”Generasi stroberi perlu dibekali pemahaman kesehatan mental yang tepat agar tidak self diagnosis, tetapi tetap empati dan mencoba mengerti segala kondisi dan keluhan yang mereka alami.”
Oleh. dr. Ratih Paradini
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Pemuda dan perubahan bak dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Di setiap kisah peradaban dunia, tidak pernah ada perubahan tanpa peran pemuda. Apalagi kondisi hari ini di tengah multikrisis yang dialami, banyak yang mengharapkan perubahan terjadi. Namun, bagaimana menitipkan peradaban yang buruk kepada generasi yang rapuh?
Strawberry generation begitulah sebutan bagi pemuda era kini, istilah ini menunjukkan sifat generasi dengan ciri tampilan menarik dan eksotis. Namun, mudah hancur jika ditekan. Strawberry generation lebih merujuk pada generasi Z yakni generasi yang lahir dari tahun 1997 hingga 2012. Di Indonesia, generasi Z menempati posisi nomor satu sebagai populasi terbesar saat ini, tercatat dalam sensus penduduk tahun 2020 sebesar 27.93% (https://binus.ac.id, 3/7/2022).
Dibanding generasi-generasi sebelumnya seperti generasi X maupun generasi milenial, generasi Z merupakan generasi yang lahir saat perkembangan teknologi semakin canggih dan kehidupan lebih praktis. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan generasi Z tidak tahan dengan tekanan maupun kerja keras. Prof. Rhenald Kasali mendefinisikan strawberry generation adalah generasi yang penuh dengan gagasan kreatif tetapi mudah menyerah dan gampang sakit hati, selain itu beliau juga menjelaskan beberapa faktor yang menyebabkan strawberry generation terjadi mulai dari self diagnosis terlalu dini, cara didikan orang tua masa kini, dan kebiasaan mudah lari dari kesulitan hidup yang dialami. Meski demikian strawberry generation memiliki potensi dahsyat, selain mereka penyumbang bonus demografi terbesar, kalangan gen Z adalah pemuda yang sangat kreatif, inovatif, terbuka, dan kolaboratif. Maka menjadi pekerjaan rumah bersama bagaimana bisa membuat generasi rapuh menjadi tangguh dan mengarahkan segenap potensi yang dimiliki untuk menyongsong perubahan peradaban. Lantas bagaimana meraih hati generasi stroberi?
Pertama, pahami karakteristik generasi dan penyebab strawberry generation terjadi. Setiap generasi punya plus minusnya sendiri, generasi stroberi lahir karena berbagai macam faktor salah satunya adalah self diagnosis terlalu dini. Isu kesehatan mental menjadi pembahasan yang diminati dan dianggap sangat related dengan kehidupan generasi Z, terlebih di era digitalisasi arus deras informasi di satu sisi bisa mengedukasi tapi di sisi lain malah sering membuat orang salah memahami. Konten-konten edukasi tentang kesehatan mental makin marak, itu hal yang positif sebab akhirnya orang semakin melek dan aware sehingga bisa lebih empati terhadap penyakit mental yang gejalanya tak tampak berbeda dengan penyakit fisik yang gejalanya lebih tampak, apalagi orang-orang sering menstigma penyakit mental seolah aib dan mendatangi profesional seperti psikolog atau psikiater dianggap tabu. Hanya saja banyaknya informasi yang ada bisa menjadikan seseorang bisa over diagnosis, baru baca beberapa gejala tentang penyakit mental sudah merasa punya gangguan mental, padahal untuk menegakkan diagnosis tidak sesimpel itu. Para profesional belajar bertahun-tahun kemudian melakukan pemeriksaan mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisis dan psikis hingga pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan darah di laboratorium jika diperlukan. Generasi stroberi perlu dibekali pemahaman kesehatan mental yang tepat agar tidak self diagnosis, tetapi tetap empati dan mencoba mengerti segala kondisi dan keluhan yang mereka alami. Sebab, bila ada yang menganggap remeh curahan hati generasi stroberi ini, alih-alih bisa mengarahkan, yang ada justru mereka akan menjauh duluan. Generasi ini tampaknya alergi dengan sikap judgmental. Selain itu menguatkan mental agar menjadi generasi tangguh butuh pemikiran dan tsaqafah Islam yang benar. Islam memiliki konsep lengkap dalam mengarungi kehidupan mulai dari pemahaman tentang takdir, tujuan hidup, sabar, syukur, kebahagiaan, dan lainnya. Penguatan akidah dan pelaksanaan syariat telah terbukti mampu mencetak generasi militan sebagaimana Rasulullah dan para sahabatnya serta pejuang-pejuang Islam di masa setelahnya. Sejarah mengenal sosok pemuda Muhammad Al-Fatih sebagai penakluk Konstantinopel karena ia dididik dengan Islam, bayangkan jika Al-Fatih bermental stroberi baru melihat tembok Konstantinopel ia mungkin sudah melarikan diri.
Kedua, mendidik generasi dengan parenting ala nabi. Menurut Prof. Rhenald Kasali cara didikan orang tua yang terlalu memanjakan anak-anaknya cenderung memberikan semua yang diinginkan anak, kurangnya waktu kebersamaan dan digantikan dengan pemberian uang atau barang, dan orang tua takut memberikan hukuman meski anak salah adalah cara didik yang menghasilkan generasi stroberi. Meski demikian tidak tepat juga bila mendidik anak dengan gaya otoriter, sebab justru akan menimbulkan luka pengasuhan dan kelak malah dapat berbuntut jadi gangguan mental di masa depan. Anak adalah amanah Allah selayaknya mendapatkan hak-haknya, memenuhi masa kecilnya dengan kenangan indah, mendidiknya dengan penuh kasih sayang sekaligus mengajarkan nilai-nilai Islam sejak dini sesuai dengan jenjang usianya. Mengarahkan agar menjadikan Islam sebagai standar mengambil keputusan serta menghukum secukupnya bila memang diperlukan.
Ketiga, memberikan lingkungan yang kondusif dengan penerapan Islam kaffah. Di sistem sekularisme saat ini pemuda diserbu dengan beragam pemikiran yang bertentangan dengan Islam. Walhasil, pemuda yang diharapkan menjadi pionir perubahan tak jarang malah menjadi biang beragam persoalan. Mulai dari kasus narkoba, bullying, free sex, aborsi, LGBT, hingga tawuran diborong oleh pemuda. Kerusakan pemuda dipicu beragam faktor mulai dari rapuhnya ketahanan keluarga, pengaruh media dan lingkungan, minimnya pendidikan karakter dan agama di sistem pendidikan, serta abainya negara terhadap beragam persoalan pemuda menjadi paket komplet yang membuat potensi pemuda tidak terarah malah lari ke jalan yang salah. Para pemuda dengan mentalitas yang rapuh dan miskin ilmu akhirnya mudah terjerat dengan narasi-narasi sesat pemikiran liberal yang menganggap bahagia dan mental yang sehat itu didapat dengan berbuat sesukanya. Katanya tidak apa-apa buka hijab yang penting mental sehat atau stay cation dengan pacar di puncak itu melepas penat. Kemaksiatan jadi hal yang dinormalisasi atas nama menjaga kesehatan mental. Padahal, kebahagiaan sejati itu didapat ketika hati merasa tenteram dekat dengan Allah. Perbuatan serba bebas justru akan menjadi biang masalah baru bisa muncul. Sudah banyak kisah para selebritas yang rela mengakhiri hidupnya sendiri karena depresi, padahal kehidupan yang dijalani adalah kehidupan yang diimpikan banyak orang saat ini. Memiliki banyak uang, sering liburan, terkenal, rupawan, dan punya kekuasaan ternyata tidak menjamin kebahagiaan.
Ironinya di sistem peradaban kapitalisme yang asasnya paham materialisme, kita selalu didikte mengukur kebahagiaan dengan barang, uang, dan prestise. Inilah justru yang menjadi biang mental-mental generasi mudah ambruk, karena sistem ini menjadikan agama hal yang dipisahkan dari pengaturan kehidupan dunia. Orang-orang jadi sibuk menghabiskan hidupnya sekadar mencari materi yang ujungnya akan menyadari kebahagiaan ternyata tidak didapat dengan materi. Mental akan lelah mengejar kebahagiaan semu, maka untuk menyelamatkan generasi tak cukup dengan solusi individual melainkan harus mengganti sistem secara total dengan Islam. Ketika sistem Islam diterapkan secara kaffah, lingkungan masyarakat akan terwarnai dengan takwa, pendidikan berbasis akidah mendidik generasi agar mengintegrasikan agama dalam kehidupan, sistem ekonomi memberikan kesejahteraan, sistem politik memberikan keamanan, dan media menjadi wadah edukasi agar semua orang makin paham dengan Islam, sehingga dengan penerapan semua hal itu generasi rapuh akan menjadi tangguh.
Wallahu a’lam bi ash-shawwab.[]