Sepucuk Surat dari Seorang Sahabat

"Ah, tiba-tiba aku teringat dengan Anita. Tidak terasa mataku berkaca-kaca. Entah di mana dia sekarang. Dia benar-benar menghilang seperti ditelan bumi. Anita benar-benar menepati janjinya untuk tidak menemuiku lagi. Aku hanya bisa berdoa. Ya Allah, tolong lindungi sahabatku Anita, di mana pun dia berada. Aamiin.…"

Oleh. Atien
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-"Assalamu'alaikum."

Aku baru saja membereskan ruang tamu saat mendengar suara merdu seorang perempuan.

"Wa'alaikumussalam." balasku sembari membuka pintu depan.

"Selamat sore, Nis. Maaf ya, Mba agak telat. Tadi jalanan macet. Jadi pulangnya telat juga." seorang perempuan berkerudung warna pink tua berpadu dengan gamis merah marun berdiri di depan pintu.

"Enggak apa-apa Mba," jawabku sambil tersenyum. Aku mengajaknya masuk ke ruang tamu. "Silahkan duduk Mba. Aku juga baru selesai beres-beres. Tapi maaf, Mba Nur, aku ngga bisa ikut kajian hari ini."

Dengan dahi berkerut, perempuan muda berusia 25 tahun yang kupanggil Mba Nur itu bertanya. " Lhoo, kenapa Nis? Emangnya kamu ada acara lain yang lebih penting? Kalau ada, nanti kita bisa geser waktunya," ujar Mba Nur.

Aku bingung mau menjawab apa. Aku memang tidak ada acara. Hari ini aku juga sedang mendapat jatah cuti bulanan. Aku bekerja di sebuah biro perjalanan. Jadi, tidak setiap hari masuk kerja.

Aku terdiam dan berusaha menata ucapan agar tidak menyinggung perasaannya.
"Maafkan Nisa ya Mba. Nisa sebenarnya ngga ada acara. Tapiii …"

Untuk beberapa saat aku terdiam lagi. Suasana jadi terasa kaku. Tiba-tiba Mba Nur menggeser duduknya mendekati dan mengelus pundakku, "Ya sudah Nis, kalau memang kamu belum bisa cerita ke Mba. Mungkin kamu perlu nenangin diri dulu. Pesan Mba, jangan berlarut-larut. Biar masalahnya cepet selesai."

Mendengar ucapannya, hatiku sedikit lega. Oh ya, Mba Nur itu tetangga kontrakanku. Rumahnya hanya beberapa puluh meter dari kontrakanku. Usianya lima tahun lebih tua dariku. Kita kenal belum genap tiga bulan. Tapi orangnya sangat baik dan ramah.

Dengan mata berkaca-kaca aku mengangguk. "Makasih ya Mba. Aku beruntung bisa kenal sama Mba. Di perantauan ini aku enggak punya siapa-siapa Mba."

Mba Nur kembali mengerutkan dahi. "Lho, kamu kan enggak sendirian di rumah ini. Ada temen kamu yang namanya Nita, kan?"

Aku mengangguk lagi. Aku memang punya teman satu kontrakan. Namanya Anita. "Iya Mba, tapi anaknya lagi pulang kampung. Sudah hampir dua minggu."

Dengan tatapan lembut, Mba Nur berkata, "Nah itu artinya kamu enggak sendirian dong Nis. Jangan bilang gitu ah. Kita kan juga punya Allah. Allah akan selalu menjaga hamba-Nya. Jadi, kamu enggak usah khawatir, okey?"

Ini yang aku suka dari Mba Nur. Orangnya penyabar dan kata-katanya dapat membuat orang lain merasa tenang. Sambil mengambil tasnya, Mba Nur beranjak dari tempat duduknya. "Kalau begitu, Mba pamit dulu ya. Jangan lupa saran Mba yang tadi!"

Sambil menghapus air mata, aku menjawab, "Ya Mba. Maaf juga karena keasyikan ngobrol jadi lupa bikin minum."

Mba Nur kembali tersenyum. Perempuan yang bekerja di sebuah butik muslimah itu memang murah senyum. Dengan bijak Mba Nur menjawab, "Enggak apa-apa, Nis. Mba juga ngga haus kok. Mba pamit dulu ya, "Assalamu'alaikum!"

Setelah berpelukan, aku membalas salamnya, "Wa'alaikumussalam, hati-hati ya Mba."

Sambil berjalan ke arah pintu, Mba Nur mengangguk. "Ya Nis, kamu juga baik-baik di rumah ya."

"Iya Mba," jawabku sambil mengantarnya sampai ke halaman depan. Hari sudah semakin petang dan terdengar sayup-sayup suara azan Magrib berkumandang.


Dua minggu yang lalu …

"Aku kan cuma mengingatkan Nit. Itu semua untuk kebaikan kamu juga kok. Kalau terjadi hal-hal yang buruk gimana?"

Suaraku sedikit meninggi dan wajahku memerah karena amarah. Ini kali pertama aku bertengkar dengannya. Bagaimana aku tidak marah, tiba-tiba Anita membawa teman laki-lakinya atau mungkin pacarnya ke rumah kontrakan kami. Untung hanya sebentar.

"Enggak usah sok suci kamu Nis. Bilang saja kalau kamu iri sama aku. Karena aku sudah punya pacar. Enggak kayak kamu, jomblo akut!" nada ucapan Nita juga tak kalah tinggi. Rupa-rupanya, ia tidak mau disalahkan.

Dengan sinis, Anita melanjutkan ucapannya, "Aku juga masih ingat ceramahmu, lima hari yang lalu. Kamu bilang kalau pakai baju harus yang sesuatu aturan. Wajib pakai jilbab dan kerudung. Tidak boleh ketat dan bla bla bla … yang bikin aku pusing kepala. Aku bosen banget dengar itu semua Nis. Kamu pikir, kamu itu siapa? Ibuku bukan, kakakku juga bukan. Jadi, tolong berhenti ngatur-ngatur aku dan jangan ikut campur masalah pribadi aku. Ingat itu, Nisa!" Anita semakin tersulut emosi.

"Astaghfirullah. Istigfar, Anita. Aku enggak iri sama kamu. Aku juga enggak bermaksud ikut campur urusanmu. Tapi apa yang kamu lakukan itu sesuatu yang enggak bener. Kalian juga bukan siapa-siapa. Lagian yang namanya pacaran itu enggak boleh di dalam Islam, Anita. Haram hukumnya!"

Dengan napas naik turun, aku melanjutkan perkataanku, "Kalau memakai jilbab dan kerudung, itu memang kewajiban yang harus kita lakukan Nit. Itu perintah Allah! Kita yang mengaku Islam tentu harus mau tunduk dengan aturan Islam. Kamu juga beragama Islam kan Nit?"

Dengan sedikit merendahkan suara, aku mencoba menyadarkan temanku itu. Tapi, sepertinya Anita sudah tidak mengindahkan nasihatku. Perkataan selanjutnya semakin membuatku sakit hati.

"Halah, enggak usah bawa-bawa agama deh Nis! Baru belajar agama kemarin sore aja sudah merasa bener sendiri. Dikit-dikit enggak boleh. Mau ini dilarang, mau begitu salah. Ribet amat sih. Makanya, enggak usah terlalu dekat sama tetangga kita itu. Jangan-jangan, kamu ikut kajian yang enggak bener, Nis. Aliran sesat mungkin. Lagipula kamu juga belum kenal lama sama Mbamu itu kan Nis."

Mendengar ucapan Anita yang barusan, aku terperangah,"Astagfirullah, hati-hati kamu kalau ngomong!"

Untuk kali ini aku benar-benar tidak
terima. Akhirnya, aku tidak mampu mengontrol emosiku. "Kamu bener-bener keterlaluan Anita, bisa-bisanya kamu bicara seperti itu!"

Anita mendengus kesal. Wajahnya semakin memerah. "Terus mau kamu apa Nis? Mau marah, protes, atau sakit hati, aku enggak peduli."

Aku lupa tentang satu hal. Anita adalah anak orang kaya. Namun, karena tidak sejalan dengan orang tuanya, ia lebih memilih untuk hidup mandiri dengan tinggal di rumah kontrakan. Sifatnya yang keras kepala dan susah diatur membuatnya kabur dari rumah. Anita tidak mau menuruti keinginan orang tuanya untuk melanjutkan kuliah. Aku sedikit tahu latar belakang keluarga Anita karena dia pernah bercerita.

Aku mencoba meredam amarahku, "Ya sudah kalau kamu enggak mau dengerin saran aku Nit. Tapi maaf, sepertinya kita tidak bisa satu rumah lagi."

Sebenarnya, aku merasa berat untuk berpisah dengan Anita. Kami sudah berteman selama satu tahun, sejak pertama kali bertemu di kota ini. Tapi mau bagaimana lagi? Anita punya jalan sendiri dalam kehidupannya.

"Okey kalau begitu. Lagian aku juga sudah bosan dengan rumah ini. Sudah kecil, sumpek, pokoknya enggak nyaman banget buat aku. Biar aku yang keluar dari rumah ini. Enggak jadi masalah buat aku. Aku bisa cari rumah kontrakan yang lebih bagus dari ini!" ujarnya dengan ketus.

Dengan bersungut-sungut, Anita membereskan pakaiannya. Barang-barang yang cukup banyak agak merepotkannya. Aku tak tega membiarkannya lalu tanpa banyak bicara, aku ikut mengepak barang-barangnya. Kebisuan pun meliputi kami untuk beberapa saat.

"Aku masih berharap kamu tetap di sini, Nit," ucapku pelan tanpa menoleh ke arahnya.

Anita menatapku tajam. "Percuma saja Nis. Pemikiran kita jauh berbeda. Aku bukan kamu yang mau saja dipengaruhi oleh Mbamu itu," sindirnya dengan sinis.

"Astaghfirullah, kok kamu gitu Nit? Maksud Mba Nur kan baik. Sebagai sesama muslim, kita harus saling mengingatkan, Nit," ucapku hati-hati. Takutnya Anita marah-marah lagi.

"Istigfar aja terus. Kamu pikir aku itu setan yang ngegodain kamu gitu?!" balasnya dengan nada yang makin tinggi.

"Nit, teman yang baik itu, bukan sekadar teman yang membenarkan semua tindakan kita. Tapi, dia juga mengajak kepada jalan yang benar. Dia juga akan mengingatkan kalau temannya itu berbuat kesalahan. Itu sebagai bukti bahwa kita sayang kepadanya. Sama seperti aku yang juga sayang sama kamu, Nit!"

Anita terdiam. Mungkin dia sedang merenungi kata-kataku tadi. Namun, ternyata dugaanku salah. "Sudah ceramahnya? Maaf ya, ustazah Nisa yang terhormat, aku enggak butuh disayangi. Aku juga enggak perlu diingatkan, karena ingatanku masih normal!" dengan kasar, Anita menyeret kopernya dan sengaja menabrakku. Hampir saja aku terjatuh. Untungnya aku masih bisa menahan tubuhku.

"Aku pergi, selamat tinggal, Nis. Semoga kita tidak pernah ketemu selamanya. Aku benci sama kamu Nisa!" suara parau Anita terdengar jelas di telingaku.

Sesak di dadaku berdampingan dengan butiran-butiran air bening yang jatuh dari mataku. Sesuatu yang aku takutkan terjadi juga. Aku kehilangan sahabatku.


"Nis, kamu kenapa? Kok dari tadi diam aja?"

Tiba-tiba suara Mba Nur mengejutkanku. Aku menjawab dengan terbata-bata.
"H-hah? Ehh ya Mba Nur, maaf. Aku enggak apa-apa!" jawabku sekenanya.

Kami sedang duduk di sebuah warung makan yang tidak jauh dari kontrakan. Nasi rames favoritku tidak menarik seleraku. Pikiran dan perasaanku masih dibayang-bayangi peristiwa pertengkaranku dengan Anita.

Ah, tiba-tiba aku teringat dengan Anita. Tidak terasa mataku berkaca-kaca. Entah di mana dia sekarang. Dia benar-benar menghilang seperti ditelan bumi. Anita benar-benar menepati janjinya untuk tidak menemuiku lagi. Aku hanya bisa berdoa. Ya Allah, tolong lindungi sahabatku Anita, di mana pun dia berada. Aamiin.…

"Lho, kok malah nangis. Ada masalah apa lagi Nis?" perkataan Mba Nur kembali mengejutkanku.

"Sebelumnya aku minta maaf ya Mba. Selama ini aku enggak bicara terus terang mengenai masalah ini."

Panjang lebar aku menceritakan pertengkaranku dengan Anita. Ada rasa lega yang menyusup ke relung hati setelah aku bercerita. Mba Nur benar, hatiku sedikit lebih tenang. Selama beberapa saat keheningan yang menguasai.

"Maafkan Mba, ya Nis. Gara-gara Mba kamu sampai bertengkar dan kehilangan sahabat kamu itu. Mba enggak menyangka masalahnya akan seperti ini." ucap Mba Nur lirih setelah beberapa saat terdiam. Ada gurat kesedihan di wajah perempuan yang sudah aku anggap seperti kakakku sendiri.

Aku mencoba menghiburnya, "Enggak ada yang perlu dimaafkan Mba. Mba Nur enggak salah kok. Aku justru bersyukur kepada Allah karena telah dipertemukan dengan orang sebaik Mba. Berkat Mba juga, aku kembali memiliki semangat hidup. Tidak seperti dulu, hidupku terasa sepi karena aku sebatang kara."

Mba Nur tersenyum, "Wah, kamu sudah banyak kemajuan, ya Nis. Pemikiranmu sudah semakin matang."

Wajahku bersemu merah menahan malu. "Ah Mba Nur, bisa aja. Itu semua berkat Mba Nur yang dengan sabar membimbing aku. Karena Mba Nur, aku jadi lebih tahu lebih banyak tentang agama. Dari Mba Nur, aku juga bisa merasakan kasih sayang seorang ibu yang selama ini tidak pernah aku dapatkan!" kali ini mataku yang berkaca-kaca.

Bayangan masa lalu tentang kehidupan di panti asuhan membuat luka lama terbuka kembali. Aku tidak pernah merasakan kasih sayang orang tuaku. Jangankan merasakan kasih sayangnya, melihat wajahnya saja belum pernah. Namun, segera kutepis bayangan itu. Aku tidak mau mengingatnya lagi.

Sambil menyentuh pundakku, Mba Nur meneruskan ucapannya, "Kamu jangan sedih Nis. Doakan saja semoga sahabatmu itu baik-baik saja di mana pun dia berada."

"Iya Mba Nur," ucapku lirih.

"Ya sudah, itu makanannya dihabiskan dulu. Terus temani Mba belanja yuk!" ucap Mba Nur sembari tersenyum.

"Siap Mba," balasku dengan ceria.


Aku baru saja pulang kerja, saat ada sebuah mobil putih yang terlihat asing melintas melewati jalan depan kontrakanku. Mungkin barusan ada tamu yang berkunjung ke kontrakan tetangga sebelah rumah, batinku berkata. Alhamdulillah, sampai juga di rumah, batinku lega. Tapi kok itu seperti ada amplop tergeletak di atas meja teras depan, punya siapa ya? Aku meletakkan tas kerja di kursi dekat meja. Jadi penasaran. Aku masih bicara dengan diriku sendiri.

Dengan rasa penasaran yang meluap, aku membuka amplop berwarna putih tersebut. Ternyata isinya pesan dari seseorang untukku.


Untuk sahabatku,

Khairunnisa

Assalamu'alaikum, Nisa.
Mungkin saat kamu baca isi surat ini, aku sudah pergi jauh. Aku hanya ingin meminta maaf atas apa yang sudah aku perbuat selama ini. Aku memang egois dan keras kepala. Aku juga suka meremehkan dan merendahkan kamu. Sekali lagi aku minta maaf, Nis. Aku rindu kamu Nis. Rindu omelanmu saat kamu membangunkanku untuk salat. Rindu protesmu saat aku memakai baju ketat. Rindu akan semua nasihatmu yang selama ini aku anggap angin lalu.

Aku tahu aku salah. Tapi aku tidak punya keberanian untuk bertemu denganmu dan Mba Nur. Aku malu, Nis. Aku hanya bisa berdoa semoga Allah masih berkenan untuk memberiku umur panjang. Agar aku bisa bertemu dan meminta maaf secara langsung atas segala kesalahanku kepadamu.

Aku akan berobat ke luar negeri, Nis. Ada kanker yang bersarang di tubuhku. Mungkin ini teguran dari Allah untukku. Dokter yang merawatku memintaku untuk mencoba berobat ke negeri tetangga, karena peralatan di sana lebih canggih. Doakan aku ya, Nis. Besar harapanku untuk bisa bertemu denganmu. Semoga tawaranmu untuk belajar agama bersama masih berlaku. Jaga dirimu baik-baik. Salamku untuk Mba Nur.

Wassalamu'alaikum.

Dari sahabatmu,

Anita Putri


Aku membekap mulutku sendiri. Berusaha menahan tangis agar tak terdengar oleh siapa pun. Ya Allah, Anita …

"Aku sudah memaafkanmu, Anita. Jauh sebelum kamu memintanya. Aku juga berdoa, semoga kamu cepat sembuh agar kita bisa bertemu lagi," ucapku lirih.

Selesai![]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Atien Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Luka Hati Raihana
Next
Melawan Demokrasi dengan Sistem Ilahi
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram