Hape Kentang

“Aku mematikan gawai yang baterainya sudah sekarat. Hawa panas terasa membakar kulit saat kupegang. Ah, bila perhitunganku tepat, minggu depan adalah masa bakti terakhir gawaiku ini untuk belajar daring sebelum masa pensiun datang.”

Oleh. Yoza Fitriadi
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-“Pandemi masih jauh dari kata usai. Belasan purnama sudah dunia ini dibuat kalang kabut. Bangsa kita pun tak luput dari cemas menggelayut. Tapi percayalah, Nak. Badai pasti berlalu, pandemi ini pun pasti berakhir.”

Lengang sejenak mengisi ruang. Hela napas tak terdengar. Partikulat udara yang berhembus pun tak terasa. Mungkin semua sama denganku. Mengamini dalam hati. Sembari berharap Sang Pemilik semesta sudi mengabulkan permintaan kami kali ini.

“Sebelum Ibu tutup pertemuan. Silakan bagi yang mau bertanya, lambaikan tangannya. Adakah orangnya?”

Kuamati kolom chat di aplikasi Zoom yang tengah kami gunakan. Sedari tadi aku hendak bertanya banyak hal pada guru Pendidikan Kewarganegaraan kami ini. Namun, urung. Aku tak ingin bully-an sekian kali kembali menghampiri.

“Nabila Putri. Mau bertanya apa?”

“Bu, bukankah Indonesia adalah negara yang kaya dengan sumber daya alam yang melimpah. Bangsa kita pun kerap memborong medali olimpiade kebumian, matematika hingga fisika, tapi mengapa penanganan pandemi di tempat kita ini masih tertinggal dengan Negeri Jiran semisal Vietnam atau Singapura?” tanya siswi berkacamata itu amat bersemangat.

Tampilan monitor kembali berpindah. Kali ini Reno hendak berbicara. Entah menjawab atau justru menambah runyam suasana.

“Bagaimana mau selesai kalau dana bantuan sosial saja dikorupsi? Saat rakyat menjerit, eh ada saja pejabat berdasi mencari keuntungan pribadi. Sekaliber menteri lagi! Iya, ‘kan, Bu? Hehe.”

“Pemerintah telah mengupayakan yang terbaik. Kalaupun ada pihak yang menyelewengkannya, itu hanyalah oknum. Masih banyak orang baik di dunia ini. Kalaulah kalian belum menemukannya, jadilah orang baik tadi.” sahut Bu Aina menjelaskan.

“Laili mau menambahkan? Biasanya paling rajin kalau berdiskusi di kelas.”

Dug. Akhirnya pertanyaan menakutkan itu datang menyergap. Hal yang paling kuhindari sejak pemerintah memutuskan pembelajaran jarak jauh dengan sistem daring ini diterapkan.

“Dia enggak mau, Bu. Malu pastinya. Tampilan mukanya enggak jelas.”

Beberapa rekan kelasku tampak tertawa di layar. Meski tak ada suara karena sudah mute , tetapi kupaham mereka hanya bercanda. Candaan yang begitu mengena.

“Biasa, Bu. Namanya juga hape kentang!”

Layar masih menampilkan paras Bu Aina yang hendak melerai. Aku yakin itu adalah Satrio dan Bunga yang mengeluarkan suara.

Guruku itu tak ingin membahas. Beliau lantas menutup pembelajaran kali ini dengan closing statement yang seperti biasa membuat kami sekelas begitu antusias.

“Sejarah tak hanya mengajarkan kalian untuk membaca kisah. Namun juga berpesan, jangan pernah mengulangi kesalahan yang sama. Apa pun yang terjadi, jangan pernah kehilangan cinta pada negeri ini.”

Pelajaran hari ini telah usai. Ah, mungkin benar pandemi telah merenggut banyak hal. Tatap muka hanya sebatas virtual, canda tawa pun tak lagi ramai. Namun, selalu ada sisi baik untuk berbenah. Untuk pertama kalinya sekolah kami yang letaknya di pesisir Pulau Sumatra ini mulai melek teknologi. Sadar untuk mencoba nyaman di tengah ketidaknyamanan. Beralih dari manual menjadi digital.

Namun, di sinilah masalah sesungguhnya. Sungguh aku amat senang bila berselancar di platform pembelajaran maya. Berinteraksi dengan aplikasi semisal Google Meet, Zoom, Webex atau sejenisnya. Masalahnya adalah gawaiku kerap menjerit. Ruang penyimpanan internal yang sempit didukung oleh prosesor yang lemot alias lambat seperti labi-labi. Karlina dan kawan-kawan menyebutnya hape kentang. Itu sebutan untuk gawai yang sering eror dan terkadang mati mendadak. Spesifikasinya tanggung dengan kapasitas RAM kecil sehingga aplikasi terbatas. Kamera kualitas standar sehingga hasil tampilan layar pun tak terlalu jelas.

“Ibu pasti capek, ya? Sini, Laili pijit!” ujarku spontan.

Ibu yang baru saja selesai mandi usai pulang kerja, lalu duduk santai. Di dekat lemari, ada ayah yang ikut tersenyum mengawasi.

“Yang kuat, ya, Lai! Badan Ibu pegal. Hujan seharian membuat kami bekerja lebih keras. Bolak-balik mengepel lantai yang tak henti kotor oleh lumpur dan bercak,” jawab ibu sembari menunjuk bahu kirinya.

Ada rasa iba yang berkecamuk. Kulirik tulang selangkanya yang kian jelas terlihat. Balutan daging kian menipis, menyisakan kulit keriput yang terkadang bersembunyi di balik helaian rambut putih. Ah, aku urungkan niat untuk meminta gawai baru pada ibu. Pekerjaannya sebagai petugas kebersihan rumah sakit swasta tentu saja tak menggaransi upah bergelimang uang kertas berwarna merah.

“Pasti ada yang mau diomongkan. Bilang saja, Lai.”

Aku tersenyum. Ibu seperti bisa menebak arah pikiranku. Gelengan kepala saja yang datang sebagai jawaban, melanjutkan pijatan dengan kekuatan yang mulai berkurang oleh isak tangis tertahan.

“Anak gadis Ibu kenapa? Cerita, Nak.”

“Laili diejek Satrio dan kawan-kawan lagi, Bu. Gara-gara hape kentang, mereka bilang mukaku jelek kayak hantu, tak jelas. Laili malu kalau mau bertanya saat belajar karena pasti wajah tampak pecah-pecah di layar.”

“Oh. Tapi orang aslinya cantik seperti bidadari.”
“Hmm, Ibu….”
“Lalu, apa lagi kata temanmu?”
“Duwi juga bilang, enggak mau lagi berteman sama Laili. Beda kasta kata mereka. Soalnya Laili jarang upload foto di instagram.”

“Jadi, intinya mau minta beli gawai baru nih?”

Kali ini aku diam. Tak berani mengiyakan, tetapi khawatir kehilangan kesempatan bila berkata tidak.

“Mulai minggu depan, ibu akan sisihkan uang lembur untuk Laili beli gawai baru. Ditabung yang benar, ya. Uang jajan juga dihemat!”

Kupeluk tubuh ibu dengan haru. Punggungnya basah oleh linangan air mata bahagiaku. Kulirik ayah yang masih tak bersuara di dekat lemari. Ia masih tersenyum, seolah ikut bergembira melihat anak satu-satunya mulai menabur asa dan mimpi.

Perlahan tabunganku mulai bertambah. THR Idulfitri dan Iduladha membuat impianku membeli gawai baru makin tampak hilal.

“Bu, kapan pandemi ini usai? Meski telah mereda, tetapi pembatasan masih ada. Kapan, Bu?”

“Besok kita akan merayakan Maulid Nabi Muhammad saw.. Ini tentang meneladani dan mebuktikan rasa cinta kita kepada beliau. Termasuk tentang rasa ikhlas yang sejatinya sungguh berat. Banyak hal yang dulunya biasa saja, sekarang terasa mewah. Sifat beliau yang harus diteladani untuk menjadi pedoman. Perbanyaklah sabar.”

Bu Aina tidak menjawab secara langsung. Ia ingin kami memaknai dan mencari sendiri jawaban atas pertanyaan Fajar.

“Laini, sebagai ketua kelas yang baru, jangan lupa kau cari tahu keberadaan Satrio, Ria dan Lona yang tidak masuk lima hari ini!”

“Siap, Bu!” jawabku sembari pamit meninggalkan room.

Aku mematikan gawai yang baterainya sudah sekarat. Hawa panas terasa membakar kulit saat kupegang. Ah, bila perhitunganku tepat, minggu depan adalah masa bakti terakhir gawaiku ini untuk belajar daring sebelum masa pensiun datang.

Deru sirene ambulans kembali terdengar. Beberapa hari terakhir pemandangan seperti ini sudah makin terasa familier. Bulu kudukku selalu merinding setelahnya. Entah yang diangkut mobil berwarna putih itu pasien kritis atau justru jenazah yang akan dimakamkan.

“Lai, kamu ingat cerita Ibu tempo hari? Gadis kecil itu akhirnya meninggal.”

Batinku kembali bergemuruh. Itu tentang bocah tujuh tahun yang ibu ceritakan. Gadis dengan rambut kepang dua yang sudah berjuang sebulan lamanya. Ia anak yang kuat. Allah lebih sayang padanya dan memanggilnya lebih cepat. Ibu sempat mendengar percakapannya dengan dokter saat itu. Hal yang membuatku menitikkan air mata ketika menuliskannya di lembar diary biru dengan perasaan tak karuan.

Tante pasti cantik. Kalau Adek sudah sembuh, mau, ya kita foto bareng? Tetapi jangan pakai APD putih ini, seram! Hehe….

Selawat bersahutan di seluruh penjuru kota. Kali ini acara perayaan di masjid-masjid mulai semarak.

Libur almanak merah hanya satu hari. Namun, itu cukup bagiku untuk menyelesaikan dua misi. Satu, melakukan survei harga gawai terbaru lengkap dengan spesifikasinya. Dua, investigasi terkait dengan keberadaan Satrio dan kawan-kawan. Tuntas. Sudah aku laporkan ke wali kelas terkait dengan kondisi mereka yang terancam putus sekolah. Paceklik memaksa usaha kuliner jalanan keluarga mereka tutup. Ekonomi pun kian tercekik dengan harga kebutuhan pokok yang tak kunjung surut.

Pelajaran Bu Aina kembali hadir. Senyumku begitu semringah. Aku janji setelah ini tak akan ada yang bisa mengejek paras muka jelek, hape kentang dan sebagainya. Gelar ratu sosmed akan kembali aku dapatkan. Ancaman dipecat dari jabatan ketua kelas karena tak mampu merekap kumpulan tugas teman-teman pun tak akan datang. Berita baiknya, Satrio yang biasa mem- bully , tidak hadir sekolah. Sepertinya ia malu karena gawai kebanggaan miliknya telah tergadai.

“Nak, Maulid Nabi bukan sekadar merayakan hari kelahiran beliau. Namun, juga meneladani beliau dalam berbagai aspek kehidupan. Kesalehan dalam beribadah, kepemimpinan yang indah dan akhlakul karimah, termasuk kepedulian terhadap sesama.”

Pelajaran telah usai. Dompet berisi tabungan untuk membeli gawai baru yang aku letakkan di depanku segera kuambil dengan tangan gemetar.

“Laili, ayo kita beli gawai barumu. Kita pesan online saja. Harga lebih murah, bisa bayar di tempat!”

Batinku bergemuruh. Apa yang dibilang Bu Aina tadi? HARTA, PEDULI SESAMA, IKHLAS, SALEH.

“Bu, Laili enggak jadi beli gawai baru. Laili ingin beli empat buah gawai bekas saja.”
“Maksudnya? Ibu enggak paham.”
“Satu untuk Laili dan tiga lagi untuk teman kelas yang terancam putus sekolah karena pandemi ini. Laili yakin mereka malu karena tidak punya gawai untuk belajar daring. Cukup Laili saja yang pernah diejek punya hape kentang. Jangan ada lagi orang bernasib serupa. Lagi pula gawai bekas yang akan kita beli masih bagus dan kualiatasnya lebih canggih dari hape kentang Laili yang lama.”

Ibu tersenyum haru mendengarnya. Ia memelukku lama. Kurasa punggungku mulai basah. Ibu pasti sedang menangis di balik sana.

“Maaf, Bu. Selama ini niat Laili salah. Gawai baru tadi bukan diniatkan untuk belajar, tapi untuk membalas sakit hati kepada Satrio dan kawan-kawan. Hanya ingin mencari ketenaran dan pengakuan belaka. Mulai besok dan seterusnya, Laili janji tak akan malu tampil di depan umum meski tampilan layar wajah Laili tak secemerlang teman lain. Tak perlu khawatir bila harus dipecat dari jabatan ketua kelas ataupun dikucilkan dari pergaulan yang hanya memandang seseorang lewat harta.”

“Nak, terima kasih telah membuat Ibu bangga. Semoga Allah mencatat niatmu ini dengan pahala berlimpah.”

Kutatap mata ibu yang kian bias.
“Bu, bolehkah aku mulai menabung lagi? Tahun depan Laili berniat untuk berkurban kambing atas nama ayah di Iduladha.”

Ibu mengangguk mantap. Kulirik ayah yang tetap diam tak bersuara. Ia masih tersenyum di dekat lemari. Memang hanya foto almarhum yang kami pajang. Namun, ia tak akan pernah kehilangan posisi sebagai laki-laki yang paling kucintai.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Yoza Fitriadi Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Usulan Kenaikan Bantuan Parpol di Tengah Kesulitan Rakyat, Pantaskah?
Next
Intervensi Asing? Ogah!
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram