Di Balik Jilbab Pertama

"Pengingat bagi diri yang lemah agar jangan marah dengan ujian. Sebab hidup ini adalah medannya ujian. Baik hijrah ataupun tidak, ujian tetap akan kita hadapi. Maka hadapilah ujian dalam berhijrah karena itu lebih baik dan bermakna."

Oleh. Rosmiati, S.Si.
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.com-Suatu pagi di tahun baru Hijriah delapan tahun silam, seorang gadis belia yang baru 3 semester mengenyam ilmu di bangku kuliah di salah satu perguruan tinggi di timur Indonesia, berdiri mondar-mandir menghadap kaca lemari sembari membolak-balikkan badannya.

Ia melihat gaya dan penampilan barunya dengan jilbab berwarna maroon pemberian sang guru. Konon katanya, gamis itu berasal dari Bogor kala sang guru masih studi S2 di sana.

Dalam perasaan tak menentu itu, tiba-tiba dari belakang muncul sang karib dan sejurus berkata, "Ayo, Kak. Niatkan dengan membaca bismillah, semoga ini selamanya. Jangan dilepas-lepas."

"Aamiin…" jawabnya dengan kencang.

Hari itu adalah hari yang paling bersejarah bagi anak pesisir tersebut. Ia akan menggunakan pakaian yang selama ini tak pernah terpikirkan olehnya. Semua akan dimulai pagi itu. Keputusannya saat itu akan berpengaruh padanya esok dan masa akan datang.

Rasa haru tak luput menyelimuti hati. Ada rasa tak percaya dirinya bisa sampai pada titik di mana ia harus mengambil sebuah keputusan yang mungkin akan membawanya menjadi berbeda bahkan asing di tengah pergaulan. Muncullah akhirnya rasa takut akan bagaimana dunia melihatnya nanti. Akankah itu menggoyahkannya? Sungguh ujian pasti akan dijumpainya.

Ternyata memang tidak mudah berjilbab di daerah minoritas. Beberapa hari setelah berjilbab ia baru paham bahwa yang muslim sekalipun belum mengenal jilbab sebagai pakaian wajib wanita saat berada di kehidupan umum.

Pernah sekali waktu, ketika berangkat ke kampus di pagi hari. Seorang muslimah datang menghampiri dan bertanya, "Mau ke mana, Dik? Ke pengajian kok pagi banget?"

Jika ketemunya sore hari atau menjelang Magrib pasti akan ditanya lagi, "Mau ke pengajian mana sesore ini?"

Baginya yang baru belajar berhijrah terkadang pertanyaan-pertanyaan itu membuat down. Namun, di sisi lain pertanyaan itu juga mendorongnya menjadi berpikir, "Kenapa orang-orang mengira bergamis itu kalau ke pengajian saja? Padahal dalilnya jelas, setiap wanita dewasa yang hendak keluar rumah harus menutup auratnya dengan sempurna termaksud salah satunya memakai jilbab (gamis)."

Untuk menguatkan hatinya, tak jarang ia mendiskusikan hal ini dengan sang guru. Sang guru pun tak bosan menjelaskan, bahwa begitulah umat hari ini. Sekalipun mereka muslim tapi terkadang masih tabu dengan syariat. Itu karena mereka belum tahu. Maka dari itu, kita harus semangat belajar dan mencari tahu. Agar dapat mendakwahkan kepada mereka yang belum tahu dan paham.

Kisah jilbab pertama masih belum usai. Di kampus ternyata ia pun kerap menjadi perhatian dari para kakak tingkat.

Pernah suatu ketika, seorang seniornya berkata, "Eh, kalian coba lihat adik itu. Dia macam setiap hari ke kampus pakai baju merah itu terus."

"Mungkin dia hanya punya satu baju," timpa senior yang lain.

Ucapan itu terdengar olehnya dan sungguh itu membuatnya kembali bersedih. Di saat itu, tahun 2014 mahasiswa yang bergamis di kampus hanyalah ia seorang diri.

Tak berhenti sampai di situ, hanya memiliki satu jilbab ternyata membutuhkan effort lebih. Setiap Rabu ia harus mencuci gamis tersebut.

Karena kain jilbabnya cukup tebal, kadang masih lembab pun ia setrika. Tak ayal, ia harus kembali ke kampus dengan gamis yang masih belum kering seutuhnya.

Di kampus sebelum masuk kelas, ia kerap duduk di bawah matahari pagi demi mengurangi tingkat kelembapan gamisnya dan itu berlangsung selama beberapa bulan sampai akhirnya ia bisa mendapatkan satu gamis baru lagi. Luar biasa perjuangan di masa awal berhijrah.

Di hari Sabtu atau Ahad, kalau bukan kegiatan penting ia akan menghabiskan waktu di kos. Gadis semester 3 itu khawatir gamisnya kotor atau basah sebab itu akan menghambatnya ke kampus esok hari.

Pernah suatu ketika ia memberanikan diri keluar dengan modal meminjam gamis teman. Namun, ternyata ada yang tak suka dan lantas berkata, "Pengen pakai gamis tapi modal pinjam punya orang. Kalau belum punya ya pakai rok saja!" katanya.

Sedih. Sungguh kalimat itu sangat melukai hati. Padahal, dahulu Nabi saw. memerintahkan para sahabat wanita untuk saling meminjamkan jilbab mereka kepada wanita muslimah lain yang tak memiliki. Lagi-lagi semua karena minimnya ilmu.

Itulah ujian bagi mereka yang ingin berproses menjadi pribadi yang lebih baik. Allah bahkan sudah mengatakan bahwa belum beriman para hambaku sebelum mereka diberi ujian.

Alhamdulillah, 8 tahun telah berlalu. Kini di kampus tempatnya menuntut ilmu dulu, muslimah yang bergamis di lingkungan kampus telah ramai. Baik karena hanya mengikut tren maupun riil karena dorongan kesadaran/keimanan akan wajibnya menutup aurat bagi wanita muslim yang telah dewasa.

Mereka yang dahulu kerap menyudutkan juga kini telah akrab dengan gamis yang dahulu mungkin tabu bagi mereka.

Alhamdulillah, masyaallah tabarakallah. Semua karena kehendak Allah Swt. Semoga kita selalu istikamah dalam kebaikan. Ditabahkan kala bertemu ujian. Setiap cibiran adalah benih yang akan menguatkan kita dalam hijrah.

Pengingat bagi diri yang lemah agar jangan marah dengan ujian. Sebab hidup ini adalah medannya ujian. Baik hijrah ataupun tidak, ujian tetap akan kita hadapi. Tapi hadapilah ujian dalam berhijrah karena itu lebih baik dan bermakna.

Bagi sahabat yang masih dan baru belajar, jangan menyerah dengan ujian yang menyapamu di awal ini. Itu adalah ujian bagimu. Tanda Allah Swt. sayang padamu. Tanda Dia menyambutmu. Dia pun lantas mengujimu, seberapa kuat dan sungguh- sungguh hambaku.

Maka, tetap on the track. Jangan hiraukan sisi negatif dari penilaian orang lain. Selama kita tidak berjalan di rel yang salah. Semangat berproses menjadi lebih baik. Semoga Allah Swt. merahmati dan mengistikamahkan kita semua. Aamiin. Wallahu a'lam bishawab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Rosmiati,S.Si Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Peran Pemuda sebagai Pejuang dan Penjaga Peradaban Mulia
Next
Yakinlah Ukhti, Jodoh Pasti Bertamu!
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Marni
Marni
2 years ago

Keren kak.,

Sayapun merasakan awal-awal hijrah ,ujiannya itu ada pada teman-teman dan keluarga yg mengatakan ini dan itu. Dan itu berproses. Kadangkala ketika berada di majelis dan jama'ah merasa kuat ,tapi begitu kembali kelingkungan keluarga kita bagai terkucil merasa tdk nyaman karena pakaian.

Merasakan hanya 2 gamis itu aja di gonta-ganti. Masih ingat 2 jilbab itu motif batik warna hijau dan biru. Sebab saat itu harga gamis masih 200 ribu, itu mahal dikantong mahasiswa. Tapi untungnya di asrama ada teman yg bersedia meminjamkan jilbabnya. ,.

Eits malah curhat.

Sukses kak ros

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram