"Kinanti menjadi teringat dengan cerita dari Mba Pur tentang perilaku para ART yang sebelumnya pernah bekerja di rumah Pak Danang. Para ART tersebut bertingkah seolah ingin mendapat perhatian dari Pak Danang yang notabene seorang duda cerai tanpa anak. Pak Danang menceraikan istrinya yang bernama Dita karena suka menghambur-hamburkan uang bersama teman-teman sosialitanya."
Oleh. Eni Hartuti
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Pagi itu, matahari masih malu-malu keluar dari peraduannya. Seorang gadis dengan jilbab navy dan kerudung warna senada sedang bersiap ke kota untuk bekerja. Gadis ini bernama Kinanti.
"Assalamu'alaykum, Ibu…..Kinan boleh masuk?" Kinanti memberi salam di depan pintu kamar ibunya.
"Wa'alaikumussalam, masuk Nak," jawab ibu yang berada di dalam kamar.
"Ibu, Kinan mau pamit."
"Ibu di rumah baik-baik ya, selalu jaga kesehatan. Kinan akan baik-baik saja di kota. Doakan Kinan ya, Bu. Kinan minta maaf kalau selama ini banyak salah sama Ibu." Kinanti duduk bersimpuh sambil mencium kedua tangan ibunya.
"Iya Nak, Ibu akan baik-baik saja. Kinan di kota juga jaga diri baik-baik ya. Jangan pernah tinggalin salat. Puasa senin kamis juga jangan terlewat…Nanti kerjanya juga yang bagus ya, Nak, biar majikanmu senang." panjang lebar ibu memberi nasihat pada anak semata wayangnya itu.
"Nggih Ibu," jawab Kinanti dengan logat Jawanya yang masih kental.
Hari ini Kinanti berangkat ke kota untuk bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah seorang pengusaha kaya raya bernama Pak Danang. Kinanti mendapatkan pekerjaan ini dari Mba Pur tetangga sebelah rumah. Mba Pur telah terlebih dahulu bekerja di rumah Pak Danang kurang lebih setahun. Sebenarnya di rumah itu telah ada dua ART, salah satu nya Mba Pur. Kinanti mendapat tawaran bekerja setelah salah satu ART berhenti dan pulang ke kampung halamannya.
Menurut cerita Mba Pur, di sana Kinanti akan merawat ibu Pak Danang yang sedang sakit. Ibu Sarah namanya. Selama ini sudah berganti-ganti ART untuk merawat Bu Sarah tetapi tidak ada yang bertahan lama. Semua mengaku tidak betah karena sikap Bu Sarah yang kurang menyenangkan bagi mereka dan pada akhirnya ART tersebut memilih untuk berhenti bekerja.
"Kamu sudah siap kerja ngurus Bu Sarah kan?" kala itu Mba Pur menanyakan kesiapan Kinanti sebelum berangkat ke kota.
"Insya Allah, Mba," jawab Kinanti.
"Alhamdulillah, ya sudah nanti kabari kalau sudah mau berangkat."
"Nggih Mba."
Berbekal alamat yang diberikan oleh Mba Pur, esok harinya Kinanti berangkat ke kota menggunakan bus. Kinanti tak berharap banyak pada pekerjaannya kali ini yang hanya sebagai ART. Ia sadar pekerjaan ART dianggap pekerjaan rendahan yang dipandang sebelah mata. Satu keinginan Kinanti yang kini sedang dirajutnya adalah bisa membahagiakan ibunya, orang tua satu-satunya setelah ayahnya meninggal dunia ketika Kinanti berusia sepuluh tahun.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih dua jam, akhirnya Kinanti sampai ke sebuah rumah mewah dengan halaman yang cukup luas. Sejenak Kinanti menatap ke rumah mewah itu, ada perasaan takut yang tiba-tiba muncul. Namun, perasaan itu segera ditepisnya tatkala teringat dengan sosok ibu di kampung. Kinanti segera mencari letak keberadaan bel dan segera menekannya. Tak berapa lama muncul dari balik pintu seseorang yang sudah lama dikenalnya, Mba Pur.
"Assalamu'alaikum.. Mba Puuurrr."
"Wa'alaykumussalam.. Kinan, akhirnya kamu sampe juga ke sini," sapa Mba Pur sambil memeluk Kinanti.
"Kamu sehat?"
"Alhamdulillah sehat Mba."
"Syukurlah, ayo kita masuk. Kamu sudah ditunggu sama Pak Danang."
"Nggih Mba."
Mba Pur segera mengajak Kinanti masuk ke dalam rumah. Sampai di sebuah ruangan yang cukup luas dengan ornamen serba kuning keemasan telah menunggu Pak Danang.
"Pak, ini ART yang mau merawat ibu sudah datang, namanya Kinanti."
"Oh ini yang namanya Kinanti?" Pak Danang menatap Kinanti dari atas sampai bawah. Sepertinya Pak Danang heran dengan pakaian yang dikenakan oleh Kinanti.
"Ya sudah sana bawa temui ibu."
"Baik Pak."
Tiba di sebuah kamar yang letaknya tak jauh dari ruangan dimana Pak Danang berada. "Tok..tok.. Ibu, saya boleh masuk?"
"Masuklah Pur, nggak dikunci. Ada apa?" jawab Bu Sarah dari dalam kamar.
Di dalam kamar tampak seorang ibu berusia lima puluh tahunan sedang duduk di sebuah kursi roda.
"Bu, ini ART yang baru sudah datang."
"Oohh..siapa nama kamu?"
"Kinanti Bu, tapi panggil saja saya Kinan," jawab Kinanti sambil tersenyum.
"Kamu berapa usianya?"
"Dua puluh tahun bu."
"Hmmm…kira-kira kamu sanggup nggak kerja sama saya, nggak kayak yang sudah-sudah, pada kabur," Bu Sarah menatap tajam Kinan.
"Insya Allah, Bu."
"Ya sudah Pur, sana ajak Kinan liat-liat rumah ini biar kenal dulu."
"Baik Bu."
Mba Pur segera mengajak Kinan mengelilingi rumah sambil menjelaskan apa saja tugasnya di rumah itu.
"Nah, ini kamarmu Kinan," Mba Pur menunjuk salah satu kamar di bagian belakang rumah.
"Nggih Mba, kalo kamar Mba Pur yang mana?"
"Tuuhh yang persis sebelah kamarmu."
"Oohh..hehe," Kinan tersenyum senang.
"Ya sudah sana rapihin kamarmu, trus kamu juga bersih-bersih. Bu Sarah nggak mau kalau yang merawat dia bau."
"Nggih Mba."
"Oia, nanti sebelum ke kamar Bu Sarah kamu makan aja dulu. Nanti Mba Pur siapin di dapur."
"Nggih Mba, matursuwun."
Setelah semua rapi dan bersih Kinan segera ke dapur. Tampak Mba Pur sedang mencuci piring.
"Mba, saya makan ya."
"Iya cepat makanlah, Bu Sarah sudah nungguin kamu."
"Nggih Mba."
Kinanti segera mengambil makanan secukupnya dan duduk di kursi. Setelah selesai, Kinanti segera pamit ke Mba Pur.
"Mba, saya menemui Bu Sarah dulu ya."
"Lho, sudah beres makannya. Kok kamu makannya dikit banget? Emang sudah kenyang?"
"Sudah Mba, memang porsi makan saya segitu kok. Ibu ngajarin saya makan secukupnya dan berhenti makan sebelum kenyang."
"Oohh..ya sudah sana ke Bu Sarah."
"Nggih mba."
Kinanti segera bergegas ke kamar Bu Sarah. "Assalamu'alaikum, saya boleh masuk, Bu?"
"Wa'alaykumussalam, masuklah."
Kinan segera membuka pintu kamar Bu Sarah dan berjalan perlahan ke tempat Bu Sarah duduk di kursi rodanya.
"Ibu, maaf sekarang pekerjaan apa yang bisa saya kerjakan?"
"Kamu sudah tahu tugas kamu di sini?"
"Sudah Bu, tadi Mba Pur sudah menjelaskan?"
"Ya sudah, sekarang saya mau mandi. Cepat siapin air hangat!"
"Baik Bu."
Sambil mengingat semua wejangan Mba Pur apa-apa yang disukai dan tidak disukai oleh Bu Sarah, Kinanti segera menyiapkan semua perlengkapan mandi Bu Sarah.
"Ibu, maaf..ayo saya bantu ke kamar mandi."
"Tunggu…apa nggak salah kamu berpakaian seperti itu?"
"Ada yang salah dengan pakaian saya, Bu?"
"Iya, apa nggak ribet kamu pake gamis dengan kerudung besar? Kan kamu harus memandikan saya?"
"Nggak apa-apa Bu, memang sedikit ribet. Tapi ini sudah kewajiban saya sebagai seorang muslimah."
"Ya sudah kalau itu keinginan kamu," jawab Bu Sarah dengan ketus.
Kinanti sudah menduga akan ada pertentangan dengan pakaian yang digunakannya. Apalagi pekerjaan ART yang notabene pekerjaan berat. Sudah banyak cibiran dari orang-orang dan itu sudah biasa bagi Kinanti. Tapi itu adalah sebuah konsekuensi. Konsekuensi sebagai seorang muslimah yang harus dijalankan dengan sepenuh hati. Kecintaan Kinanti akan Rabb-Nya membuat dirinya kuat dengan semua cacian itu.
Dengan telaten dan sabar Kinanti merawat dan menemani hari-hari Bu Sarah. Tak terasa satu bulan berlalu.
"Kinan, kamu di sini betah nggak?" Mba Pur tiba-tiba bertanya.
"Alhamdulillah betah, Mba."
"Bu Sarah gimana? Baik nggak sama kamu?"
"Alhamdulillah baik, Mba."
"Memang kamu nggak pernah dimarahin? Nggak pernah dijutekin?"
"Ya pernah Mba, tapi ya biarin aja, sabarin aja."
"Syukur kalau gitu, Mba ikut seneng."
Pagi itu cuaca cukup cerah. Seperti biasa Kinanti tengah menyiapkan perlengkapan untuk Bu Sarah mandi. "Kinan, nanti bawa saya muter-muter keliling taman belakang ya," ucap Bu Sarah.
"Baik bu, tapi setelah ibu mandi terus makan ya," jawab Kinanti.
"Iya."
Sebenarnya Kinanti cukup kaget dengan permintaan Bu Sarah. Sebab, selama ini tiap kali Kinanti ajak untuk sekadar keliling rumah, Bu Sarah selalu menolak. Menurut Bu Sarah, kamarnya adalah tempat terbaiknya. Sebulan mengurus dan merawat Bu Sarah membuat Kinanti mengenal lebih dalam sosok Bu Sarah. Dengan kelembutan dan kesabarannya, Bu Sarah kini tak lagi menakutkan seperti sebelum Kinanti datang.
"Kinan, kenapa kamu kok beda dengan yang lain?" tiba-tiba Bu Sarah bertanya sembari melihat bunga-bunga cantik yang terawat dan tersusun rapi di taman belakang.
"Beda apanya, Bu?"
"Ya beda..beda cara berpakaian, cara kamu merawat saya, cara kamu kalau ngomong sama anak saya yang selalu nunduk."
"Hehe..ibu bisa aja. Saya seperti ini karena agama mengajarkan seperti itu."
"Maksudnya gimana?" Bu Sarah semakin dibuat penasaran oleh jawaban Kinanti.
"Ya..dalam agama yang saya anut, agama Islam mengajarkan agar saya menutup aurat secara sempurna. Islam juga memerintahkan kepada kita untuk berlemah lembut kepada sesama muslim apalagi terhadap orang tua. Begitu pula dalam pergaulan antara pria dan wanita. Sebagai seorang muslimah saya diwajibkan untuk menundukkan pandangan kepada yang bukan mahrom saya. Semua nya ada di dalam Al-Qur'an, Bu." Bu Sarah mengangguk-angguk mendengar penjelasan Kinanti.
Kinanti menjadi teringat dengan cerita dari Mba Pur tentang perilaku para ART yang sebelumnya pernah bekerja di rumah Pak Danang. Para ART tersebut bertingkah seolah ingin mendapat perhatian dari Pak Danang yang notabene seorang duda cerai tanpa anak. Pak Danang menceraikan istrinya yang bernama Dita karena suka menghambur-hamburkan uang bersama teman-teman sosialitanya. Dita bersama teman-temannya sering membuat pesta dengan dandanan yang berlebihan dan tentu pakaian ala kadarnya. Bahkan tak jarang pergi ke luar negeri demi berburu pakaian dan tas branded. Pak Danang sudah sering mengingatkan Dita untuk berubah dan menjadi istri yang baik sesuai tujuan awal pernikahan mereka. Tapi hal itu tidak pernah didengarkan oleh Dita. Sehingga pada akhirnya Pak Danang menceraikan Dita. Pada awalnya Dita menolak diceraikan karena Pak Danang adalah seorang pengusaha yang sukses yang tentu saja sangat kaya.
Masih menurut cerita Mba Pur, Dita masih suka datang ke rumah Pak Danang dengan harapan Pak Danang mau rujuk kembali. Tapi Pak Danang tetap pada pendiriannya. Selain karena pribadinya yang belum berubah, Dita juga kurang cocok dengan ibu Pak Danang. Semasa masih menjadi menantu, Dita jarang sekali mengobrol apalagi mau mengurus Bu Sarah yang sakit. Hal itulah yang membuat Pak Danang tetap pada pendiriannya.
Status Pak Danang inilah yang membuat para ART mencoba menarik hati Pak Danang. Hal ini membuat Bu Sarah marah dan pada akhirnya membuat para ART itu berhenti bekerja.
"Hei..Kinan, kamu melamun ya?" Bu Sarah mengagetkan Kinanti.
"Ehh Ibu..ga kok Bu," jawab Kinan sambil tersenyum malu.
"Ya sudah antar saya ke kamar, saya ngantuk."
"Baik Bu."
Dua bulan sudah Kinanti bekerja di rumah Pak Danang. Sore ini cuaca cerah. Kinanti sedang menyiram tanaman di halaman depan. Di luar tampak mobil Pak Danang telah ada di depan pagar. Segera Kinanti membuka pintu pagar. Tanpa melihat ke arah dalam mobil, Kinanti segera menutup kembali pintu pagar. Tiba-tiba dari jauh tampak sebuah mobil menuju ke rumah Pak Danang. Seorang wanita dengan mengenakan celana jeans dan kaos ketat turun dari mobil.
"Hei Mba..sini," panggil wanita itu.
"Saya?" jawab Kinan.
"Iya kamu."
"Ada apa Bu?"
"Bos kamu ada?"
"Pak Danang maksudnya, Bu?"
"Iya, siapa lagi! Cepet panggil dia."
"Baik Bu."
Kinanti segera masuk ke dalam rumah dan memberi tahu Pak Danang perihal kedatangan wanita itu.
"Pak, maaf.. Itu di depan ada wanita mencari Bapak."
"Wanita?"
"Iya Pak." jawab Kinan sambil menunduk.
"Ya sudah, ayo kamu ikut sama saya."
"Saya ikut? Buat apa Pak?"
"Sudah ikut saja."
"Baik Pak."
Kinanti segera mengikuti Pak Danang. Ada perasaan takut menggelayut di benaknya. Ada apa sebenarnya? Siapa wanita itu? Kenapa Pak Danang membawa Kinanti pada masalahnya? Berbagai pertanyaan muncul di kepala Kinanti.
"Ada apa kamu datang ke sini?" ucap Pak Danang ketus.
"Aku ingin kita rujuk," jawab wanita itu.
"Buat apa? Kamu tidak pernah berubah, masih seperti dulu. Lihatlah pakaianmu. Apa pantas wanita baik-baik berpakaian seperti itu?"
"Apa maksudmu Mas?"
"Lihat itu?" Pak Danang tiba-tiba menunjuk ke arah Kinanti.
"Oh, jadi Mas menganggap aku kotor? Cuma wanita yang berpakaian seperti itu saja yang suci?"
"Bukan seperti itu maksud aku Dit! Tapi aku lebih suka dengan wanita yang berpakaian sopan."
"Aahh sudahlah, aku tahu maksudmu, Mas."
Dita segera masuk ke dalam mobilnya dan pergi meninggalkan rumah Pak Danang.
Kinanti terdiam melihat pertengkaran Pak Danang dan wanita yang ternyata itu adalah mantan istri Pak Danang yang bernama Dita. Sejak peristiwa itu, Dita tidak pernah datang lagi ke rumah Pak Danang.
Selesai[]