"Barang siapa dikehendaki Allah kebaikan, maka Dia akan mengujinya." (HR. Bukhari)
Oleh. Rosmiati, S.Si.
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.com-Beberapa waktu lalu, menjelang peringatan peristiwa Gerakan 30 September (G30S/PKI). Saya berniat hendak menulis cerpen berlatar sejarah mengangkat kisah dari fakta sejarah kekejaman PKI di tanah air. Tetapi, qadarullah niat itu belum tersampaikan.
Sampai pada tanggal 28 September lalu, saya melihat story WhatsApp dari salah satu admin toko buku di ibu kota, ada buku tentang kekejaman PKI 1948-1965 yang sedang promo. Dari harga normal Rp110.000 menjadi Rp64.000 saja.
Saya sangat girang membaca informasi itu. Dulu buku tersebut ingin sekali dimiliki, tapi karena uang belum mencukupi, maka mimpi untuk memiliki tertunda sementara waktu. Alhamdulillah, bisa terbeli beberapa waktu lalu. Tepat di 30 September. Singkat cerita, Jumat 7 Oktober 2022 buku tersebut sudah ada dalam genggaman. Alhamdulillah.
Saya pun tak sabar untuk melahap isi buku yang memuat fakta kekejaman PKI tersebut. Namun, seperti biasa saya harus membaca daftar isi terlebih dulu. Dari sekian banyak judul yang dibaca, akhirnya rasa penasaran memuncak pada bagian yang menukil kisah tentang Buya Hamka. Sosok ulama karismatik yang beberapa karyanya sudah saya baca sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sampai-sampai dari novel-novel Buya yang saya baca tersebut, lahir sebuah keinginan untuk berkarya seperti itu di masa depan.
Baik. Kembali kepada kisah Buya dalam buku Kekejaman PKI. Rupanya, Buya Hamka adalah salah satu ulama yang menjadi korban kekejian PKI di tanah air. Buya pernah ditangkap dan ditahan di balik jeruji besi. Sosok ulama yang dicintai rakyat itu dipaksa mengakui tuduhan yang mengada-ada.
Di masa-masa perjuangannya, PKI memang kerap memburu para ulama, santri, dan masyarakat yang dinilai kuat memegang agamanya. Bagi PKI mereka dapat menghambat revolusi.
Adapun Buya Hamka sebelumnya pernah menjabat Dewan Konstituante bersama Mohammad Natsir dan beberapa rekan Masyumi lainnya lewat kemenangan mereka dalam pemilihan umum pertama 1955.
Bersama Mohammad Natsir, Mohammad Roem, dan Isa Anshari, ulama kelahiran Maninjau ini gigih menyuarakan syariat Islam sebagai dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Cita-cita hendak mengembalikan tujuh kata yang hilang dalam Piagam Jakarta sangat kuat bertengger di hati tokoh muslim yang berpengaruh di masa perjuangan kemerdekaan itu.
Namun, dewan konstituante ini harus berakhir di tangan rezim dan dibubarkan pada tahun 1959 lewat Dekrit Presiden. Lalu, setahun kemudian Masyumi juga dibubarkan pada tahun 1960. Meski begitu, Buya tetap dianggap sebagai sosok yang berpengaruh dan berbahaya bagi pengikut Muso.
Walhasil, pagi hari di bulan puasa tahun 1964, Buya dijemput oleh anggota polisi dan akhirnya ditahan. Di dalam tahanan, ulama yang juga seorang sastrawan hebat ini, diperlakukan dengan sangat tidak manusiawi. Sosok ulama yang lekat dengan dirinya, hilang di depan petugas garang dan kasar yang menginterogasinya siang dan malam.
Buya disiksa hingga nyaris ditelanjangi. Jika membaca kisahnya dalam buku "Banjir Darah" Karya Anab Afifi dan rekannya, Thowaf Zuharon, saat itu tinggallah celana kolornya saja. Sungguh memilukan!
Tak sampai di situ, tangan mulia yang banyak menghasilkan karya yang hingga saat ini masih dapat kita baca, dahulu dijadikan asbak rokok oleh anggota PKI yang menjaga beliau dalam tahanan. Sungguh, siapa pun akan teriris hatinya kala mendengar kisah pilu ini.
Akan tetapi, kita boleh saja marah. Namun, Allah Swt. tak pernah mengingkari janji. Selalu ada pelangi selepas hujan. Ya, di balik bertubi ujian yang menghampiri setiap hamba ada kenikmatan yang sudah Allah siapkan. Sebagaimana hadis Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah,
"Barang siapa dikehendaki Allah kebaikan, maka Dia akan mengujinya." (HR. Bukhari)
Ujian pertanda akan tibanya sebuah kebaikan. Maka, dari balik jeruji besi tahanan PKI, Buya akhirnya bisa dengan tenang dan fokus menulis hingga karyanya yang spektakuler bisa lahir dalam kurun waktu yang terbilang cepat.
Menurut cerita, karya Tafsir Al-Azhar itu dalam waktu lama hanya selesai sedikit saja. Tetapi, akhirnya bisa rampung selama 2 tahun selama Buya mendekam di dalam penjara.
Sang penulis, dalam buku "Banjir Darah" mengatakan, kalau bukan karena di penjara maka Tafsir Al-Azhar yang sebagus itu belum tentu bisa lahir secepat dan seindah itu. Allahu Akbar!
Saya pun tak kuasa menahan haru. Teringat akan kisah beberapa tahun silam. Kala kuliah tak menghasilkan apa-apa sebagaimana standar kapitalis di zaman ini. Selepas kuliah yang harusnya cari kerja, malah terbaring lemas di atas ranjang. Sosok yang paling banyak berjasa pun murka. Mencela takdirku hari itu. Ijazah S1 harus kusaksikan lecet hingga nomor ijazah tak terbaca lagi. Hari-hariku dihujani cercaan. Diusir berulang kali. Tapi, ternyata Allah Swt. punya rencana di balik semua itu. Di dalam kalutnya hati. Bahkan kukira jalan bagiku tak ada lagi, Allah Swt. membukakan jalan lainnya.
Dengan bermodalkan luka, satu karya novelku lahir, karya sastra yang kuberi judul "Menerjang Badai". Kutulis dalam suasana hati yang sedang kalut. Buliran bening selalu jatuh membasahi layar ponsel setiap kali kuukir kisah pribadi dalam alur narasi.
Novel itu pun bisa rampung dalam waktu kurang lebih 30 hari. Sungguh, rasa sakit itu telah memberi kekuatan dan menjadi bahan bakar. Ini adalah sesuatu yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Meski mimpi untuk memiliki karya itu sudah ada sejak lama. Hanya saja, membayangkan bagaimana dan kapan untuk memulai itu sangat sulit rasanya.
Namun, siapa sangka pertolongan Allah Swt. itu datang kala diri dirundung luka. Yang mana pada saat itulah jari bisa menari merangkai kata demi kata, hingga lahirlah satu novel fiksi berlatar sejarah.
Tentu kisah ini tak seberapa dengan apa yang dialami oleh sang Buya. Tetapi, ada hikmah serupa yang bisa dipetik. Bahwa dalam kesedihan, di sana sejatinya hubungan kita dengan Allah Swt. akan menguat dan apa pun yang akan kita niatkan apabila diupayakan, niscaya akan bertemu jalannya. Ditambah lagi, Allah Swt. telah berjanji bahwa sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Harusnya, diri-diri yang lalai ini tak perlu risau.
Maka, benarlah tuturan penulis dari kisah Buya Hamka. Berterimakasihlah dengan mereka yang telah membuat kita bersedih dan terluka, sebab melalui jalan itu kebaikan bagi kita akan terbuka. Ya, selalu ada hikmah dari setiap kejadian. Sesulit dan seberat apa pun itu situasinya.
Semoga kita dapat berdamai dengan suasana hati dan juga mereka yang kerap menyakiti. Karena lewat jalan itu, nyatanya kita makin lebih baik. Wallahu a'lam bishawab.[]