”Satu hal penting yang harus dilakukan umat muslim saat ini demi memenangkan pertarungan melawan demokrasi adalah membentuk kesadaran politik umat dan terus merawatnya.”
(Pemenang Pertama Challenge Tim Redaksi / Media )
Oleh. Sartinah
(Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Demokrasi ibarat mantra. Slogannya yang tampak manis dan menjanjikan, mampu menyihir manusia tak terkecuali umat Islam. Meski lahir dari kisah kelam negara Barat yang sekuler, namun sebagian kaum muslim tetap meyakini jika demokrasi sejalan dengan Islam. Meski hanya mewujudkan kesejahteraan segelintir orang, namun banyak yang tetap percaya bahwa demokrasi juga mampu menyejahterakan rakyat. Bahkan, meski telah nyata bertentangan dengan Islam, sebagian muslim tetap percaya bahwa demokrasi adalah sistem terbaik dan jalan satu-satunya untuk mewujudkan kesejahteraan.
Mantra-mantra demokrasi terus diembuskan hingga kini terutama menjelang hajatan lima tahunan. Salah satu mantra khas pemilu adalah, “Jika ingin menyaksikan perubahan terhadap bangsa ini, maka berpartisipasilah dalam pemilu. Dengan begitu perubahan akan terjadi sebagaimana yang diharapkan.” Namun, benarkah pemilu berkelindan dengan perubahan dan kesejahteraan rakyat di tengah mahalnya ongkos politik?
Berat di Ongkos
Sudah menjadi rahasia umum jika biaya pemilu sangatlah mahal. Karenanya tidak semua orang bisa melenggang mulus menduduki kursi nomor satu di negeri ini. Selain harus memiliki elektabilitas dan diusung oleh partai politik, seorang ‘pengantin’ pilpres maupun pilkada haruslah memiliki logistik alias pendanaan yang kuat. Tak hanya ‘pengantin’ pilpres, pemerintah sebagai empunya hajatan juga menggelontorkan dana fantastis.
Misalnya saja untuk Pilpres 2024 mendatang, Presiden Jokowi menyebut jika anggaran pemilu dan pilkada di 2024 diperkirakan sebesar Rp110,4 triliun, untuk KPU Rp76,6 triliun, dan Bawaslu Rp33,8 triliun. Sementara itu, Anggota Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda mengatakan, nantinya besar dan kecilnya anggaran bersifat relatif, tergantung kebutuhan di lapangan. (dpr.go.id, 13/04/2022)
Selain menguras uang rakyat, dana yang harus dibayarkan para caleg juga tak kalah fantastis. Misalnya saja untuk satu kandidat caleg yang mengincar satu kursi di DPR. Untuk membuat bahan kampanye yang paling sederhana seperti spanduk sekalipun, dibutuhkan dana hingga miliaran rupiah. Andai tiap kabupaten memiliki luas 600 km2 dan setiap km2 membutuhkan satu spanduk, maka dibutuhkan 600 spanduk untuk setiap satu kabupaten. Jika jumlah kabupaten/kota adalah 375, maka total spanduk yang dibutuhkan adalah 345.000 lembar.
Semisal satu spanduk seharga Rp100.000, maka hanya untuk mencetak spanduk saja para calon memerlukan sekitar Rp3 miliar. Bayangkan jika dikalikan dengan seluruh kandidat caleg yang ikut kontestasi. Itu pun belum termasuk biaya untuk alat kampanye lain yang lebih canggih, semisal televisi. Pasti biayanya jauh lebih fantastis. Pertanyaannya, dengan anggaran sebesar itu apakah ada jaminan akan menghasilkan pemimpin ataupun pejabat yang berkualitas?
Relasi Penguasa dan Pengusaha
Melenggangnya para ’pengantin’ pemilu baik sebagai pejabat legislatif maupun eksekutif, nyatanya tidak bisa dilepaskan dari peran para pengusaha. Ada simbiosis mutualisme antara keduanya demi mewujudkan kepentingan masing-masing. Para pejabat misalnya, memperoleh keuntungan yang lebih besar dari sekadar gaji, yakni kekuasaan. Kekuasaan yang telah digenggam, justru akan menghasilkan keuntungan materi ratusan bahkan ribuan kali lipat daripada gaji.
Sedangkan bagi para pebisnis kelas kakap, mampu mengendalikan regulasi negara adalah sebuah kesempatan besar. Misalnya saja regulasi yang disahkan atas pengelolaan SDA, akan menghasilkan keuntungan berlimpah bagi para pengusaha. Demi mendapatkan keuntungan super besar itulah, para pengusaha rela menggelontorkan dananya hingga miliaran bahkan triliunan rupiah untuk membiayai kampanye calon pejabat. Ini tentu saja tidak gratis dan harus dibayar mahal.
Keuntungan para kapitalis diperoleh dari produk hukum dan regulasi melalui tangan-tangan pejabat di pemerintahan. Merekalah sejatinya yang menguasai negeri ini, mengeruk kekayaan, serta memperoleh keuntungan berlimpah atas kendali regulasi melalui pejabat yang memegang tampuk kekuasaan. Jika pejabat dan pengusaha sudah intens ’bermain mata', masihkah kita percaya bahwa mereka akan bekerja untuk rakyat?
Kepalsuan Demokrasi
Simbiosis mutualisme antara penguasa dan pengusaha memang lazim terjadi dalam sistem demokrasi. Sayangnya, hubungan saling menguntungkan tersebut acapkali mengorbankan banyak kepentingan rakyat. Meski demikian, demokrasi terus membungkus wajah buruknya dengan citra baik di balik janji perubahan dan kesejahteraan.
Di bawah asuhannya, demokrasi mengeklaim bahwa rakyat memiliki kedaulatan penuh baik dalam urusan politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Juga dikatakan bahwa politik akan memihak rakyat dan kehidupan rakyat akan maju serta sejahtera secara merata. Namun, benarkah klaim tersebut? Sejatinya slogan-slogan tersebut hanyalah kepalsuan demokrasi. Hal ini dapat dibuktikan dari realitas hakiki demokrasi, di antaranya:
Pertama, terkait klaim ’hukum kehendak rakyat'. Slogan ajaib dalam demokrasi yang sangat terkenal adalah “Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Meski sekilas tampak indah dan menjanjikan, namun hakikatnya slogan tersebut bermasalah sejak awal. Pasalnya, hukum yang diklaim sebagai kehendak rakyat nyatanya tidak sesuai dengan realitasnya. Mungkinkah seluruh rakyat terlibat dalam pembuatan hukum? Jika tidak, lantas rakyat mana yang diklaim sebagai pembuat hukum?
Andai saja seluruh rakyat terlibat dalam pembuatan hukum, tetap tidak ada jaminan bahwa produk hukum yang dihasilkan akan berkualitas dan bermanfaat untuk kehidupan rakyat dalam jangka panjang. Faktanya, bukan hanya rakyat yang tidak terlibat, anggota parlemen pun tidak seluruhnya berkontribusi. UU umumnya dibentuk oleh pansus atau komisi yang melibatkan ahli, tentu setelah dilobi oleh berbagai kepentingan di baliknya.
Kedua, terkait klaim ’pemimpin pilihan rakyat'. Setali tiga uang dengan produk UU, pemimpin yang konon dihasilkan atas pilihan rakyat pun tidak terbukti. Pasalnya, hanya pihak-pihak yang mampu mencalonkan (parpol) dan membiayai kampanye saja yang memiliki peluang besar untuk menentukan pemimpinnya. Di sinilah berlaku hukum balas budi antara seorang tokoh dengan para kapitalis. Jadi, omong kosong klaim yang menyatakan bahwa demokrasi menghasilkan pemimpin pilihan rakyat. Yang ada adalah calon disediakan oleh partai politik dengan memperoleh dukungan dari para investor politik.
Ketiga, terkait janji ’berpihak pada rakyat’. Duduknya seorang pejabat di kursi kekuasaan tidak serta-merta menyelesaikan masalah. Justru ada seribu satu masalah yang membelit di depan mata ketika terpilih. Sebut saja soal tumpang-tindih kebijakan yang saling terkait dan tidak mudah diubah atau dicabut, meskipun menteri terkait atau pejabat daerah menginginkannya.
Misalnya saja tentang aturan bunga bank yang telah dikeluarkan fatwa keharamannya oleh MUI. Jika pejabat daerah atau menteri hanya mengizinkan beroperasinya bank syariat di daerah kekuasaannya, maka upaya tersebut pastilah akan digugat oleh bank-bank konvensional dengan dalih persaingan usaha. Jika tidak, perda tersebut tetap akan kalah apabila ada pihak-pihak yang melakukan judicial review karena bertentangan dengan UU.
Tidak hanya soal kepalsuan slogan demokrasi, janji kesejahteraan pun hanya ilusi. Penerapan sistem demokrasi di belahan bumi mana pun belum menunjukkan dampak signifikan terhadap tingkat kesejahteraan rakyat. Bahkan, tidak ada hubungannya sama sekali antara demokrasi dan kesejahteraan. Meskipun ada negara yang tampak sejahtera, namun akan bertahan berapa lama dan apa dampaknya secara global?
Sistem Cacat
Demokrasi memang tampak manis dari luarnya. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, akan tampak kerusakan dan kecacatannya yang semakin mencolok. Beberapa kerusakan demokrasi sebagai sebuah sistem tampak dari prinsip dasar yang dianutnya, yaitu:
Pertama, demokrasi adalah reka cipta akal manusia yang terbatas, bukan berasal dari wahyu Allah Swt. Bahkan, demokrasi tidak ada kaitannya sama sekali dengan agama-agama samawi yang pernah diturunkan Allah Swt.
Kedua, demokrasi berlandaskan sekularisme, yaitu akidah yang memisahkan agama dari kehidupan yang berimplikasi pada pemisahan agama dari negara. Fakta ini mengindikasikan dicabutnya peran agama dalam mengatur kehidupan.
Ketiga, demokrasi dibangun di atas dua asas mendasar, yakni kedaulatan di tangan rakyat dan rakyat sebagai sumber kekuasaan. Kedaulatan rakyat berarti hak membuat hukum, menentukan standar benar dan salah, serta halal dan haram berada di tangan rakyat. Sayangnya, kedaulatan rakyat yang terus dipromosikan hanyalah klaim belaka.
Keempat, demokrasi merupakan pemerintahan yang berdasarkan suara mayoritas. Hal ini banyak didapati saat pemilihan penguasa, anggota parlemen, maupun ketetapan hukum, yang semuanya didasarkan pada suara mayoritas. Terlebih melalui slogan “Vox populi vox dei” atau “Suara rakyat adalah suara Tuhan”, demokrasi telah ’menuhankan’ manusia dan ’memanusiakan’ Tuhan.
Kelima, demokrasi mengharuskan adanya kebebasan mutlak dalam urusan agama, pendapat, kepribadian, dan kepemilikan. Sayangnya, kebebasan ala demokrasi pun berwajah ganda. Ramah terhadap semua pemikiran dan ide apa pun, kecuali terhadap Islam.
Inilah sejatinya kecacatan demokrasi yang harus disadari oleh semua pihak. Sistem yang menjanjikan kemakmuran, kesejahteraan, keadilan, dan perubahan bagi seluruh rakyat, ternyata hanya kedok untuk melanggengkan kekuasaan. Jika fakta-fakta kecacatannya demikian jelas, masihkah mau berharap pada demokrasi?
Mengalahkan Demokrasi
Slogan ilusi tentang perubahan dan kesejahteraan yang mengakar di seluruh dunia, disebabkan masih eksisnya demokrasi sekuler sebagai pengatur kehidupan. Hegemoni demokrasi seharusnya dicabut hingga ke akarnya. Demokrasi yang merupakan anak kandung dari ideologi kapitalisme hanya bisa dikalahkan oleh ideologi lainnya. Ideologi tersebut adalah Islam, yang telah terbukti keberhasilannya mewujudkan kesejahteraan dan keadilan hakiki selama 13 abad.
Di sisi lain, pertarungan antara kebenaran dan kebatilan adalah sebuah keniscayaan selama bumi ini masih berputar. Islam adalah kebenaran, sedangkan demokrasi adalah kebatilan. Menjelaskan kepalsuan dan bahaya demokrasi terhadap umat adalah salah satu aktivitas memerangi demokrasi. Selain itu, menjelaskan keunggulan dan kebenaran Islam juga harus dilakukan sebagai upaya mewujudkan perubahan hakiki.
Islam jelas bertolak belakang dengan demokrasi. Islam menempatkan segala sesuatunya berdasarkan standar syariat. Dari sini dapat disimpulkan bahwa prinsip demokrasi melanggar Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup. Pertama, prinsip kedaulatan hukum berada di tangan rakyat, melanggar surah Al-An’am ayat 57. Kedua, suara mayoritas mengalahkan suara Tuhan. Prinsip ini melanggar surah Al-An’am ayat 116. Ketiga, produk perundang-undangan ditentukan meski hakikatnya bertentangan dengan Al-Qur’an. Prinsip ini pun melanggar surah Al-Maidah ayat 48. Keempat, demokrasi telah nyata mencampakkan hukum Allah dalam urusan rakyat. Prinsip ini telah melanggar surah Al-Maidah ayat 50.
Tidak hanya bertentangan dengan Islam, sistem demokrasi juga memiliki dampak buruk bagi umat. Di antaranya adalah mengancam akidah umat Islam; membuat kaum muslim kufur terhadap hukum-hukum Allah Swt.; menjauhkan umat dari semua aturan Islam; serta menyuburkan liberalisasi Islam dan kebebasan.
Optimisme dalam Perjuangan
Ideologi Islam dibangun di atas dasar akidah yang kokoh. Islam adalah agama paripurna yang tidak hanya mengatur urusan ibadah mahdah semata, tetapi juga urusan politik, ekonomi, pendidikan, dan lainnya. Islam mengatur hubungan seorang hamba dengan Allah Swt., dengan sesamanya, dan dengan diri sendiri. Inilah di antara keunggulan Islam sebagai ideologi.
Karena itu dalam memerangi kebatilan yang menguasai dunia saat ini, umat Islam juga harus menjadikan syariat Islam sebagai pedoman. Sedangkan sebaik-baik teladan dalam perjuangan melenyapkan sistem batil adalah Rasulullah saw. Dalam upaya mengubah kebatilan sistem yang mencengkeram umat Islam saat ini, kaum muslim juga harus optimis dan terus mencontoh dakwah Rasulullah saw.
Optimisme Rasulullah saw. dalam menghilangkan kebatilan dapat dilihat saat Perang Uhud. Meski pasukan kaum muslimin nyaris didera kekalahan saat itu, namun tidak menyurutkan upaya Rasulullah saw. untuk memberi semangat pada pasukannya. Bahkan, setelah memakamkan para mujahid yang gugur, Rasulullah saw. terus melakukan demo militer untuk menakut-nakuti pasukan musuh. Upaya tersebut ternyata semakin menumbuhkan semangat dan kemampuan jihad kaum muslimin.
Dari peristiwa Perang Uhud inilah, umat Islam dapat mengambil pelajaran untuk melanjutkan perjuangan politik Islam hari ini. Beberapa pelajaran yang bisa dipetik adalah: Pertama, terjadinya kemenangan Islam tidak terkait dengan jumlah. Ini bisa disaksikan dari sejarah kemenangan kaum muslim di masa lalu, meski kalah jumlah. Kedua, penting bagi umat Islam untuk membersihkan barisannya dari kaum munafik karena mereka memiliki akidah yang lemah. Ketiga tidak bisa digantikannya sunah kehidupan (hukum sebab-akibat). Keempat, pentingnya kedisiplinan dan keteguhan dalam menaati perintah pemimpin, sedarurat apa pun kondisinya. Kelima, perlunya niat konsisten sejak awal untuk melenyapkan kebatilan dan memperjuangkan tegaknya Islam.
Beberapa pelajaran tersebut seharusnya menambah keyakinan umat Islam di negeri ini agar optimisme dan bersabar, serta tidak berputus asa dalam perjuangan menegakkan Islam. Sebagaimana kesabaran pasukan kaum muslimin dalam menaklukkan Konstantinopel meski harus menanti sekitar 800 tahun. Allah Swt. pun menjamin bahwa kebatilan pasti lenyap. Sebagaimana dalam surah Al-Isra ayat 81: "Dan katakanlah: “Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap.” Sungguh yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap."
Satu hal penting yang harus dilakukan umat muslim saat ini demi memenangkan pertarungan melawan demokrasi adalah membentuk kesadaran politik umat dan terus merawatnya. Kesadaran politik Islam hakikatnya mencakup tiga hal, yaitu kesadaran akan urusan umat dan rakyat; aspek sudut pandang yang khas, yakni menjadikan Islam sebagai landasan kesadaran politik; sudut pandang global karena hubungan politik di Indonesia adalah bagian dari dinamika politik dunia. Kekuatan politik Islam pun harus selalu dilandasi oleh keimanan yang kokoh, keyakinan akan janji Allah, ukhuwah sesama muslim, serta keikhlasan dan pengorbanan yang tulus.
Khatimah
Demikianlah seharusnya umat berpikir dan bertindak demi mencabut hegemoni kapitalisme demokrasi dan mengubahnya menjadi hegemoni Islam. Dengan perjuangan yang penuh keikhlasan akan membawa umat menyaksikan tegaknya Islam di bumi ini. Di mana, kepemimpinan di bawah sistem Khilafah telah terbukti mampu membangun peradaban maju dan mulia. Serta menyatukan seluruh negeri-negeri muslim di dunia, menerapkan syariat Islam kaffah, dan menyebarkan dakwah ke seluruh penjuru dunia.
Wallahu a’lam.[]