Bola Kematian

"Salah satu doa yang ia unggah pada Rabb semesta alam adalah diusut tuntasnya kasus kerusuhan yang ternyata tak hanya bapaknya yang menjadi korban. Ada puluhan lainnya yang juga menjadi korban. Entah, pihak keamanan atau suporter yang salah. Berita masih simpang siur."


Oleh. Choirin Fitri
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com- Demi menyelamatkan bapaknya, seorang gadis berkerudung abu-abu sekuat tenaga mengangkat rombong bakso yang terguling karena desakan para penonton yang keluar lapangan. Mereka semuanya sibuk menyelamatkan dirinya. Tak peduli apa pun ditabraknya yang penting mereka selamat. Untungnya isi rombong bapaknya telah habis. Namun, kemungkinan karena capek dan sakit yang belum sepenuhnya sembuh saat rombong roboh, laki-laki tua kesayangannya itu tak bisa menghindar. Tubuhnya tergencet rombong dan terkena pecahan kaca.

"Vi, Bapak titip adikmu ya! Maafkan Bapak belum bisa membahagiakanmu, malah membebanimu, Ba…."

Suara laki-laki tua yang badannya berlumuran darah terdengar tersengal-sengal. Gadis itu mendekapnya. Air matanya telah tumpah sejak awal dia menemukan bapaknya tertindih rombong bakso.

"Bapak harus hidup untuk Via dan Arga. Bertahan ya, Pak! Via akan segera mencari pertolongan!"

Gadis itu mencoba melepaskan tangannya dan hendak berdiri. Tangan kanan lelaki yang tak berdaya itu menggenggam lengannya lemah.

"Ibumu sudah menjemput, Vi. Dia cantik sekali. Bapak kangen. Jaga adikmu dengan ketaatan pada Allah ya, Nak!"

Kata-kata ini diucap dengan terbata. Mata lelaki tua itu tampak berbinar. Lalu, ia mengucapkan sebaris kalimat tahlil saat malaikat maut menjemput nyawanya.

"Bapaaaaaak!"

Gadis itu melolong pilu. Kalimat istirja', innalillahi wa innailaihi raajiiuun tak bisa dilisankannya. Hanya hatinya yang mampu bicara.

Tak ada yang peduli. Kanan-kirinya sibuk dengan diri masing-masing. Kerusuhan di lapangan sepak bola yang tak bisa dihindari selalu menyisakan kepedihan. Jika biasanya hanya kerusuhan biasa, kini lonceng kematian seakan berpihak.

  • * *

"Mbak, Bapak mana? Bapak sehat kan, Mbak? Waktu kerusuhan itu, Arga diminta Bapak beli kresek karena kehabisan. Lalu, saat kembali Arga enggak bisa merangsek kerumunan yang lari tunggang langgang keluar lapangan. Arga jatuh di samping trotoar. Tahu-tahu ada di sini."

Sebuah senyum melengkung dari gadis berlesung pipit. Meski hatinya sedang berduka, ia tak boleh terlihat lemah. Di kepala adiknya ada jahitan karena terantuk trotoar. Perban masih melingkar di kepalanya.

Gadis itu menghela napas dalam. Ia mengumpulkan segala kekuatan untuk menguatkan satu-satunya saudara yang diamanahkan bapak padanya. Seorang laki-laki yang masih berstatus pelajar kelas 1 SMP.

"Mbak, kenapa enggak jawab pertanyaan Arga? Bapak baik-baik saja kan, Mbak?"

Mata remaja itu menyelidik. Ia tidak tahu kapan ia dibawa ke rumah sakit dan ini hari ke berapa setelah kerusuhan itu terjadi.

"Ehm, maaf Dek, Mbak enggak konsen. Iya-iya, Bapak sehat. Belum bisa ke mari. Kamu Mbak suapi ya, harus cepat sembuh biar kita segera pulang."

Gadis itu tak berbohong. Sejatinya yang ia tahu bapaknya mati husnul khatimah. Pasti Allah menjamunya dengan baik tanpa kekurangan apa pun.

"Alhamdulillah. Ya, Mbak, Arga ingin segera pulang. Hari ini bawa Arga pulang ya, Mbak!"

"Iya, nunggu dokter dulu ya, Dek! Entar Mbak tanyakan. Yang penting kamu makan dulu, keburu dingin."


Sebuah gundukan tanah merah yang masih basah membisu. Tak ada suara yang terdengar dari sana. Sebuah nisan dari kayu bertuliskan nama Suratemen bin Suratman lengkap berisi tanggal lahir dan tanggal kematian menjadi identitas terakhir si pemilik rumah masa depan. Seorang remaja laki-laki didampingi kakak perempuannya duduk di samping makam. Meski laki-laki yang dididik oleh bapaknya pantang menangis. Nyatanya, kini ia menangis sedu sedan.

Remaja berkemeja biru dengan celana jeans itu meremas tanah merah dengan kedua tangannya, "Maafkan Arga ya, Pak! Sebagai anak laki-laki belum bisa menjaga bapak. Bahkan, saat akhir hidup Bapak Arga enggak ada."

"Sudah, Dek! Jangan menyalahkan diri sendiri! Hidup mati kita milik Allah. Enggak ada yang tahu ajal seseorang datangnya kapan. Insyaallah Bapak husnul khatimah, Dek. Mbak saksinya."

Pertahanan gadis itu jebol. Sekuat apa pun ia menahan, air matanya tak bisa terbendung. Jatuh luruh seiring ingatannya berputar-putar saat mendampingi bapaknya menjemput ajal.

Kedua kakak adik itu saling berpelukan. Saling menguatkan. Tak ada lagi keluarga yang tersisa selain mereka berdua di kota perantauan ini. Keluarga besar jauh di pelosok pulau lainnya.


Rumah sepetak yang hanya berisi dua kamar kecil, ruang tamu berukuran 2x2 m, dapur yang berdampingan dengan kamar mandi peninggalan kedua orang tuanya yang akan menjadi saksi bisu kedua kakak beradik, Via dan Arga. Bola kematian telah menggelinding menjemput kedua orang tuanya dalam waktu yang tak berselang lama. Tepat satu tahun.

Jika ibunya menjemput ajal karena sakit jantung yang mendera. Bapaknya menjadi korban kerusuhan lapangan bola yang tak terhindarkan.

Via menatap adiknya yang telah terlelap setelah minum obat. Tubuhnya terbujur di kasur lipat yang ditata di ruang tamu seperti hari-hari sebelumnya. Ia enggan menempati kamar bapaknya. Alasannya ia tidak akan bisa terpejam karena ingat bapak ibunya.

Sebuah selimut tipis yang berada dalam genggamannya dilebarkan di atas tubuh adiknya. Tangan kanannya mengusap puncak kepala adik kesayangannya. Bibirnya mengecup ubun-ubun remaja laki-laki yang terdengar mendengkur halus.

"Maafkan, Mbak ya, Dek belum bisa menjagamu dengan baik! Doakan, Mbak agar mampu menunaikan amanah Bapak, menjagamu dalam ketaatan!"

Air mata yang hampir tumpah segera ia hapus. Khawatir menetes dan membuat adiknya bangun. Ia segera bangkit dan bergegas ke kamarnya. Ia menatap langit kelam berkabut. Sangat pas dengan suasana duka yang menyelimutinya kini.

Raga gadis itu kini rapuh. Ia roboh di atas kasur. Matanya nanar menatap langit-langit kamar. Pikirannya mengembara menyusuri ingatan sebelum bola kematian menjemput bapaknya.


Rombong bakso bercat coklat diparkir di depan rumah. Laki-laki yang telah makan asam garam kehidupan setengah abad lamanya sibuk menata dagangan. Mi, tahu, goreng, bakso, dan lainnya ditata dengan rapi. Sesekali terdengar batuknya yang sepekan ini belum juga mau hengkang dari raganya.

"Bapak serius mau jualan? Kan, belum sembuh benar, Pak."

Seorang gadis bergamis ungu dengan kerudung bunga-bunga ungu membawa selusin mangkok dan sendok bertanya. Ia membantu menata di laci rombong.

"Iya, alhamdulillah tinggal batuk saja, Vi. Insyaallah, Bapak masih kuat jualan. Mumpung ada pertandingan di stadion. Adikmu butuh uang untuk bayar sekolahnya. Bapak harus kerja."

"Tapi, bapak janji ya, enggak boleh capek-capek! Jangan jualan keliling! Tempatkan saja di tempat biasanya Bapak jualan!"

"Siap grak! Anak gadis bapak ini lama-lama bawelnya persis ibumu," ucap laki-laki tua itu sambil terkekeh.

"Arga temani jualan ya, Pak. Mumpung libur. Lumayan juga bisa sambil nonton pemain bola kesayangan berlaga."

"Emang kamu punya tiketnya, Dek?"

"Ya, enggaklah. Sayang dong uang saku hanya untuk beli tiket. Entar Arga ngintip aja. Ada Mas Deni yang jaga tiket, bisa numpang duduk manis di tempatnya mangkal."

"Eh, modus! Gitu kok katanya mau bantu Bapak?"

"Iya kan bantu mendorong rombongnya, Mbak," ucap Arga diiringi tawa bapak dan kakaknya.

"Ya, sudah Mbak pamit duluan ya! Giliran jaga toko buku shift siang."

Via mengambil tangan kanan bapaknya yang kasar. Diciumnya dengan takzim. Bapaknya mengusap kerudungnya.

"Titip adikmu ya, Vi! Jaga dia dalam ketaatan!"

"Ih, bapak apaan sih? Kita akan jaga Arga bersama, Pak," ucap Via dengan senyum mengembang. Lalu, ia mengucapkan salam dan berjalan meninggalkan kedua orang yang amat disayanginya. Gadis itu tak tahu bahwa tawa dan senyum itu adalah senyum terakhir orang yang sangat dihormatinya. Ia juga tak tahu nasehat bapaknya adalah salam perpisahan karena malaikat maut telah mengintai.


Tangan kanan Via meraih sebuah foto keluarga saat adinya wisuda kelulusan SD. Saat itu keluarga mereka masih lengkap. Senyum mengembang dalam sebingkai foto itu.

Puas menatap, gadis itu mendekap erat. Ia tersadar bahwa kematian itu datangnya cepat. Tak perlu minta izin. Tak perlu undangan. Jika memang jatah usia telah usai, kita tak akan mampu memajukan atau mengundurkannya, meski sedetik saja.

"Pak, buk, Via rindu kalian."

Raganya bergegas terbangun. Ia ingat sebuah nasihat dari guru ngajinya, jika kita ingat orang tua kita, berarti itu saatnya mendoakan mereka, bukan meratapi kepergian mereka.Via berjalan ke kamar mandi. Ia hendak mengambil air wudu. Namun, urung karena terdengar suara pintu diketuk.

"Siapa yang malam-malam bertamu?" gumamnya sembari berjalan balik arah menuju ruang tamu. Ditengoknya siapa yang datang malam-malam begini. Ternyata Pak RT dan istrinya.

Via segera membuka pintu setelah melengkapi kepalanya dengan kerudung. Jawaban salam dari tamunya juga telah ia unggah tepat saat pintu terbuka.

"Maaf ya, Bu, Pak, adik sudah tidur jadi tidak bisa mempersilakan masuk!"

"Tidak apa-apa, Nak Via. Kami menyampaikan surat undangan untuk keluarga korban kerusuhan. Besok diminta kumpul di balai kota. Mungkin akan mendapat uang santunan," ucap Pak RT sembari memberikan sepucuk surat.

Via menerima sembari berucap terima kasih. Sepasang suami istri itu pun berpamitan. Mereka masih mau lanjut memberikan ke warga yang lain. Tangan lembut sang gadis menutup pintu. Ia bergegas melanjutkan niatnya untuk mengambil air wudu setelah meletakkan surat undangan di meja kamarnya.

Sebuah mukena putih dan selembar sajadah hijau menjadi saksi bisu doa-doa yang ia panjatkan. Doa untuk kedua orang tuanya. Doa untuk dirinya agar dikuatkan menghadapi segala cabaran dan rintangan. Doa untuk adiknya agar senantiasa dalam ketaatan. Serta, berbagai doa dan harapan lainnya.

Salah satu doa yang ia unggah pada Rabb semesta alam adalah diusut tuntasnya kasus kerusuhan yang ternyata tak hanya bapaknya yang menjadi korban. Ada puluhan lainnya yang juga menjadi korban. Entah, pihak keamanan atau suporter yang salah. Berita masih simpang siur.

Dalam lantunan doa-doanya gadis itu berharap bahwa kematian bapaknya tak sia-sia. Bapaknya hanya rakyat kecil yang butuh memenuhi kebutuhan hidupnya yang terus mencekik karena semua harga ikut naik sebagai efek domino kenaikan BBM. Nyatanya hanya demi bertahan hidup, bapaknya harus meregang nyawa.

Gadis itu terus beristighfar. Lidahnya tak pernah keluh memohon ampunan pada Allah atas takdir yang terkadang masih ia salahkan. Namun, bagaimana pun juga kesadaran bahwa ia harus menerima takdir baik buruknya dari Allah senantiasa menguatkannya.

"Laa khaula wa laa quwwata illa billah. Tiada daya dan upaya selain Engkaulah, Ya Allah yang memberikan kekuatan," ucapnya lirih. Menutup segala gundah yang merajai.

Batu, 2 Oktober 2022[]


Photo : Canva
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayagkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Previous
Pemuda Harapan Wujudkan Peradaban Idaman
Next
Langkah Naura
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle

You cannot copy content of this page

linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram