"Aku melotot menyadari lagu yang sedang diputar itu. Menoleh ke sumber suara, aku mendapati teman satu mejaku sedang mengangguk-anggukkan kepala, mulutnya sibuk bersenandung mengikuti lirik lagu."
Oleh. Da Azure
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-I think we could do it if we tried
Kurasa kita bisa melakukannya jika kita mencoba
If only to say, "You're mine"
Jika hanya katakan, "Kau milikku"
Sofia know that you and I
Sofia tahu kau dan aku
Shouldn't feel like a crime
Harusnya tak merasa salah
"Matiin Dek!"
Aku melempar bantal sofa ke arah adik perempuanku yang sibuk mendengarkan lagu tersebut. Sedari tadi, aku sudah menyuruhnya untuk mematikan lagu, namun tak juga digubris. Adikku membenarkan posisi duduknya, melempar balik bantal ke arahku. Menatapku heran. "Kenapa Mba? Lagi asyik juga!" sungut gadis yang duduk di bangku kelas satu SMP itu.
"Lagunya sesat! Hapus!"
"Ih, kok gitu?"
"Hapus Adekku sayang. Nanti Mba beliin sate kerang."
Tidak apa-apa aku harus mengeluarkan sedikit uang. Itu lebih baik daripada adikku terkena virus menyesatkan. "Oke! Sepuluh tusuk ya!" ujarnya ceria.
"Nih udah kuhapus."
Gadis itu menyodorkan ponsel ke arahku lalu tanpa basa-basi berlari menuju dapur sembari berteriak sesuatu. "Mama, mbak mau mentraktir sate kerang!"
Bolehkah aku menarik kembali perkataanku tadi? Belum lagi saat suara lain ikut menyahut. "Wih serius? Mas mau juga!"
Terlambat sudah. Ini bukan sedikit, tapi agak banyak. Oke, selamat tinggal pada uang tabunganku. Aku akan melepasmu setelah ini.
You know I'll do anything you ask me to
Kau tahu aku akan lakukan apa pun yang kau minta
But, oh My God, I think I'm in love with you
Tapi, astaga, kurasa aku jatuh cinta padamu
Standin' here alone now
Berdiri sendirian di sini sekarang
Think that we can drive around
Berpikir kita bisa berkeliling
I just wanna say
Aku hanya ingin katakan
How I love you with your hair down
Betapa cintanya aku dengan rambutmu yang menjuntai
Aku melotot menyadari lagu yang sedang diputar itu. Menoleh ke sumber suara, aku mendapati teman satu mejaku sedang mengangguk-anggukkan kepala, mulutnya sibuk bersenandung mengikuti lirik lagu.
"Ih apaan sih, Nura! Ganggu tau!" gadis itu cemberut saat diriku tanpa basa-basi mematikan lagu tersebut.
"Nura kok jail?" sungutnya kesal.
Aku mengangkat bahu menanggapi, "Fia udah jadi kaum pelangi ya?"
Pertanyaanku itu disambut geplakan tangan di bahu. Tidak sakit sih, tapi tetap saja bikin aku terkejut.
"Nura kalo ngomong suka ngawur!"
Aku tersenyum simpul mendengarnya. "Udah ah, jangan puter lagu itu lagi. Apalagi kalo di deket aku." ultimatumku padanya. Gadis itu mengernyit heran. Mengacuhkan raut wajahnya, aku melambaikan tangan setelah membereskan buku ke dalam tas, "Besok kukasih tau. Aku udah dijemput. Bye Fia!"
Dari sela-sela lariku, aku masih bisa mendengar teriakan dirinya yang meneriakkan sebaris kalimat. Mohon jangan ditiru.
"Nura! Lo bikin gue penasaran!!"
Jangan heran, terkadang temanku itu memang suka menggonta-ganti bahasanya. Terkadang menggunakan 'gue-lo', terkadang 'aku-kamu', atau terkadang nama. Aku saja sampai heran. Kok bisa begitu ya?
"Waduh, orang waras makin berkurang."
Komentar itu aku lontarkan ketika membaca berita bahwa ada salah satu anggota TNI yang ketahuan mengikuti kelompok kaum pelangi. Aku merasa miris. Dan kenapa pula harus namanya pelangi sih?
"Padahal pelangi itu cantik, indah, keren, huhu….. Gak rela pelangi yang peristiwa alam ciptaan Allah disama-samain sama peristiwa kesesatan."
Aku menaruh ponsel di meja belajar. Merasa jengah dengan berita di internet. Ya Allah, kenapa beritanya tidak ada yang mendidik? Mulai dari gosip artis selingkuh, KDRT, penipuan, sampai pembunuhan.
Melirik jam dinding, aku segera bersiap-siap untuk tidur. Sudah pukul 21.15, waktunya mengistirahatkan jiwa, raga, dan pikiran dari kesibukan dunia.
Aku mendengus ketika sedang men- scroll status WhatsApp mendapati lagu yang pernah diputar oleh Fia. Aku sedang gabut, jadi mencari kesibukan. Walau kesibukan yang unfaedah.
Hari ini sekolah memulangkan muridnya lebih awal. Padahal ini masih pagi. Pukul 08.03 WIB. Para guru ada workshop. Hanya ada empat orang di kantin tengah, tempatku berada.
Jangan heran kenapa aku ada di sini. Fia yang baru datang--temanku itu terlambat akibat terjebak macet di jalan- memintaku menemaninya makan di kantin. Temanku itu malas pulang lagi ke rumah. Dan berkat iming-iming traktir bakso, aku pun mengiyakan. Lumayan, makanan gratis!
"Orang-orang ini gak nyari tau atau emang gak mau tau sih?"
Apa hanya diriku yang jika ingin mengunduh lagu dari luar Indonesia, pasti mencari arti dan makna lagu tersebut?
"Nuraaa …"
Tiba-tiba ada yang memanggilku disusul dengan gebrakan meja. Tanpa mendongak, aku sudah tau siapa pelakunya. Hampir saja karena terkejut, aku menjatuhkan ponsel. Hampir. Beruntung, takdir baik memihak padaku.
"Eh, itu mata kamu kenapa?" tanyaku heran. Fia meletakkan dua mangkok bakso. Menyodorkannya ke arahku yang tentu kuterima dengan senang hati.
"Ini gara-gara lo! Gue udah spam chat, malah gak aktif. Jahat banget chatku centang dua abu. Untung hari ini libur sekolah. Coba kalo engga, pasti guru-guru curiga."
"Kok gara-gara aku?"
"Habisnya gara-gara ucapanmu kemarin, aku jadi kepo terus gak bisa tidur. Akhirnya begadang nonton film horor deh."
Aku mengernyit, mengingat. Memangnya, kemarin aku bilang apa. "Oh, yang lagu Sofia ya…" gumamku setelah berhasil mengingat.
Fia mengangguk antusias, "Ayo bilang alasannya kenapa kamu benci lagu itu?"
"Coba cari di google deh," perintahku. Fia mengernyit heran, namun tetap menurut. "Cari 'makna lagu Sofia Clairo', Fi."
"Udah, terus?"
"Baca beritanya."
"Lagu Sofia ini merupakan sebuah lagu yang terinspirasi dari sebuah pengalaman pertama seorang wanita yang tertarik atau naksir pada sesama wanita bahkan yang lebih tua melalui sebuah media. Sumbernya dari www.myavitalia.com."
"Eh serius?" Fia mengerjapkan mata tak percaya. "Coba kita ke blog lain." tangannya menggulir layar ponsel.
"Lirik Lagu dengan 3:35 menit ini ternyata tentang penyimpangan seksualitas yang kini menjadi jati diri Clairo sendiri, yang mana dengan keadaan penyimpangan tersebut Clairo memiliki kecenderungan untuk berhubungan dengan sesama wanita (LGBT). Sumbernya m.pararta.com."
"Huaaa jadi selama ini aku suka sama lagu pelangi??? Astagfirullah!!" Gadis itu mengetuk dahinya tiga kali, lalu mengetuk meja kantin.
"Di lagu itu si penyanyi nyeritain tentang LGBT. 100% LGBT. Penyanyinya juga bilang, LGBT bukan suatu kejahatan dan gak perlu ngerasa bersalah." jelasku.
"Padahal nada lagunya bagus, enak gitu didengerin." sungut Fia kesal. Merasa tak rela.
Aku tertawa mendengarnya, "Ya mau gimana lagi. Waktu pertama kali tau aja, aku syok juga. Terus cepet-cepet hapus tuh lagu dari hp."
"Padahal agama lain aja gak bolehin buat menyukai sesama jenis ya." tanggap Fia. "Apalagi Islam ya kan?"
"Bener. Apalagi Islam sebagai agama yang paling sempurna dan mulia. Tapi sadar gak sih, kaum pelangi makin berani nunjukin diri. Menurutmu Fi, apa pengaruhnya bagi kita sebagai generasi muda Islam?"
Fia mengetukkan dahinya, memasang raut berpikir. "Kalo pemuda Islam tertarik jadi kaum pelangi, mereka menikah sama sesama jenis dong, terus tentu aja gak akan punya keturunan. Lah iya!! Baru kepikiran." gadis itu menggebrak meja. Aku hampir saja latah.
"Artinya, gak ada lagi generasi penerus Islam."
"So sad sekali, huhuhu …" Fia memasang raut sedihnya.
"Itu termasuk taktik para pembenci Islam biar Khilafah gak tegak. Gimana mau tegak kalo gak ada penerusnya? Dan mereka hampir berhasil melakukan itu." aku berujar.
"Tapi Nura, aku gak dosa kan karena dengerin lagu itu?"
Aku mengangkat bahu acuh. Membuat gadis berkerudung itu mendengus kemudian menggoyang-goyangkan lenganku. "Nuraa, kalo punya ilmu harus bagi-bagi."
"Gak boleh pegang-pegang!" aku beringsut menjauh. Fia makin melotot padaku. "Oke-oke. Bercanda. Setahuku sih gapapa soalnya kita ga tau. Tapi, ada tapinya nih."
"Apa?"
"Kalo kita gak tau, kita punya kewajiban buat nyari tau. Kalo gak mau nyari tau, kita kan bakal dihisab di akhirat. Allah beri kita akal buat berpikir. Bukan buat pajangan doang."
Fia mengangguk-angguk kepala tanda paham. "Jadi inget berita yang tentang LGBT. Udah dari zaman dulu sih emang. Yang di Facebook itu lohh. Kamu tau?"
"Berita apa?"
Fia berdecak, baru menyadari bahwa aku sedikit kudet alias kurang update.
Sebenarnya aku tidak kudet-kudet amat. Hanya saja jika berhubungan dengan berita maupun gosip terbaru dari media sosial, aku tak terlalu mengikuti. Seperti berita bersumber dari Instagram, Tik Tok, apalagi Facebook. Aku hanya tahu berita dari sumber Google dan televisi. Terkadang radio juga.
"Yang anak SMP itu. Gabung di grup LGBT. Grup Gay SMP kalo ga salah."
Aku mengangguk-angguk kepala. "Oh itu. Aku inget Mama pernah beritahu soal itu sih."
"SMP aja udah kena virus pelangi ya. Jangan-jangan ntar bakal berdampak ke anak SD juga. Dampak negatif dari globalisasi." ujar Fia dengan nada prihatin.
"Globalisasi bikin pergaulan bebas gak cuma ada di dunia real atau nyata. Tapi di dunia virtual juga bisa." ucapku yang dibalas anggukan setuju dari Fia.
"Eh, tapi si penyanyi tau kalo apa yang dirasain sama dia ditentang masyarakat pada umumnya, karena termasuk perilaku menyimpang. Iya kan? Jadi, kalo kita punya perasaan yang menyimpang di dalam hati, jangan selalu mencari pembenaran, namun carilah pencerahan. Bener gak?"
"Iyap. Tentu, cari pencerahannya dari sumber-sumber yang terpercaya. Biar kita gak kemakan hoax alias berita palsu nan abal-abal."
"Terus gimana biar kita gak kena virus pelangi?" tanya Fia.
Aku memasang raut berpikir sebelum menjawab pertanyaannya. "Dari diri sendiri, kita harus perkuat iman. Dengan mengkaji Islam secara kaffah alias keseluruhan. Terus lingkungan. Kalo lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat menjunjung tinggi nilai Islam atau setidaknya sedikit tau ilmu agama, itu bisa jadi benteng juga. Soalnya banyak yang kena virus gak cuma pelangi tapi virus pergaulan bebas misalnya, dari teman-temannya. Entah itu teman real atau virtual. Dan kita butuh institusi alias negara yang bakal nerapin hukuman atau sanksi kalo ada pelanggaran Islam."
Fia mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti. Walau dia belum mengkaji intensif sepertiku, tapi dia tak pernah keberatan dengan topik pembicaraan yang bagi beberapa orang terdengar berat.
"Eh Nura, aku mau tanya." aku mengangkat alis penasaran, apalagi saat Fia menatapku dengan mata menyipit curiga. "Kamu normal kan Nura?"
Pertanyaan itu kubalas pelototan. Tolong, aku saja tau LGBT itu haram tapi kenapa Fia bertanya seolah-olah berpikir kalau aku ini tidak normal? Hei, aku masih dalam jalan yang lurus dan semoga, bercahaya. Aamiin.
"Sembarangan!"
"Abisnya Nura gak pernah cerita soal cowok ke aku." Aku jadi ingin sekali rasanya mengumpat, tapi mengumpat kan dosa. Beristighfar yang berpahala.
Fia mendengus kesal, menatapku tajam. "Jadi, Nura masih normal kan?"
Dibandingkan dengan Fia, aku memang jarang atau dapat dibilang sangat jarang bercerita tentang lawan jenis. Bukannya aku tak normal, tolong jangan terpengaruh dengan pertanyaan sembarangan nan ngawur yang tadi dipertanyakan Fia.
Bukan juga karena aku tak percaya kepada Fia yang notabene baru aku kenal satu tahun ini dan takut gadis itu membocorkan rahasia. Bukan karena itu. Aku hanya berpikir bahwa rasa yang kumiliki cukup dipendam saja. Tak perlu bercerita ke sana-ke mari agar orang-orang mengetahui bahwa aku sedang mengagumi.
"Nah kan bengong! Ayo curhat atau gue marah nih!!"
"Huh, iya iya."
"Jadi?"
Sebelum bercerita, izinkan aku menghirup napas dulu. Aku sedikit gugup. Sedikit. Untuk mengulur waktu, aku memasukkan dua bulatan bakso sekaligus ke mulutku. Mengunyahnya sampai tertelan baru membuka suara. "Kamu tau cowok yang suka pake hoodie abu-abu?" tanyaku.
Fia mengernyit seakan berucap 'kenapa kamu malah tanya itu bukannya cerita?'. Namun, gadis itu akhirnya tetap menganggukkan kepala.
"Si misterius itu? Yang kata temen kelas kita ganteng?"
Aku sontak tersedak cimol yang kumakan. "Woi, jangan to the point gitu dong!" aku melotot. Aku yakin wajahku memerah sekarang karena Fia sudah terkikik geli saat ini. "Udah ah, aku males cerita."
Fia cemberut, namun tidak memaksaku. Inilah yang membuatku mau berteman dengannya. Gadis itu tau batasan, dia tidak akan memaksa diriku untuk bercerita atau melakukan sesuatu jika aku sudah menolaknya.
"Jangan coba-coba pacaran loh Nura. Pacaran itu dosa!" kata Fia mengingatkan kemudian.
Aku mendengus pelan, "Yang mau pacaran itu siapa coba?"
"Siapa tau kamu punya niat itu." ujaran Fia membuatku memutar netra.
"Udah ah. Kok jadi bahas si Hoodie. Gak baik gosipin orang apalagi cowok." aku mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
"Ini bukan gosip tapi bercerita." elak Fia. "Tapi gue sebel deh." lanjut gadis itu.
"Kenapa?"
"Kenapa judul lagunya sama kaya nama gue sih???"
Oh, aku lupa memperkenalkan temanku. Tolong maafkan aku. Nama temanku itu Sofia. Bukan Sofia The First si kartun putri atau Sofia Vergara dan Sofia Coppola. Apalagi Sofia di lagu tersebut.
"Namaku Sofia Aruminasha, bukan Sofia yang di lagu itu!" Fia menoleh ke arahku, memasang raut melasnya.
"Ganti nama butuh biaya berapa ya Ra? Kamu tau?"
"Gak gitu juga konsepnya, ukhti!"
Dan berakhirlah dengan aku yang pulang bersama Fia yang terus bertanya pasal namanya. Berakhir pula cerita ini.
Selesai![]