sering kali dijerat dengan undang-undang ITE dan terorisme. Mirisnya, standar hoaks ini pun sering kali tidak jelas standarnya. Kadang orang yang benar bisa dituduh salah jika terbukti yang bersangkutan bertentangan dengan penguasa. Sebaliknya, orang yang sebenarnya menyebar hoaks menjadi kebal hukum jika mendukung penguasa.
Mengkritik pemerintah sering kali menjadi paradoks jika dihadapkan dengan kenyataan begitu banyak kasus penyampaian aspirasi yang berujung di jeruji besi, sehingga semakin hari masyarakat semakin takut mengkritik pemerintah.
d. Kebebasan Berperilaku
Kebebasan ini secara tidak langsung telah memberi ruang merebaknya pergaulan bebas, yang berujung pada seks bebas dan terkadang perzinaan difasilitasi sementara pernikahan dibatasi. Ditambah lagi, pabrik minuman keras tetap diizinkan berproduksi hingga menyebabkan peredarannya tak terbendung lagi. Kerusakan generasi muda dan kehancuran keluarga kian menjadi-jadi seakan tidak ada habis-habisnya.
Belum lagi segudang masalah, seperti kasus kekerasan, tawuran, dan kasus merebaknya konten-konten porno yang dapat diakses setiap detik. Seandainya para pengedar konten pornografi ini ditanya, mengapa Anda merusak moral bangsa? Mereka akan menjawab, ini adalah negara demokrasi, kami bebas melakukan apa yang kami kehendaki.
Mengapa Demokrasi Bertentangan dengan Islam?
Sistem ini sejatinya lahir dari eksperimen pemikiran para filsuf abad pencerahan, yang dalam sejarahnya mereka memang anti terhadap peran gereja dalam wilayah publik di Eropa. Dalam sejarahnya mereka anti terhadap agama, dan menobatkan tokoh-tokoh pengusungnya sebagai nabi-nabi sosial. Dalam sistem demokrasi dikenal dengan slogan “Vox Populi, Vox Dei” yang berarti suara rakyat adalah suara Tuhan. Alhasil, Sang Pencipta oleh mereka tidak diberi ruang untuk mengatur wilayah negara dan publik. Kemudian ide ini berubah menjadi sebuah sistem pemerintahan sekuler yang banyak menginspirasi dan memaksa negara-negara di dunia untuk mengikutinya, termasuk Indonesia.
Zaman dahulu, berhala- berhala berupa patung yang disembah dan dijadikan sebab bersatunya para penyembah. Padahal, berhala yang disembah adalah hasil buatan manusia. Saat ini berhala bisa berupa aneka ideologi, falsafah, dan aneka sistem hidup produk bikinan manusia. Manusia di zaman sekarang tanpa sadar sedang menyembah berhala modern tersebut dan menjadikannya sebagai tandingan Allah Swt.
Allah Swt. berfirman, “Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Tuhan selain Allah sebagai tandingan yang mereka cintai seperti mencintai Allah…” (QS. Al-Baqarah: 165)
Demokrasi haram bukan karena semata-mata berasal dari Barat, melainkan karena mengatakan kekuasaan tertinggi berada ditangan suara terbanyak. Menentukan halal-haram, dan legal-ilegal berdasarkan suara terbanyak. Akibatnya, sering kali hukum yang dibuat menyimpang dari ajaran Islam, seperti menjadikan riba sebagai jantung ekonomi negara, pabrik minum khamar menjadi legal di mana-mana, dan lain-lain. Umat muslim tidak berdaya untuk menghindar dari fitnah akibat diterapkannya sistem kufur ini.
Allah Swt. berfirman:
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (QS. Al-An’am:57)
Meyakini Allah Swt. sebagai Tuhan, namun tidak mau menerapkan aturan-Nya. Akibatnya, syariat Islam kaffah tidak dapat diterapkan, dan hanya sekadar dibahas dalam ranah individual dan masyarakat saja, bahkan hanya sebatas dijadikan ceramah di masjid-masjid. Sedangkan Islam, menjadikan pemilik kedaulatan bukan rakyat, tapi Penciptanya, yakni Allah Swt. hanya Allah Swt. satu-satunya yang berhak membuat aturan berupa syariat-Nya. Negara hanya berfungsi sebagai pelaksana dari aturan-aturan ini.
Allah Swt. berfirman: “Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Maidah:50)
Sangat disayangkan, jika ada umat Islam yang memiliki akidah Islam menjadi pembela sistem demokrasi. Padahal demokrasi adalah jalan untuk menguasai umat Islam, seperti 'lubang biawak’ yang digunakan untuk menjebak para pendukungnya.
Campakkan Sistem Demokrasi, Kembali kepada Syariat Islam Kaffah
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Ruum: 41)
Terkait ayat ini, Asy-Syaukani menegaskan bahwa kerusakan yang dimaksud ayat ini adalah semua jenis kerusakan misalnya pada bidang politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, kerusakan moral, alam dan lingkungan. Penyebab kerusakan pada ayat ini menurut Ibnu Katsir adalah sebab kemaksiatan karena meninggalkan syariat Islam. Dapat kita simpulkan bahwa kemaksiatan terbesar saat ini adalah menerapkan sistem yang tidak berasal dari Sang Pencipta, yakni Allah Swt., salah satunya adalah demokrasi.
Sudah terlalu banyak fakta dan bukti yang bisa kita lihat dan rasakan betapa demokrasi adalah sumber malapetaka. Demokrasi tidak hanya rusak secara struktural dan bukan pula karena penerapannya yang menyimpang akibat kecurangan para pelakunya. Melainkan rusak secara substansial, sehingga orang baik sekalipun jika sudah masuk ke dalam sistem ini akan ikut terjerumus. Oleh karena itu, perbaikan sistem tidak akan menyelesaikan masalah secara konkret. Sistem ini wajib kita campakkan dan sebagai gantinya kita terapkan syariat Islam kaffah yang bersumber dari yang Maha Sempurna, dalam naungan Khilafah yang pasti akan membawa berkah, sebagaimana firman Allah Swt.:
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi…” (QS. Al-A’raf: 96)
Wallahu a’lam bishshawaab.[]
Photo : Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayagkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]
Wah, memang yaa aturan yg di terapkan selain aturan islam lebih banyak cacatnya dan anehnya mash di pertahankan Sampai sekarang