”Sayangnya, gaung perdamaian dan pembelaan oleh lembaga-lembaga tersebut bak jauh panggang dari api. Meski pertemuan demi pertemuan diselenggarakan, namun sebanyak itu pula intimidasi, aneksasi, pengeboman, hingga pembunuhan terhadap rakyat Palestina.”
Oleh. Sartinah
(Challenge Tim Media / NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Nestapa kaum muslim seolah enggan beranjak dari bumi Palestina. Tak berbilang hari, bulan, bahkan tahun, penderitaan mereka nyaris tanpa jeda. Masifnya intimidasi, penghancuran, pengusiran, hingga pembunuhan seolah menjadi “tradisi” yang entah kapan berakhir. Jerit tangis anak-anak Palestina pun tak pernah didengar oleh para penguasa muslim karena terbelenggu oleh tebalnya dinding nasionalisme. Beragam resolusi yang diberikan oleh lembaga internasional sekelas PBB, OKI, dan lainnya, justru tak berdampak signifikan hingga kini.
Menggagas Perdamaian
Pada 21 September 2021 lalu, Hari Perdamaian Internasional (International Day of Peace) kembali diperingati. Dengan mengangkat tema ‘Recovering better for an equitable and sustainable world’, PBB mengajak seluruh masyarakat dunia untuk bergabung dalam upaya pemulihan dunia. Menciptakan dunia yang lebih adil dan damai dengan melawan semua bentuk kebencian serta menyebar kasih sayang dan kebaikan.
Dalam peringatan tersebut, Majelis Umum PBB pun mengungkapkan bahwa Hari Perdamaian Internasional adalah hari yang dipersembahkan untuk memperkuat cita-cita perdamaian dunia. Salah satu wujudnya adalah selama 24 jam penuh tanpa kekerasan dan melakukan gencatan senjata. Dalam kesempatan tersebut, Sekjen PBB menegaskan untuk mencegah perang dan menggaungkan perdamaian di tengah krisis, konflik, serta ketidaksetaraan yang telah lama berkembang. (Detik.com, 21/09/2022)
Tidak hanya PBB yang menggaungkan perdamaian dunia, Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) bahkan secara spesifik memberikan dukungannya terhadap kemerdekaan Palestina. Pada 25 April 2022 misalnya, telah diselenggarakan pertemuan luar biasa tingkat Wakil Tetap negara anggota OKI di Jeddah, Arab Saudi, atas permintaan dari Indonesia. Pertemuan tersebut didasari atas perkembangan Palestina yang kian mengkhawatirkan terutama di Masjid Al-Aqsa.
Pertemuan tersebut diketuai oleh Saudi Arabia selaku Ketua Executive Committee dan dihadiri oleh Sekjen OKI serta Wakil Tetap negara anggota OKI. Sekjen OKI Hissein Brahim Taha, dalam sambutannya menegaskan komitmen OKI untuk tetap mendukung perjuangan Palestina hingga mampu mewujudkan kemerdekaannya. Hissein pun menyebut telah mengirimkan surat ke sejumlah aktor internasional yang berisi pengecaman dan penolakan terhadap upaya Israel yang menerapkan pembatasan terhadap Masjid Al-Aqsa, baik sementara ataupun sebagian. (Kemlu.go.id, 26/04/2022)
Sayangnya, gaung perdamaian dan pembelaan oleh lembaga-lembaga tersebut bak jauh panggang dari api. Meski pertemuan demi pertemuan diselenggarakan, namun sebanyak itu pula intimidasi, aneksasi, pengeboman, hingga pembunuhan terhadap rakyat Palestina.
Lantas, mengapa gaung perdamaian yang didengungkan dunia seolah tak berlaku untuk Palestina? Mengapa resolusi PBB maupun OKI tak mampu membawa Palestina pada kemerdekaannya? Bagaimana pula mewujudkan perdamaian hakiki untuk Palestina?
Tetap Terjajah
Sejatinya kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Ini artinya kemerdekaan juga menjadi hak bagi tanah yang diberkahi, yakni Palestina. Namun sayang, di saat dunia internasional gencar mengumandangkan perdamaian dunia, pada saat yang sama Palestina tetap berjibaku dengan kejamnya penjajahan. Pun saat lembaga-lembaga dunia mengeluarkan resolusi, di saat yang sama pula Israel terus mencaplok wilayah Palestina.
Fakta kelam Palestina berawal ketika Inggris mendirikan “rumah nasional” bagi minoritas Yahudi di Palestina. Diketahui, Inggris mengambil alih wilayah Palestina dari Kesultanan Utsmaniyah yang kalah dalam Perang Dunia I. Setelah “rumah nasional” berdiri, bangsa Yahudi yang mendiami Palestina terus bertambah. Pada saat yang sama, kekerasan antara Yahudi dan Arab Palestina meningkat hingga PBB membagi Palestina menjadi dua wilayah pada tahun 1947. Sebagian untuk bangsa Yahudi dan sebagian lainnya untuk Arab Palestina.
Kemudian pada 14 Mei 1948, para pemuka Yahudi mendeklarasikan berdirinya negara Israel yang memicu penolakan Palestina. Maka, perang pun pecah. Perang yang diberi nama Al-Nakhba (malapetaka) telah membuat ratusan ribu warga Palestina melarikan diri dari rumah mereka. Hanya berselang satu tahun, Israel sudah berhasil menguasai sebagian besar wilayah Palestina.
Setelah perang tahun 1948, wilayah Palestina yang dikuasai orang-orang Arab (Palestina) hanya tersisa 23 persen dari total luas wilayah Palestina. Jumlah tersebut terbagi dalam dua wilayah, yaitu Tepi Barat sungai Yordan dengan luas 5.878 kilometer persegi dan Jalur Gaza yang luasnya 363 kilometer persegi. Kondisi tersebut terus berlangsung hingga pasukan Israel menduduki wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza pada Juni 1967.
Setelah Perang Enam Hari pada 1967, Israel mengambil alih Jalur Gaza, Semenanjung Sinai, Tepi Barat, Dataran Tinggi Golan, serta Yerusalem Timur yang didominasi oleh orang Arab. Imbasnya, ratusan ribu rakyat Palestina tidak diizinkan kembali ke rumah mereka dengan dalih akan membebani dan mengancam keberadaan Israel sebagai negara bangsa Yahudi. Selama 50 tahun terakhir ada sekitar 600 ribu warga Yahudi yang membangun permukiman di sepanjang wilayah yang dikuasai tersebut. Penguasaan Yahudi atas Palestina pun terus terjadi hingga kini.
Pembelaan Semu
Demi menyelesaikan konflik abadi antara Israel dan Palestina, berbagai bangsa dan lembaga internasional mengeluarkan resolusi demi terciptanya perdamaian. Mulai dari PBB hingga OKI yang berdalih terus berjuang demi terwujudnya kemerdekaan Palestina. Jika demikian, lantas mengapa perdamaian dan kemerdekaan tak kunjung tercipta?
PBB misalnya, terus mengeluarkan resolusi demi menyelesaikan konflik antara kedua negara. Namun harus diingat, resolusi tersebut tak benar-benar tulus mewujudkan kemerdekaan hakiki bagi Palestina. Pasalnya PBB-lah yang menyetujui untuk mengakhiri ‘Mandat Britania’ untuk Palestina. Melalui Resolusi 181, PBB menyetujui untuk memecah belah wilayah Palestina. PBB pula yang menawarkan “solusi dua negara” yang menyerukan kedua negara untuk hidup berdampingan dengan batas wilayah yang diakui. Padahal, “solusi dua negara” adalah pengakuan secara nyata tentang keberadaan Yahudi di tanah Palestina.
Setali tiga uang dengan PBB, Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yang diklaim sebagai representasi dunia Islam, ternyata tidak mewakili Islam dan kaum muslim, bahkan tidak ada hubungannya sama sekali. Para anggota yang tergabung di dalamnya hanya tolong-menolong dalam kejahatan dan permusuhan. Mereka hanyalah alat kolonial yang ada di negeri-negeri muslim. Mereka pun hanya bekerja demi mengimplementasikan berbagai proyek dan menjaga kepentingan mereka.
OKI sejatinya tengah memainkan dua peran ganda. Di satu sisi mereka membela kemerdekaan Palestina dan mengecam aneksasi Israel, namun di sisi lain sebagian anggota OKI justru kembali menormalisasi hubungannya dengan Israel. Di antaranya adalah Mesir, Yordania, Uni Emirat Arab, dan Bahrain. Bagaimana mungkin kemerdekaan dan perdamaian hakiki akan terwujud jika mereka bermain di “dua kaki?” Jika memang OKI bersungguh-sungguh ingin membela rakyat Palestina, seharusnya kepeduliannya tak sekadar mengadakan sidang dan mengecam. Pembelaan nyata seharusnya diwujudkan dengan memobilisasi kekuatan dan kemampuan umat Islam, serta mengerahkan pasukan ke Palestina.
Resolusi Absurd
Nyaris sama dengan dua lembaga internasional tersebut, Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump saat itu juga menawarkan solusi perdamaian untuk menyelesaikan konflik Palestina-Israel. Sayangnya solusi dari penguasa negara kampiunnya demokrasi tersebut sangatlah “menggelikan”. Road mad tersebut berisi pembagian kekuasaan di kawasan konflik yang bernama Deal of the Century atau “Kesepakatan Abad” ini. Meski bertajuk kesepakatan, namun sesungguhnya itu hanyalah klaim sepihak dari Amerika tanpa melibatkan Palestina sedikit pun.
Deal of the Century sendiri berisi poin-poin yang sangat diskriminatif. Menguntungkan bagi Israel, tetapi sangat merugikan Palestina. Beberapa poin tersebut. Pertama, Israel akan menguasai Tepi Barat dan lembah Yordan yang subur. Palestina pun hanya mendapatkan 15 persen wilayah yang diduduki Israel, itu pun terpisah satu sama lain.
Kedua, Baitul Maqdis (Yerusalem) akan menjadi Ibu Kota Israel yang harus diakui oleh Palestina. Selain itu, rencana tersebut juga menyerukan demiliterisasi semua Palestina, melucuti dan menghilangkan Hamas dari Gaza sebagai bentuk persetujuan atas pengawasan Israel. Ketiga, semua penyeberangan internasional ke Palestina akan dikontrol oleh Israel. Keempat, tidak ada hak untuk mengembalikan pengungsi Palestina maupun keturunan mereka ke Israel.
Poin-poin proposal tersebut selain menguntungkan Israel juga sangat absurd. Dikatakan absurd karena kesepakatan tersebut tidak pernah membuat pemiliknya (Palestina) sepakat. Satu hal yang lebih tidak masuk akal, bagaimana mungkin kolaborasi membentuk negara “Palestina Baru” yang sesuai standar Amerika dan para penjajah lainnya di tanah yang mereka jajah, disebut sebagai sebuah “perdamaian”?
Buah Nasionalisme
Eksisnya kolonialisme dan pengkhianatan para penguasa muslim adalah buah dari penerapan sistem demokrasi kapitalisme. Salah satu wujud penampakannya adalah spirit nasionalisme. Di bawah sekat nasionalisme, para penguasa muslim telah kehilangan naluri kemanusiaannya terhadap derita Palestina. Mereka lebih takut kehilangan afiliasi dengan Israel dan Amerika ketimbang membela dan menyelamatkan Palestina.
Di bawah kepentingan masing-masing, akhirnya tidak ada satu negara pun yang beranjak dari batas-batas teritorialnya untuk memobilisasi pasukan. Sejatinya Palestina tak butuh solusi perdamaian ala Amerika ataupun lembaga-lembaga internasional yang hakikatnya adalah “penjajahan”. Perdamaian hanya mungkin terwujud jika hak-hak rakyat Palestina terpenuhi. Sayangnya hak tersebut tidak mungkin terpenuhi jika Israel masih bercokol di tanah Palestina.
Solusi Hakiki
Permasalahan Palestina tidak akan pernah selesai jika solusi yang diberikan masih bersandar pada sistem cacat yang sarat kepentingan. Selain itu, problematik Palestina bukan sekadar urusan permukiman, kemanusiaan, maupun urusan rakyat Palestina semata, namun sudah menyangkut urusan Islam dan kaum muslim. Karena berkaitan dengan perkara kaum muslim, maka solusi yang dikeluarkan pun harus merujuk atau dikembalikan pada Islam.
Karena itu, Palestina menjadi urusan semua kaum muslimin. Sebab, kaum muslim adalah umat yang satu dan diikat oleh ikatan kokoh bernama akidah. Bukankah Rasulullah saw. juga memerintahkan agar setiap muslim membangun ukhuwah Islamiyah? Dengan ukhuwah tersebut kaum muslim menjadi umat yang satu di bawah ikatan akidah Islam tanpa membedakan suku, ras, maupun bangsa mana pun.
Karena itu, jika sebuah negeri Islam dijajah, penduduknya dizalimi bahkan dibunuh, maka hal yang harus dilakukan adalah mengusir penjajah dengan memerangi mereka. Bukan justru menggagas perdamaian semu dengan penjajah. Allah Swt. berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 190, yang artinya: “Perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian, (tetapi) janganlah kalian melampaui batas karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
Beberapa solusi syar’i atas persoalan yang mendera Palestina adalah:
Pertama, mencabut penjajahan hingga ke akarnya dari bumi para nabi (Palestina) yang diberkahi. Sebab, persoalan mendasar dari krisis yang mendera Palestina adalah bercokolnya entitas Yahudi.
Kedua, menolak setiap tawaran solusi yang tidak berujung pada upaya menghapus penjajahan dari bumi Palestina. Sebab, solusi apa pun sejatinya tidak akan menyelesaikan masalah jika masih melegalkan penjajahan. Seperti “solusi dua negara” yang ditawarkan oleh Amerika, perdamaian yang diinisiasi oleh negara-negara Barat, hingga normalisasi dengan penjajah Yahudi. Yang semuanya itu justru semakin memperpanjang penderitaan rakyat Palestina.
Ketiga, melepas pengharapan terhadap OKI. Pasalnya, anggota-anggotanya adalah para penguasa yang mayoritas tunduk kepada Amerika yang notabene merupakan loyalis Yahudi.
Keempat, menghilangkan ketergantungan kepada PBB. Sebabnya, resolusi apa pun yang dikeluarkan PBB jika bertentangan dengan kepentingan penjajah Yahudi, maka akan diveto oleh Amerika.
Kelima, penjajahan harus dibalas dengan perlawanan. Satu-satunya cara untuk menghilangkan penjajahan adalah dengan jihad fii sabilillah. Kewajiban jihad ini berada pada pundak para penguasa negeri-negeri muslim dan para panglima perang yang memiliki tentara terlatih, pesawat tempur, peralatan tempur, serta persenjataan yang lebih dari cukup.
Para penguasalah yang memiliki kekuatan untuk menyelamatkan Palestina dari penjajah Yahudi. Seharusnya para penguasa negeri-negeri muslim berkaca dari keteguhan Sultan Abdul Hamid II, sang penguasa Ottoman kala itu. Saat tanah Palestina diincar zionis karena dianggap sebagai “Tanah Perjanjian”, Sultan Hamid II segera melakukan tindakan pencegahan terhadap permukiman Yahudi di Palestina.
Kemudian saat pemimpin gerakan zionis, Theodor Herzl meminta bantuan Sultan Hamid II untuk mendapatkan wilayah Palestina dengan iming-iming pembayaran utang luar negeri Utsmaniyah, sang Sultan pun menolak. Dengan tegas Sultan Hamid II mengatakan bahwa dia tidak akan menjual apa pun, bahkan satu inci pun dari wilayah Palestina. Sebab, tanah Palestina bukanlah milik Sultan, melainkan milik seluruh rakyat Ottoman. Sultan pun mengatakan bahwa tanah tersebut dimenangkan dengan tetesan darah rakyat.
Khatimah
Perdamaian dunia adalah sebuah gagasan kebebasan, perdamaian, dan kebahagiaan bagi semua bangsa. Namun, perdamaian akan sulit diwujudkan apabila keadilan tidak ditegakkan. Perdamaian hanya akan tercipta jika hak-hak rakyat Palestina dihormati. Jika hak hidup dan hak tinggal rakyat Palestina tidak dihormati, lalu apa sejatinya yang dimaksud dengan “perdamaian” itu?
Wallahu a’lam.[]