"Dalam konteks kehidupan bernegara hari ini, sudah selayaknya sistem Ilahi memenangi demokrasi, sebab bersumber dari Sang Pemilik alam semesta."
Oleh. Hana Annisa Afriliani, S.S.
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-"Politik adalah seni lembut untuk mendapatkan suara dari orang miskin dan dana kampanye dari orang kaya, dengan berjanji untuk melindungi satu sama lain." - Oscar Ameringer
Perkataan seorang penulis dan aktivis sosialis keturunan Jerman yang tinggal di Amerika itu tampaknya memang mewakili apa yang terjadi di dunia perpolitikan hari ini. Ya, demikianlah potret politik ala sistem demokrasi yang dapat kita saksikan hari ini. Suara rakyat yang notabenenya sebagian besar dari kalangan jelata kerap dimanfaatkan untuk sekadar naik ke kursi takhta. Para aktor yang mencalonkan diri dalam kontestasi, memainkan citra demi meraih kursi. Berbekal janji manis dan selembar amplop atau bingkisan sembako, mereka berlomba-lomba merebut hati rakyat.
Begitulah kiprah demokrasi menjelang laga pemilihan. Para calon sibuk obral janji demi menaikkan elektabilitas. Sayangnya, ketika jabatan sudah dalam genggaman, rakyat jelata justru kian papa. Mengais keadilan di tengah puing-puing janji manis yang dulu deras diguyurkan. Ironi, janji demokrasi sekadar mimpi.
Kiprah Demokrasi Menampilkan Anomali
Dalam Wikipedia disebutkan bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari masyarakat dewasa. Sedangkan menurut Abraham Lincoln, demokrasi adalah pemerintahan yang didasari oleh rakyat, yakni dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Hal tersebut sejalan dengan arti demokrasi secara bahasa, yakni demos yang berarti pemerintahan, dan kratos yang berarti rakyat.
Jadi, dari teorinya terlihat bahwa demokrasi sangat menjunjung tinggi rakyat. Namun, benarkah kenyataannya semanis teorinya? Ternyata jauh panggang dari api. Dalam kiprahnya, demokrasi justru menampilkan anomali.
Indonesia sendiri sudah sejak awal meraih kemerdekaan mempraktikkan demokrasi dalam bernegara. Diawali dengan Demokrasi Parlementer pada periode 1945 hingga 1965, kemudian berubah haluan menjadi Demokrasi Terpimpin selama periode 1959-1966 yakni pada masa Orde Lama, namun dalam praktiknya cenderung otoriter. Selanjutnya sejak tahun 1966 hingga berakhirnya Orde baru, yakni tahun 1998 diterapkan Demokrasi Pancasila. Kemudian di masa reformasi, kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat diklaim menemukan ruangnya. Hingga saat ini, demokrasi masih eksis diagungkan di negeri ini. Dianggap harga mati dan sistem terbaik bagi negeri. Benarkah demikian?
Berganti-gantinya wajah demokrasi nyatanya tak menghasilkan perubahan berarti bagi kesejahteraan rakyat dan kemajuan negara. Sebaliknya, setiap periode demokrasi yang diterapkan tersebut justru memilki kisah suramnya masing-masing. Misalnya pada masa awal demokrasi justru banyak menimbulkan perpecahan politik. Di masa Orde Lama, tak jauh beda. Di bawah naungan Demokrasi Terpimpin, Presiden Soekarno membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meski hal tersebut bukan wewenangnya dan menyimpang dari ketentuan undang-undang.
Pun pada masa Orde Baru, praktik demokrasi diwarnai penyelewengan terhadap teori demokrasi itu sendiri, seperti adanya dominasi peran militer, pengebirian peran dan fungsi partai politik, bahkan adanya pembungkaman terhadap suara kritis yang berseberangan dengan penguasa. Di era reformasi kondisinya tak jauh beda, meski dinyatakan sebagai era kebebasan berpendapat dan berbicara, namun praktiknya kebebasan kerap tak memihak suatu pihak, melainkan hanya memihak pihak tertentu saja yang sejalan dengan penguasa.
Dan hingga hari ini, demokrasi kian menampilkan anomali. Teori bahwa rakyat yang menjadi dasar dalam pengambilan keputusan, nyatanya sekadar retorika tanpa bukti. Suara rakyat sekadar menjadi instrumen dalam pemilihan, namun setelah tercapai tujuan, rakyat dilupakan. Pengambilan kebijakan pun seringkali tak berpihak kepada kepentingan rakyat, seperti pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja yang merupakan bagian dari Omnibus law dilakukan secara diam-diam pada 5 Oktober 2020. Adapun undang-undang tersebut memuat aturan seputar ekosistem investasi dan usaha, peningkatan kesejahteraan dan perlindungan pekerja, dan lain-lain. Namun, isi undang-undang tersebut lebih memihak kepada kepentingan korporasi dan merugikan pekerja. Maka wajar, jika berbagai penolakan bergulir dan permohonan uji formil pun masif diajukan, hingga akhirnya Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) cacat secara formil. Untuk itu, MA menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusionalitas bersyarat. Meski begitu, hingga hari ini UU Ciptaker terus diberlakukan, sesuai keputusan MA.
Demokrasi Dikangkangi Korporatrokasi
Sungguh amat nyata bahwa demokrasi yang diterapkan saat ini tak lagi murni bermakna pemerintahan rakyat, melainkan telah beralih pada pemerintahan yang terafiliasi dengan perusahaan alias korporatokrasi. Ya, negara berselingkuh dari rakyatnya sendiri dengan para kapitalis pemilik korporasi. Akibatnya, rakyat dinomorduakan, sementara korporat menjadi pihak yang difasilitasi kepentingannya.
Salah satu contoh nyata yang dipertontonkan adalah tatkala penguasa menjerat hidup rakyat dengan aneka pungutan pajak di berbagai bidang. Bahkan, sejak 1 April 2022 lalu, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) resmi dinaikkan dari 10% menjadi 11% berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 pasal 7 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Di sisi lain, para konglomerat dianakemaskan lewat adanya kebijakan tax amnesty, yakni pengampunan pajak terutang tanpa dikenai denda administrasi, melainkan hanya dengan mengungkapkan harta dan membayar uang tebusan. Hal tersebut berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak.
Pajak memang dijadikan salah satu sumber pemasukan kas negara dalam sistem hari ini. Betapa tidak, APBN terbebani untuk membayar cicilan utang ribawi yang jumlahnya telah mencapai Rp7.163,12 triliun per Juli 2022. (CNBCIndonesia.com/15-08-2022)
Akhirnya rakyat kecillah yang terkena imbasnya dari utang pemerintah yang kian menggunung tersebut. Lantas, di manakah janji manis yang diobral demokrasi di laga kontestasi? Kenyataannya rakyat malah terus dimiskinkan oleh sederet aturan yang lahir dari sistem demokrasi itu sendiri. Miris!
Sistem Ilahi Rival Demokrasi
Prinsip dasar dalam sistem pemerintahan Islam adalah hak membuat hukum ada di tangan syari' yakni Allah Swt. Manusia dengan akalnya yang lemah dan terbatas tak layak menerbitkan hukum, karena akan kacau dan memunculkan polemik. Allah Swt. berfirman:
“Menetapkan hukum adalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi Keputusan yang baik.” (TQS. Al-An’am : 56-57)
Maka, demokrasi yang mengizinkan manusia melegislasi sebuah hukum melalui para wakilnya di DPR bertentangan dengan ajaran Islam. Sebab dalam kedaulatan bukan di tangan rakyat, melainkan di tangan Allah. Allah Swt. berfirman: "Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Sesungguhnya hukum Allahlah yang lebih baik bagi orang-orang yang yakin.” (TQS. Al-Maidah:50)
Demokrasi juga menjadikan kebebasan sebagai pilarnya, yakni kebebasan berpendapat, beragama, berkepemilikan, dan bertingkah laku. Padahal dalam pandangan Islam, setiap manusia tidaklah bebas, melainkan wajib terikat dengan hukum syarak. Ketika kebebasan yang diadopsi, justru manusia akan melakukan apa saja yang dikehendaki, selama dinilai tidak mengganggu urusan orang lain. Inilah salah satu yang diusung demokrasi yang bergandengan tangan dengan konsep Hak Asasi Manusia (HAM). Akibatnya, muncul banyak persoalan. Atas nama kebebasan berkepemilikan, aset strategis negara dikuasai asing. Perilaku seks bebas, miras dan narkoba menjadi headline berita yang tak pernah sepi setiap harinya, sebab direstui oleh kebebasan berperilaku. Pun para muslimah bebas mengumbar aurat bahkan mengeksploitasi tubuh dan kecantikannya atas nama hak asasi dan kebebasan berekspresi.
Sistem demokrasi sungguh tak layak dipertahankan, sebab bukannya membawa kebaikan, malah melahirkan banyak persoalan. Maka, kita butuh sistem pengganti yang terbukti mampu menghadirkan kebaikan dan kesejahteraan bagi masyarakat. Dan dialah sistem Islam yang telah Allah wahyukan sebagai sistem terbaik bagi seluruh umat manusia. Untuk itulah perlu adanya sinergi di antara kaum muslimin demi tegaknya sistem Islam yang didambakan, sebagaimana firman Allah Swt. dalam Al-Qur’an surah Al-Imran ayat 110, “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, selama menyuruh kepada yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.”
Jelaslah bahwa umat Islam secara fitrahnya telah Allah dudukkan di tempat terbaik selama melakukan aktivitas dakwah dan memegang teguh keimanan kepada-Nya. Dalam konteks kehidupan bernegara hari ini, sudah selayaknya sistem Ilahi memenangi demokrasi, sebab bersumber dari Sang Pemilik alam semesta. Oleh karena itu, saatnya umat Islam berkontribusi dalam perjuangan dakwah menegakkan Islam kaffah yang dinaungi Khilafah di atas muka bumi demi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan yang hakiki. Wallahu’alam bis shawab.[]