"Di sebuah ruangan instalasi gawat darurat, sesosok gadis berkerudung hitam terbujur kaku. Mata bulat, bening, dan berwarna kelabu itu telah memejam. Bibirnya mengatup rapat dengan senyum mengulas. Tidak ada lagi rona merah pada kedua pipinya."
Oleh. Haifa Eimaan
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Di luar sunyi senyap. Bulan di langit Hebron menggantung sealis memeluk satu bintang. Masyaa Allah, ucap Jeneen dalam hati. Bolehkah dia menganggap pemandangan itu sebagai hadiah spesial dari Allah untuknya. Hadiah bagi kebebasannya bisa mendekap lagi ibu dan kedua adiknya. Wajahnya mengulas senyuman. Sebait kalimat thayibah kembali dilafalkan lidah fasihnya.
Tiga bulan lamanya kalimat-kalimat itu tidak pernah kering dari lidahnya. Silih berganti terucap bersama selawat dan ayat-ayat Allah yang belum tuntas dihafalnya. Tiga bulan juga dia hanya bisa melihat ruangan sempit bercat putih kusam dengan jeruji besi pada salah satu sisinya, juntaian sarang laba-laba yang memenuhi langit-langit beton abu-abu gelap dengan satu bohlam kecil di sela-selanya, dan lantai semen tanpa alas sesenti pun. Bila malam datang, udara terasa beku hingga seluruh tubuhnya susah digerakkan.
Deru mobil patroli terdengar di kejauhan. Sorot lampunya bahkan sampai di depan rumahnya. Sekali lagi dia menatap bulan memeluk satu bintang. Kemudian Jeneen tergesa menutup jendela kamar adiknya. Suara keriyet terdengar dari engselnya. Dia menoleh ke arah dua tumpukan karpet usang yang ditiduri adiknya. Jeneen bersyukur, Rifaat dan Jaleel tidak terusik tidurnya.
Gadis berusia 25 tahun itu beringsut menyelimuti Rifaat dan Jaleel dengan kaffiyeh peninggalan ayah dan kakak mereka. Satu keffiyeh satu tubuh.
Diciuminya satu per satu wajah adiknya sepenuh cinta. Rifaat menggeliat. Remaja tanggung itu tampak membuka mata. Mengerjap-ngerjap lalu menyapa kakaknya.“Belum tidur?”
“Di luar ada patroli. Berputar-putar di depan rumah,” jawab Jeneen bersuara rendah. Dia duduk di sisi Rifaat.
“Kita terlahir di Hebron. Setiap anak yang lahir di kota ini, Allah takdirkan sebagai pejuang. Kelak, bila kau dewasa, jangan sekali-sekali menjadi politisi apalagi menjadi polisi. Kau dan Jaleel, masa depan bangsa ini ada di tangan kalian. Ayah dan kakak telah mencontohkannya untuk kita.” Jeneen mengucapkan penuh penekanan. Tanpa Rifaat tahu, kedua sudut mata kakaknya membasah. Jeneen sangat bersungguh-sungguh berpesan pada adiknya.
“Kau pasti mengigau. Ini masih larut.”
“Aku tidak mengigau, Rifaat. Ini masih pukul sepuluh.”
“Oh. Tapi aku harus tidur dulu, Jeneen. Besok giliran team-ku membagikan peristiwa.”
Setiap usai Subuh, remaja-remaja di Hebron bergerak dalam senyap, mengawasi dan mengikuti setiap peristiwa yang terjadi, lalu mengunggahnya ke media sosial.
“Jangan lupakan foto di tiap peristiwa. Oke?” Jeneen beranjak setelah sekali lagi membenahi selimut adiknya. Sisa-sisa musim dingin masih terasa. Dia duduk lagi untuk membisiki Rifaat. “Besok hari pertamaku di Kantor Berita RoyalNews. Kau bisa ambil beritaku. Gadis Hebron yang akan mengabarkan pada dunia tentang kekejaman Zionis, tentang ketidakadilan yang kita terima.”
“Insyaa Allah,” sahut Rifaat pendek. Dia menarik kaffiyeh hingga menutupi wajahnya.
Jeneen keluar dari kamar Rifaat dan Jaleel. Di depan kamar adiknya, tampak ibunya sedang mengemas roti gandum yang akan dijual esok di pasar Al- Hasrieh. Janeen membantunya.
“Kau belum tidur?” Dua pertanyaan yang sama untuk Jeneen malam ini.
“Belum mengantuk, Bu. Aku terlalu bahagia bisa menghirup udara bebas dan besok hari pertamaku bekerja. Masyaa Allah. Aku akan menjadi jurnalis profesional. Tidak sia-sia kuliah 4 tahun di jurusan ilmu komunikasi. Akan kukabarkan pada dunia setiap darah yang tertumpah di Palestina, jeritan kelaparan, dan tangis kedinginan anak-anak Palestina. Jeneen mendekap ibunya. Bermanja-manja layaknya anak kecil.
Tubuh kering Madam Ahmed berayun ke kanan dan kiri mengikuti gerakan Jeneen. Jari-jari keriputnya meletakkan sepotong roti gandum ke dalam tatakan. Dia urung membungkusnya dengan plastik. Kedua sudut bibirnya tertarik ke samping hingga sudut matanya menyipit. Ibu mana yang tidak bahagia putrinya bisa berkumpul lagi dengannya.
“Tadi siang ada ibunya Yasir. Apa kau sudah punya jawaban untuknya?” tanya Madam Ahmed dengan nada jenaka.
Jeneen seketika menghentikan gerakannya. Perlahan dia melepas rengkuhannya, duduk tepat di hadapan ibunya. Jari-jarinya ikut membungkusi roti sekepalan tangannya. Sehari sebelum dia ditangkap oleh tentara Israel dengan tuduhan terlibat aksi demonstrasi pro-Palestina, keluarga Yasir telah menyampaikan lamarannya.
“Yasir. Dia pemuda hebat, taat, dan bertanggung jawab seperti yang kukenal di sekolah dulu. Tapi, Ibu, selama lima bulan aku masih menjalani masa percobaan..” Jeneen meletakkan jari telunjuknya di depan bibirnya ketika melihat ibunya hendak berbicara.
“Ibu, tempat kerjaku bukan di dalam ruangan, tapi di lapangan. Aku mencari berita di kamp-kamp pengungsian, meliput bentrokan antara zionis dan masyarakat sipil. Tidak mungkin aku menikah. Aku tidak akan sempurna menjadi istri.”
Ibunya menutup mulutnya dengan telapak tangan kanannya. Kemarin dia mengira putrinya bekerja sebagai pembaca berita saja. Ternyata ….
“Kau?” ibunya menggeleng tidak percaya, “Kau tahu Shireen Abu Akleh? Jurnalis senior dari Al-Jazeera itu sudah 25 tahun bekerja. Perempuan itu ditembak saat meliput bentrokan di Jenin,” ucap ibunya terbata, “dan kau…. kau bahkan baru memulainya. Allahu Rabbi!”
“Ibu, ajal, jodoh, dan rizki sudah ditentukan oleh Allah. Yang kita lakukan sekarang hanyalah menjemputnya dengan cara-cara yang Allah rida.”
“Ibu paham. Tapi kau anak perempuan ibu satu-satunya. Ada begitu banyak kekhawatiran, Jeneen. Selama tiga bulan kemarin, setelah dari Al-Hasrieh, Ibu menghabiskan hari di Masjid Ibrahimi. Sore kembali ke rumah membuat roti. Malam hari terasa sangat panjang.” Madam Ahmed menghela napas. Kedua tangannya menangkup wajah tirus Jeneen.
“Rasanya lebih menyakitkan daripada saat kehilangan ayahmu dan Aziz. Ibu tidak tahu keberadaanmu, tidak tahu kau ada di penjara mana, masih hidupkah atau sudah tiada. Apakah mereka melecehkanmu?Pertanyaan-pertanyaan itu terus memenuhi kepala sampai kau mendadak datang dua hari kemarin.”
Jeneen menatap tulus ibunya.
Wajahnya makin tirus. Tubuhnya tampak ringkih. Kelopak matanya menghitam. Rambutnya putih merata. Kerut-kerut di wajahnya menggurat luka. Satu guratan untuk satu kesedihan keluarga mereka dan seluruh muslim Palestina.
Dia kembali memeluk ibunya. Mencium kedua pipinya bergantian. Kiranya tidak ada kata yang mampu mewakili segenap isi hatinya malam ini. Seluruh yang disampaikan ibunya benar. Sejujurnya, dia ingin menerima Yasir. Pemuda itu salah satu aktor di balik kesuksesan roket-roket Hamas menembus iron dome Israel. Membina rumah tangga dengannya niscaya akan makin mengokohkan perjuangan demi pembebasan Palestina. Namun, menikah bukan prioritasnya saat ini. Dia ingin menyelesaikan masa percobaannya dulu di Kantor Berita RoyalNews.
“Jeneen, kalau kau menerima pinangan Yasir, kemudian kalian menikah. Dia bisa mendampingimu liputan. Itu melegakan ibu.” Buliran bening menuruni pipi Madam Ahmed. Jeneen menghapusnya. Dia lalu menggengam kedua tangan ibunya.
“Apakah itu harapan terbesar Ibu padaku?” Jeneen tidak kuasa melihat air mata ibunya.
Madam Ahmed berkata, “Ya, itu harapan terbesar Ibu.”
“Baiklah. Atur saja pernikahanku dengannya sepulang bekerja esok, Bu,” sahut Jeneen mengalah.
Selama ibunya rida, tidak ada yang perlu dikhawatirkannya. Dia hanya
bulan sealis menggantung memeluk bintang. Inikah maksudnya?
**
Matahari naik sepenggalah. Pasar Al-Hasrieh masih ramai orang-orang bertransaksi. Jaleel berlari kencang serupa kijang memburu mangsa. Dia menerobos kerumunan dan berkelit di antara penjual dan pembeli. Berulang kali lisannya mengucap kata maaf pada orang-orang yang diserobot haknya di jalan. Dia harus segera bertemu ibunya.
Wanita mulia itu tampak melayani pembeli. Senyum menghiasi wajahnya. Di jarak sepuluh meter, Jaleel mengerem langkah, mengatur napas, dan mengelap keringat di keningnya. Dia ingin semuanya terlihat normal di hadapan ibunya.
“Masyaa Allah, Jaleel.” Madam Ahmed mengembangkan kedua tangannya dengan semringah.
Pemuda tanggung itu memeluk dan menciumnya. Kemudian membisikkan sebuah ayat, “Wa laa taḥsabannallażiina qutilụ fii sabiilillaahi amwaataa bal aḥyaa`un 'inda rabbihim yurzaqụn.”
Madam Ahmed menguatkan dekapannya pada putra bungsunya. Jantungnya berdegup cepat.
“Rifaat?” tanya ibunya.
“Jeneen,” sahut Jaleel, “Je-neen, Bu.” Kali ini dia tidak mampu menahan sesak di dada. Butiran bening dari matanya membasahi kerudung ibunya.
“Innalillahi wa inna ilaihi roji’uun. Dia di mana?”
“Rumah sakit Al-Ahli.”
Toko roti itu dibiarkan begitu saja. Melihat keduanya tergesa, tetangga lapak Madam Ahmed menyusul. Membiarkan toko-toko mereka terbuka. Turut bergegas mengiringi ibu anak itu. Mereka tahu, telah terjadi sesuatu pada anggota keluarga Madam Ahmed. Keluarga Ummu Asma memberikan tumpangan. Sebuah mobil penumpang tua membawa mereka ke rumah sakit. Tidak ada satu pun yang saling bicara hingga mereka tiba di sebuah bangunan serba putih bertingkat di jantung kota Hebron.
Di sebuah ruangan instalasi gawat darurat, sesosok gadis berkerudung hitam terbujur kaku. Mata bulat, bening, dan berwarna kelabu itu telah memejam. Bibirnya mengatup rapat dengan senyum mengulas. Tidak ada lagi rona merah pada kedua pipinya.
Rifaat menciumi wajah kakaknya. Mengucapkan penyesalannya, tidak menanggapi ajakan obrolannya semalam. Namun, dia berjanji akan memenuhi wasiatnya. Telah dia kabarkan pada dunia tentang kematian seorang jurnalis perempuan Palestina melalui akun media sosial yang diampunya.
Rifaat mengangkat wajahnya dari sisi pembaringan Jeneen. Seorang relawan dari Bulan Sabit Merah menarik tubuhnya. Dia mundur, lalu memeluk Jaleel. Sementara ibunya menangkup wajah Jeneen. Menciumi kedua pipi pucatnya yang mulai mendingin.
“Innalillahi wa inna ilaihi roojiun. Ibu rida, Jeneen. Ibu rida.” Madam Ahmed memberi kode pada yang lain. Ia membuka selimut yang menutupi tubuh Jeneen hingga lehernya. Sebuah lubang menganga tepat di dadanya. Madam Ahmed mengusap darah yang masih merembes keluar di antara kasa.
“Wa laa taḥsabannallażiina qutilụ fii sabiilillaahi amwaataa bal aḥyaa`un 'inda rabbihim yurzaqụn.”
**
Pagi tadi, dengan abaya hitam dan kerudung sewarna, Jeneen melangkah penuh optimis menuju Kamp Pengungsi Al-Arroub. Letaknya di bagian selatan Tepi Barat antara Hebron dan Betlehem. Sebuah tas selempang berisi ID card dan ponsel menemani liputan pertamanya.
Dari 19 kamp pengungsi sejak tahun 1948 lalu, Al Arroub merupakan salah satu kamp dengan intensitas penyerangan tertinggi oleh Israel. Penggunaan gas air mata, bom suara, dan peluru logam berlapis plastik oleh militer Israel seolah menjadi menu harian. Jeneen tidak jeri. Ada Allah yang membersamai langkahnya.
Sebuah menara pengintai dipasang Israel di dekat pintu masuk Al-Arroub. Kehadirannya pasti telah diindera oleh tentara Israel yang berjaga. Jeneen semakin rapat merapal doa. Langkahnya semakin bersemangat untuk mencapai pintu masuk Al-Arroub.
Tiba tepat di depan pos jaga, sekira dua meter jaraknya, belum lagi dia menyampaikan tujuannya, sebuah timah panas menembus dadanya. Seiring pekikan takbir yang spontan terucap, dia mengembuskan napas terakhirnya.
**
Tribute to: Ghufran Hameed Warashneh[]
Kalau saja ada tombol "Love" I'll klik it hundred times
Maasya Allah.. Apik banget karyanya.. Saya iri sama Jeneen akan totalitasnya memperjuangkan Islam