"Akal harus mendapatkan cahaya iman secara maksimal dengan menjadikan Al-Qur'an dan As-Sunah sebagai pemandunya. Tanpa cahaya tersebut akal akan buta, ia tidak mampu mengetahui dan melihat sesuatu. Karena kebenaran dan kesesatan hanya mampu dilihat oleh mereka yang menjadikan akal difungsikan sebagaimana mestinya, yaitu syarak sebagai fondasi dalam berpikir."
Oleh. Nining Sarimanah
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.com-Jika kita merenugi kembali ciptaan Allah Swt. salah satunya adalah manusia, betapa Maha Kuasanya Dia dalam menciptakan jenis makhluk ini. Hanya dari setetes air mani kemudian berkembanglah menjadi manusia sempurna dengan segala keunikannya. Tak hanya itu, Allah pun menganugerahkannya dengan segala potensi yang dimilikinya baik berupa kebutuhan jasmani, naluri dan akal. Dua pontensi yaitu kebutuhan jasmani dan naluri dimiliki juga oleh makhluk Allah yang lain seperti hewan. Namun, akal hanya diberikan kepada manusia saja. Maka dari itu, Allah muliakan manusia dengan derajat tinggi dibandingakan makhluk lainnya.
Menggapai Derajat Tinggi dengan Akal
Akal adalah anugerah yang harus disyukuri sebagai kelebihan yang diberikan Allah Swt. kepada manusia. Oleh karena itu, Allah mendorong manusia agar menggunakan akal dan inderanya untuk memperhatikan dan memikirkan semua yang ada di alam semesta atau bahkan dirinya sendiri sebagai bagian dari objek yang harus direnungi. Dari proses berpikir ini, mampu membimbingnya menuju cahaya iman yakni keimanan pada keberadaan Allah Swt. sebagai Pencipta dan Pengatur manusia, alam semesta dan kehidupan.
Banyak ayat yang bertebaran di dalam Al-Qur'an yang mendorong manusia untuk memikirkan hal apa pun di dunia sebagai sarana untuk mengenal-Nya. Misalnya, matahari hadir di siang hari menerangi alam semesta sebagai karunia terbesar untuk manusia yang manfaatnya bisa kita rasakan, adanya pergantian siang dan malam, di mana manusia beraktivitas pada siang hari untuk mencari rezeki kemudian tidur untuk melepaskan rasa lelah, penat pada malam harinya. Demikian pula Allah tundukkan bintang-bintang di langit untuk manusia atas perintah-Nya, semua ini adalah tanda-tanda kekuasaan Allah bagi mereka yang berpikir.
Melalui rangkaian proses berpikir tersebut diharapkan darinya muncul iman yang kokoh, sekokoh karang di laut di tengah deru gelombang ombak yang ganas, namun ia tetap tak tergoyahkan sedikit pun. Demikian pun dengan kita, meskipun badai ujian senantiasa menghadang dari setiap sisi kehidupan namun, ia tetap berdiri tegak berada di jalan yang benar. Ia meyakini bahwa hidup di dunia hanyalah sementara, berbagai rasa yang mewarnai jalan hidup seorang hamba tidaklah abadi, kadang kala senang tak lama kemudian berganti dengan sedih ataupun sebaliknya, ada duka juga bahagia.
Demikian juga terkait masalah yang dihadapi manusia, seberat apa pun beban hidup yang dipikul yakinlah Allah tidak akan pernah meninggalkan hamba-Nya selama ia menjadikan salat dan sabar sebagai kuncinya. Hal itu diingatkan Allah Swt. kepada kita,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
"Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar." (QS. Al-Baqarah: 153)
Inilah pengaruh iman pada diri seorang muslim, jika hati dan akalnya sudah terpaut dengan Tuhannya. Jalan ini mampu merubah arah pandang hidupnya dalam memandang dunia, ia memahami bahwa tujuan diciptakannya manusia dan jin oleh Allah hanyalah untuk beribadah pada-Nya. Ia akan menjaga seluruh anggota badannya agar tidak tersentuh dengan panasnya api neraka. Seluruh waktu yang diamanahkan, ia jaga sebaik mungkin dengan melakukan aktivitas yang bermanfaat bagi umat salah satunya dengan dakwah.
Dengan proses berpikir tentang manusia, alam semesta, dan kehidupan, ia mampu mengenal lebih dekat dengan Allah Swt. dan hal lainnya yang terkait dengan sifat serta nama-nama-Nya yang agung. Ia memahami tanda-tanda keesaan dan keagungan-Nya akan menghantarkan pemahaman baginya bahwa manusia itu lemah dan terbatas dan saling membutuhkan. Misalnya, ia tak mampu menahan rasa kantuk yang hebat, melawan penyakit yang menyerang dalam tubuhnya, menahan rasa lapar dan dahaga dalam waktu lama, juga tak mampu hidup seorang diri tanpa bantuan orang lain dalam memenuhi kebutuhannya, dan lainnya. Dari sinilah, ia menyadari bahwa manusia tidak ada artinya selain hanya bergantung pada-Nya dan berusaha semaksimal mungkin untuk menjalani kehidupan sesuai skenario Allah Swt. dan berharap Allah rida.
Ia pun sadar bahwa yang berhak untuk dijadikan tempat meminta kebaikan dan dijauhkan dari keburukan hanya kepada-Nya. Oleh karena itu, akal harus mendapatkan cahaya iman secara maksimal dengan menjadikan Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai pemandunya. Tanpa cahaya tersebut akal akan buta, ia tidak mampu mengetahui dan melihat sesuatu. Karena kebenaran dan kesesatan hanya mampu dilihat oleh mereka yang menjadikan akal difungsikan sebagaimana mestinya, yaitu syarak sebagai fondasi dalam berpikir.
Akal pikiran yang senantiasa terpaut dengan halal haram sebagai tolok ukurnya, akan mengarahkan pada kemuliaan, menjauhkan diri dari segala kehinaan serta mengukuhkan tekad sehingga ia mampu berdiri di bawah kontrolnya. Ia pun menjadi penopang bagi keteguhan hati sampai akhirnya ia berhasil menggapai taufik dari Allah, mendapatkan kebaikan, dan menyingkirkan kejelekan. Jika akal mampu dikendalikan sesuai arahan Sang Pemilik Alam Semesta, maka ia akan menaikkan pemiliknya beranjak pada derajat yang mampu mengendalikan hawa nafsunya.
Sebagai bentuk rasa syukur pada Allah, maka ada hal yang harus diperhatikan agar akal tetap terjaga dengan baik, sebab hanya dengan potensi itulah ia dapat menimbang-nimbang apakah akan melaksanakan perintah-Nya atau justru melanggar-Nya. Sekaligus akalnya sebagai penguat bagi orang beriman, dengan akalnya ia beribadah. Tahukah kau, apa yang diucapkan oleh penduduk Neraka Sair? Penyesalan itulah yang diucapkannya!
"Sekiranya kami berakal dan mendengar tentu kami tidak akan dimasukkan ke dalam golongan pendurhaka."
Kita berharap dan berupaya semaksimal mungkin untuk beramal saleh agar tidak digolongkan pada pendurhaka. Oleh karena itu, ada langkah yang harus dilakukan agar akal sesuai tuntunan-Nya, di antaranya:
1. Selalu Bersyukur
Dengan akal, manusia menggunakan indranya untuk menikmati keindahan terhadap ciptaan Allah yang sempurna. Selain itu, begitu banyak nikmat yang Allah berikan pada manusia yang tidak bisa kita hitung jumlahnya. Misalnya, nikmat menghirup oksigen dengan gratis dari sejak lahir ke dunia sampai ajal menjemput, tidur nyenyak ketika bangun badan segar kembali, bahagia berkumpul dengan keluarga tercinta, dan nikmat lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Tujuan dari memikirkan segala nikmat yang kita rasakan agar manusia lebih banyak bersyukur atas karunia yang Allah berikan.
2. Sarana Menuntut Ilmu
Orang yang terbaik di antara kalian adalah orang yang senantiasa menggunakan akalnya untuk menuntut ilmu yang bermanfaat untuk umat dan sebagai sarana untuk menjalankan Islam. Karena akal adalah salah satu syarat dalam mempelajari dan memahami ilmu. Ia juga menjadi syarat seluruh amalan itu sempurna dan baik, dengannya amal dan ilmu menjadi lengkap. Namun, semua itu tidak akan tercapai jika akal tidak terhubung dengan cahaya iman dan Al-Qur'an. Karena ia merupakan kekuatan dan kemampuan yang ada pada diri seseorang.
3. Berpikir pada Hal yang Bermanfaat
Tidak sedikit manusia menghabiskan seluruh waktunya hanya untuk mengejar kesenangan dunia semata, tanpa memperhatikan halal dan haramnya. Baginya ketika mendapatkan harta banyak, ia merasakan kepuasan batin. Padahal kesenangan itu sifatnya tak abadi dan kematian adalah sebuah keniscayaan. Maka dari itu, manfaatkanlah sisa hidup di dunia ini dengan banyak melakukan aktivitas yang bermanfaat untuk agama, masyarakat dan negara.
4. Mengingat Kehidupan Abadi (Akhirat)
Kehidupan dunia tidaklah abadi. Semua yang Allah ciptakan ada masa akhirnya dan segala yang dilakukan akan dibalas sesuai dengan amal perbuatannya di dunia, tanpa ada yang dirugikan sedikit pun. Dengan mengingat mati akan menjadikan dirinya makin semangat beribadah karena ia sadar bahwa kehidupan yang kekal itu di akhirat.
Langkah lainnya yang bisa kita lakukan agar potensi yang Allah berikan kepada kita tetap terjaga. Tanpa ada usaha yang keras dan sungguh-sungguh dari diri sendiri, maka potensi ini akan terkubur selamanya sehingga ia lahir menjadi manusia yang jauh dari Tuhannya, durhaka dan kufur nikmat. Apakah ini yang kita inginkan?
Akibat manusia mengikuti hawa nafsunya, segala bentuk kemaksiatan dan kejahatan bertambah subur dan menjadi fenomena yang biasa kita saksikan. Semua itu terjadi karena akal tidak dikendalikan dengan agama.
Agama hingga detik ini hanya dipandang sebelah mata yaitu sebatas aturan yang mengatur ibadah saja. Di luar itu, seolah-olah kita diberikan hak kebebasan untuk mengatur hidup kita sendiri mulai dari cara berpakaian, berinteraksi dengan lawan jenis, berbicara, hingga yang berkaitan dengan bernegara. Kebebasan ini justru berujung petaka bagi keberlangsungan kehidupan manusia. Kehidupan yang jauh dari kata beradab, penguasa berbisnis dengan rakyatnya, laki-laki memandang perempuan hanya sebatas pemuas nafsu birahi, akibatnya kasus pelecehan hingga pemerkosaan marak terjadi, materi menjadi tujuan hidup seseorang, akibatnya segala cara dihalalkan mulai dari perampasan, pembegalan hingga menghilangkan nyawa tanpa hak menjadi fakta yang mengerikan yang menghantui keamanan masyarakat. Lalu, inikah yang kita inginkan?
Bukti jika hawa nafsu menguasai akal, manusia berperilaku seperti binatang bahkan bisa lebih dari binatang. Allah Swt. berfirman:
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah) dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai” (TQS. Al-A’raaf [7]: 179)
Wallahu a'lam bishshawab.[]