"Dari Aina-lah, Lila banyak mendapatkan ilmu yang selama ini tidak didapatkan dari orang tuanya. Keluarga Lila memang muslim tulen, tetapi tradisi sudah dianggap menjadi syariat yang dinomorsatukan. Tradisi yang begitu kuat digenggam keluarga Lila, bahkan sejak ia dilahirkan, menjadikannya awam tentang agamanya sendiri."
Oleh. Tina el Haq
(Penulis Inti Narasipost.Com)
NarasiPost.Com- Manusia terkadang lebih memercayai buku ramalan bernama 'primbon' daripada Sang Penciptanya. Tidak berani melakukan atau meninggalkan sesuatu tanpa melihat informasi dari buku ramalan terlebih dahulu.
"Bagaimana, Min? Apa sudah ketemu hari baik untuk pernikahan Lila?" tanya Bu Ajeng dengan wajah penuh harap.
"Mbakyu, bulan depan itu sudah bulan Sura. Dalam perhitungan di buku primbon saya, sebaiknya pernikahannya ditunda dahulu," jawab Amin.
"Terus, kapan kira-kira hari baiknya, Min?"
Sejenak Amin mengerutkan keningnya seolah sedang berpikir keras.
"Kalau dari tanggal lahir Lila dan Adam yang Mbakyu kasih kemarin, sepertinya bulan Ruwah (Sya'ban) adalah waktu baiknya, Mbakyu. Saya sudah menghitung berdasarkan weton keduanya."
"Tetapi bulan Ruwah masih lama, Min. Apa tidak bisa bulan depan saja?" Bu Ajeng berusaha meyakinkan.
"Hus … enggak bisa, Mbakyu! Menentukan hari baik 'kan sudah menjadi tradisi turun-temurun keluarga kita. Sudah puluhan tahun, toh? Jadi jangan coba-coba melanggarnya, nanti mereka kena sial."
Bu Ajeng manggut-manggut menandakan ia sejalan dengan pemikiran Amin. Meski usianya lebih muda, Bu Ajeng sangat percaya dengan ramalan yang dilakukan Amin. Amin merupakan adik kandung Bu Ajeng yang memang menjadi sandaran untuk menentukan hari baik dalam setiap urusan keluarga Bu Ajeng.
Amin kembali menegaskan agar pernikahan Lila ditunda sekitar tujuh bulan lagi. Keluarga Bu Ajeng yang merupakan penganut tradisi kental nenek moyangnya, memang selalu melaksanakan sesuatu berdasarkan hari baik. Saat ini, Bu Ajeng menjadi orang tua tunggal yang ditinggal wafat suaminya lima tahun lalu.
----------***----------
Lila dan Adam sebenarnya sudah sepakat akan melangsungkan pernikahan di bulan Sura (Muharam). Namun, niat itu terganjal tradisi keluarga Lila yang menganggap pamali jika mengadakan hajatan di bulan Sura. Beberapa kali Lila memohon kepada sang ibu untuk mengizinkannya segera menikah, namun Bu Ajeng tetap kukuh menolaknya.
"Bu, Lila sudah dewasa. Biarkan kami segera menikah, Bu. Bersegera menikah juga akan menjaga Lila dari dosa 'kan, Bu!"
"Enggak bisa, Nduk! Kita tidak bisa melanggar tradisi keluarga yang sudah berjalan puluhan tahun," jawab Bu Ajeng tegas.
"Ya, Allah, kenapa Ibu lebih memilih tradisi daripada syariat? Lagian, tradisi yang enggak selaras dengan nilai-nilai agama kita, harus ditinggalkan! Termasuk percaya pada ramalan nasib. Satu lagi, semua bulan 'kan baik, Bu."
Bu Ajeng yang tengah duduk, tiba-tiba berdiri dan memandang tajam ke arah Lila. "Dengar ya, Nduk! Sura itu bulannya priayi, jadi hanya orang-orang sederajat mereka saja yang boleh menyelenggarakan hajatan di bulan itu. Bagi rakyat jelata seperti kita, bulan Sura itu pantangan untuk menggelar hajatan!" ucap Bu Ajeng dengan suara yang kian meninggi.
"Lagi pula, menabrak tradisi keluarga yang sudah puluhan tahun adalah aib. Menikah di bulan Sura, itu menubruk tradisi dan akan mendatangkan kesialan bagi pengantin dan keluarganya. Kamu mau kita dapat sial!" tambah Bu Ajeng.
"Astagfirullah, Buuu. Enggak ada hari sial dalam ajaran agama kita. Kita 'kan punya Allah, kenapa enggak minta perlindungan dan kelancaran dari Dia saja, Bu." Suara Lila yang lembut sedikit bergetar dan matanya mulai berkaca-kaca.
"Sudah, enggak usah membantah! Kamu mau menentang ibu? Apa kata bapakmu kalau dia masih hidup? Bapakmu bakal marah kalau tahu anaknya melanggar tradisi keluarga," seru Bu Ajeng.
"Ya, Allah, bukan begitu, Bu," Lila tak mampu lagi berkata-kata dan hanya menghapus air matanya yang terus mengalir.
"Kamu ini kebanyakan gaul sama si Aina. Gara-gara dia, kamu jadi suka membantah semua omongan ibu. Apa bagusnya ustazahmu itu. Cuma pintar ceramah, tetapi sudah mau 40 tahun belum juga dapat jodoh. Itu 'kan artinya doanya enggak manjur," ucap Bu Ajeng dengan nada sinis.
"Astagfirullah, kenapa bawa-bawa Mbak Aina sih, Bu."
"Sudah, ikutin ibu saja. Ibu ngomong begini demi kebaikan Lila. Satu lagi, jangan terlalu sering bergaul sama Aina, nanti kamu ketularan," ucap Bu Ajeng sambil berlalu meninggalkan Lila di ruang tamu.
--------***--------
Siang itu Lila sengaja menyisihkan waktu usai mengajar di Taman Kanak-Kanak, untuk mengunjungi Aina. Dari Aina-lah, Lila banyak mendapatkan ilmu yang selama ini tidak didapatkan dari orang tuanya. Keluarga Lila memang muslim tulen, tetapi tradisi sudah dianggap menjadi syariat yang dinomorsatukan. Tradisi yang begitu kuat digenggam keluarga Lila, bahkan sejak ia dilahirkan, menjadikannya awam tentang agamanya sendiri.
Namun, pertemuannya dengan Aina di sebuah pengajian setahun lalu, membuat Lila banyak belajar tentang Islam. Meskipun masih sebatas pemahaman dasar. Rumah Aina yang berada di kampung sebelah, cukup ditempuh dengan kendaraan bermotor selama 10 menit dari tempat Lila mengajar.
"Assalamualaikum, Mbak Aina," ucap Lila sembari mengulurkan tangannya.
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Apa kabar, La? Tumben siang-siang ke sini," tanya Aina penasaran.
Setelah mempersilakan Lila masuk, Aina menyuguhkan secangkir teh manis ditemani sepiring pisang goreng. Setelah menyeruput seteguk teh manis buatan Aina, Lila terdiam beberapa saat.
"Ada apa, La? Kok seperti bingung begitu," tegur Aina karena melihat Lila terdiam.
"Begini, Mbak, Lila berencana menikah. Calon suami Lila meminta agar pernikahan kami dilaksanakan di bulan Muharam nanti. Tetapi niat kami terganjal restu ibu, Mbak."
"Lho, kok bisa? Kenapa ibumu enggak setuju, La?" Aina menyerbu Lila dengan pertanyaan.
"Konon, menggelar pernikahan di bulan Sura akan mendapat malapetaka. Maklum, tradisi keluarga ibu masih sangat kuat. Saking kuatnya, sampai-sampai ibu lebih percaya ramalan daripada Allah."
"Astagfirullah, siapa yang ngomong begitu, La?"
"Menurut buku primbon pamanku, Mbak," jawab Lila seketika.
"Astagfirullah, masih percaya buku ramalan?"
"Begitu deh, Mbak. Tanpa melihat buku ramalan, ibu enggak mau melakukan aktivitas apa pun. Lila sudah berulang kali menasihati ibu, tetapi hasilnya nihil."
"Sebenarnya gimana sih menurut pandangan agama kita, Mbak?" tanya Lila penasaran.
Setelah menyeruput teh yang masih tersisa, Aina mendekat ke samping Lila yang sedari tadi berada di depannya.
"Lila, Islam itu agama istimewa termasuk para pemeluknya. Seorang muslim hanya boleh menggantungkan segala sesuatunya kepada Allah saja. Termasuk soal rezeki, jodoh, dan ajal. Percaya kepada hari baik atau buruk karena akan melangsungkan pernikahan di waktu-waktu tertentu, itu adalah khurafat. Dan perbuatan itu dilarang dalam agama kita. Lagi pula, sahnya pernikahan itu enggak terikat oleh waktu dilangsungkannya pernikahan. Tetapi, kalau sudah ada calon, ijab/kabul, saksi, dan wali, maka pernikahannya dinyatakan sah."
Lila menyimak penjelasan Aina dengan saksama. Diskusi tentang agama dengan Aina menumbuhkan semangat baru dalam hati Lila.
"Satu lagi, La, bulan Muharam (Sura) adalah salah satu bulan mulia yang ada dalam agama kita. Jadi, enggak ada bulan keramat ataupun larangan menikah di bulan itu. 'Kan sahabat Rasul, yaitu Ali bin Abi Thalib juga menikah di bulan Muharam," jelas Aina lagi.
Lila mengangguk tampak puas dengan penjelasan Aina. Namun, satu ganjalan dalam hati yang belum terselesaikan adalah bagaimana cara meyakinkan ibunya. Belum selesai otaknya bekerja mencari untuk menemukan solusi, Aina sudah lebih dahulu memberi jalan keluar.
"Mintalah maaf sebelumnya pada ibu, lalu jelaskan lagi dengan bahasa yang santun, La. Kalau ibumu tetap kukuh menolak, maka mintalah bantuan kepada Allah agar Dia melembutkan hati ibumu. Bukankah Allah yang Maha Membolak-balikkan hati?"
Kata-kata Aina terasa sangat menyejukkan. Lila merasakan ada aliran hangat yang merasuk ke dalam aliran darahnya.
----------***----------
Pagi itu Bu Ajeng sudah bersiap-siap untuk ziarah ke makam suaminya. Sejak ayah Lila meninggal, Bu Ajeng memang nyaris setiap tahun mengunjungi makam sang suami. Ayah Lila dimakamkan di desa kelahirannya yang berjarak dua jam dari rumah Lila. Namun, hari itu tampaknya cuaca kurang bersahabat. Awan gelap menutupi birunya langit, kilat pun sesekali menyambar.
"Bu, sebaiknya jangan pergi hari ini. Sepertinya mau hujan deras," cegah Lila.
"Enggak bisa ditunda toh, La. Kata pamanmu, ini hari baik untuk bepergian. Ibu sudah lihat di primbon pamanmu, kalau Senin Kliwon itu hari keberuntungan," jawab sang ibu.
"Astagfirullah … nyebut, Bu. Jangan percaya ramalan. Sekarang mau hujan lebat, baiknya besok saja perginya."
"Ibu harus pergi sekarang, La. Kamu enggak usah khawatir, meski ibu terikat ramalan, toh sampai sekarang ibu baik-baik saja. Kalau melanggar tradisi keluarga, ibu malah takut kualat," ucap Bu Ajeng yang mulai kesal karena selalu dibantah anaknya.
"Astagfirullah, Ibuuu," Lila terus mengelus dadanya.
"Kamu lho, Nduk, istigfar terus. Seperti lihat hantu saja!"
"Lila bukan istigfar karena lihat hantu, tapi lihat kelakuan Ibu," seketika Lila beranjak dari kursi menuju kamar tidurnya.
"Anak perawan kok enggak ada sopan santunnya. Pasti gara-gara ketularan ilmunya Aina," omel Bu Ajeng.
Tak mendengarkan nasihat Lila, Bu Ajeng bergegas menuju mobil angkutan yang sudah menunggu di depan rumah. Mobil pun meluncur di antara rintikan hujan menuju kampung ayah Lila. Sepuluh menit kemudian hujan mulai turun dengan lebatnya. Kilatan petir yang membentuk seperti lukisan api mulai menyambar di ufuk barat dan timur.
Mobil yang ditumpangi Bu Ajeng dan beberapa penumpang lainnya terus menerobos derasnya tetesan air hujan. Tanpa diduga, sebuah kendaraan bermotor menyalip di samping mobil yang ditumpangi Bu Ajeng. Sang sopir terkejut dan mobil pun oleng. Pekatnya pemandangan di jalan raya karena air hujan membuat sang sopir tidak mampu mengendalikan laju kendaraannya. Dan tiba-tiba, braaaak!!!
Mobil itu menabrak pembatas jalan dan ringsek. Untunglah tidak ada korban jiwa. Namun, luka-luka di tubuh para penumpang cukup membuat mereka syok.
----------***----------
Lila berlari di lorong rumah sakit untuk mencari keberadaan ibunya. Sesaat setelah kecelakaan, ibunya yang masih bisa berkomunikasi sempat meneleponnya.
"Astagfirullah, Ibu enggak apa-apa? Mana yang sakit? Apa tulang Ibu ada yang bergeser atau patah?"
"Lila, ibu enggak apa-apa. Hanya luka memar di kaki kanan, bahu sebelah kiri, sama di pelipis," jawab sang ibu.
"Syukurlah Ibu hanya luka. Lila sudah bilang 'kan, jangan pergi hari ini. Ibu malah ngeyel."
"Lilaaa, ibu lagi kesakitan nih, itu mulut nyerocos terus kayak keran air," omel Bu Ajeng sambil mengerang kesakitan.
"Soalnya Lila kesal sama Ibu."
----------***----------
Seminggu kemudian Bu Ajeng sudah diperkenankan pulang dan kondisinya semakin membaik. Hanya perlu melakukan rawat jalan saja. Sore itu Bu Ajeng tengah duduk santai bersama Amin di teras rumahnya.
"Kamu bilang kalau pergi hari Senin Kliwon, mbak akan dapat keberuntungan, Min. Lah, mana? Aku malah celaka. Kamu enggak salah hitung 'kan, Min?" cecar Bu Ajeng.
"Enggak, Mbakyu. Menurut ramalan di primbon Amin, harinya udah cocok kok," sanggah Amin.
Di tengah obrolan mereka, tiba-tiba Lila ikut nimbrung dan memotong pembicaraan.
"Ibu sekarang percaya 'kan, kalau ramalan itu bohong? Di samping enggak benar, percaya pada ramalan juga enggak dibenarkan dalam agama kita. Kecelakaan Ibu kemarin itu, mungkin teguran dari Allah. Biar Ibu sadar dan hanya meminta petunjuk pada Allah saja, bukan pada buku ramalan," Lila.
Bu Ajeng terdiam sesaat. Dia seperti sedang meresapi perkataan putrinya. Sejak kecelakaan itu, Bu Ajeng yang biasanya ceria plus cerewet, kini lebih banyak diam dan merenung. Hingga tiga minggu pun telah berlalu sejak kecelakaan itu.
"La, maafkan ibu. Ibu pikir Lila memang benar. Karena terlalu percaya pada ramalan, ibu jadi lupa sama Tuhan. Ramalan yang ibu yakini bertahun-tahun bahkan puluhan tahun, nyatanya bisa salah dan mengecewakan. Mulai detik ini, ibu enggak mau lagi hidup berdasarkan ramalan nasib, Nduk," ungkap sang ibu kepada putri semata wayangnya.
"Alhamdulillah." Lila seketika memeluk ibunya yang masih duduk di kursi. Air mata Lila tak terasa menetes membasahi pipinya.
"O, ya, kamu juga boleh menikah bulan depan. Kasih tahu Adam," sambung ibunya.
"Benar, Bu? Alhamdulillah, terima kasih, Bu. Lila sayang sama Ibu."
Tiga pekan kemudian, Lila dan Adam menikah dengan resepsi sederhana bernuansa Jawa. Namun, satu hal yang sangat istimewa, Bu Ajeng tak lagi memakai sanggul dan kebaya yang selama ini menjadi ciri khasnya. Rambutnya kini tertutup kerudung dengan gamis yang juga menutupi tubuhnya.
Allah itu Maha Penyayang. Jika Dia menyayangi hamba-Nya, maka Dia akan membuat hamba-Nya mendekat dan meminta pertolongan. Namun, terkadang mendekatnya seorang hamba harus dilakukan melalui perantara musibah terlebih dahulu.
----------***----------
Moramo, 3 Oktober 2022[]