"Entah harus dengan cara apa menyatukan visi misi bersama istrinya. Sosok pria sederhana itu mulai pesimis. Ia terdiam kemudian berjalan gontai menuju kamar tengah dimana Wana tidur. Ia membaringkan tubuhnya. Jiwanya terasa lelah dan terkoyak. Air matanya menganak sungai menemani malam yang beku."
Oleh. Ghania E.R.
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com- Ahad pagi yang cerah. Suasana yang tepat untuk berlibur dan jalan-jalan bersama keluarga. Namun, tidak dengan Adelia. Wanita itu lebih memilih berlibur bersama teman-teman kantor dibanding bersama suami dan anaknya.
“Mas, aku pergi ya. Wana mana? Masih tidur ya? Kalau dia bangun, masih ada susu tuh di lemari dapur,” kata Adelia.
“Bukannya hari ini hari libur? Kamu mau pergi ke mana? Kasihan, Wana sangat rindu ibunya setiap hari,” ujar lelaki bernama Awan.
“Aduh, Mas. Aku kan juga butuh refreshing. Tiap hari kerja, lelah sekali. Apalagi beberapa hari ini lembur terus. Aku juga ingin jalan-jalan, Mas,” ungkap Adelia lagi.
“Apa kau tak ingin jalan-jalan dengan anakmu?” tanya Awan.
“Ya, ampun, Mas. Jalan-jalan bawa anak? Yang ada malah gendong-gendong terus. Badan lelah tambah pegel. Mas, pergi dulu ya … Takut terlambat. Assalamu’alaikum,” ucap Adelia ngeloyor pergi.
Pria itu beristighfar sambil mengelus dada.
-o0o-
Adelia membuka pintu rumah perlahan. Ia memasuki ruang tamu sambil berjinjit. Meletakkan tas di atas meja tamu kemudian mengempaskan badan di sofa panjang. Lampu sudah dimatikan hingga ruang tamu tampak temaram mendapat cahaya lampu dari teras. Wanita berusia tiga puluh empat tahun itu meluruskan punggung dan kaki. Suasana di luar rumah tampak sepi, hari menunjukkan pukul 01.45 WIB. Saat hendak menutup mata, tiba-tiba lampu menyala.
“Aduh, Mas! Silau! Matikan lampunya lah,” sang suami tidak menggubris. Lelaki itu justru berkacak pinggang berdiri mendekati istrinya.
“Dari mana saja jam begini baru pulang?!” Adelia terkejut. Tidak seperti biasa suaminya mengeluarkan suara tinggi.
“Mas, ini istrimu. Pantaskah Mas menggertak seperti itu? Jantungku serasa mau lepas, Mas!"
"Apa kau tak tahu, kalau suaramu lebih tinggi dari suaraku? Haruskah aku tetap bersikap lembut terhadapmu sementara kau bersikap kurang ajar pada suami dan anakmu?”
“Mas? Mas kenapa, sih?”
“Kenapa? Kau tanya kenapa? Apa kau memang tak pernah merasa bersalah? Usia anakmu sudah hampir dua tahun. Tapi kau tak pernah menganggapnya ada. Pergi kerja saat anak masih tidur. Pulang kerja anak sudah tidur. Hari libur pun kau lebih senang bersantai ria dengan teman-teman kerjamu. Ibu macam apa kau ini?”
Adelia bangkit dan mengambil posisi duduk. Ia mematung menatap suaminya. Tak percaya suaminya bisa mengeluarkan suara keras dan memekakkan telinga. “Mas, kalimatmu itu terlalu menusuk di hati. Jika kulaporkan bisa terkena delik karena termasuk kekerasan psikis.”
“Oooo, jadi karena sekarang ada Undang-undang KDRT itu, lalu kau merasa bebas berbuat semaumu? Jika sewaktu-waktu suamimu marah, kau pakai peraturan itu untuk mengancam? Kau ini muslimah bukan? Tidakkah kau tahu akan tanggung jawabmu sebagai ibu dan istri? Tidakkah kau tahu tugas utamamu sebagai ummun warabbatul bait?” suara Awan semakin meninggi dan bergetar menahan emosi.
“Mas, itu wanita zaman dulu. Tapi sekarang, Mas tahu sendiri, wanita harus cari nafkah. Semua harga kebutuhan pokok serba mahal. Tabungan sekolah anak, cicilan Bank, tagihan listrik, air dan lainnya. Lagi pula, jika sekiranya kau belum mampu memenuhi kebutuhan istrimu, jangan menuntut banyak dariku!” Adelia turut berdiri dan berkacak pinggang. Terus berceloteh dengan suara lebih tinggi di depan suaminya.
“Adel!”
Telapak tangan kanan Awan hampir saja mendarat di pipi mulus istrinya. Namun, ia masih mampu menahan diri kemudian mundur beberapa langkah. Lelaki itu mengambil posisi duduk kemudian beristighfar.
Suara Awan yang begitu keras membangunkan Wana yang sementara tidur. Terdengar tangisan Wana karena terkejut. Adelia bergeming dan kembali mengambil posisi duduk. Sementara Awan berdiri dan berjalan menuju kamar tengah, kemudian menggendong Wana. Tangisan anak semata wayangnya itu seketika berhenti. Diletakannya putri kesayangan di atas tempat tidur saat kembali terlelap.
Awan kembali menuju ruang tamu, duduk di hadapan istrinya. Adelia masih membisu. Pasangan suami istri itu terdiam beberapa saat.
“Jadi, mau kamu bagaimana sekarang?” tanya Awan setelah emosinya reda.
Adelia masih terdiam. Pandangannya kosong mengarah ke pintu. Angin berembus melewati beberapa lubang ventilasi di atas jendela dan pintu.
“Aku lelah hidup denganmu, Mas. Aku mau kita cerai!”
“Astaghfullahal’adzim, Del? Apa kau tak tahu kalau kata itu paling dibenci oleh Allah?”
“Aku juga benci dengan kehidupan kita, Mas. Hidup gini-gini aja tak ada kemajuan. Rumah ini terlalu kecil untukku. Sumpek. Mengharapkan Mas punya penghasilan besar dan bisa jalan-jalan ke luar negeri juga mustahil. Bahkan, sekadar jalan-jalan ke luar kota saja tak pernah. Aku cuma ingin bersenang-senang dengan teman-teman juga salah. Aku capek-capek kerja cari duit, tapi kamu malah marah-marah, Mas.”
“Aku kan sudah tawarin kamu resign. Kamu saja yang ngotot kerja.”
“Memang penghasilanmu berapa, Mas? Beli kosmetikku aja tak mampu beli!”
“Sebenarnya penghasilanku cukup untuk hidup kita, Del. Tapi selera hidupmu terlalu tinggi.”
“Tuh, kan. Aku yang selalu salah. Hidup ini harus jalan terus, Mas. Hidup harus maju bukan statis begini.”
“Kalau yang dimaksud maju menurutmu itu bertambah kaya, memiliki rumah dan kendaraan mewah, mungkin memang aku tak bisa, Del.”
“Makanya itu, aku mau kita cerai.”
“Apa kamu sudah berpikir baik-baik? Jika kau tak lagi memikirkanku, setidaknya kau memikirkan masa depan anakmu.”
“Wana akan baik-baik saja tanpaku. Bukankah dia sudah terbiasa setiap hari bersamamu?”
“Maksudmu apa Del? Apa selama ini, kau sengaja acuhkan Wana biar lebih terbiasa denganku? Kemudian kau bisa bebas pergi. Begitu?”
“Itu kamu yang bilang, Mas. Bukan aku. Tapi mungkin memang begitu kenyataannya,”
“Kau benar-benar keterlaluan, Del.”
“Kau yang keterlaluan, Mas. Menikah empat tahun lebih tapi tak ada bahagia-bahagianya.” Suara Adelia kembali meninggi.
“Astaghfirullahal’adzim. Del?”
Hening sejenak.
“Del, apa kau tahu kalau Wana sementara sakit?” Awan tampak berusaha merendahkan suara tapi Adelia terkesan cuek. “Sudah tiga minggu lebih dia batuk-batuk. Suhu badannya naik-turun. Dua hari lalu, aku membawanya ke dokter anak. Setelah diperiksa, dokter menyuruhku melakukan rontgen. Hasil rontgen menunjukan pneumonia akut. Dia tak boleh kena asap dan dingin lagi, Del,”
Adelia menatap sengit suaminya. “Wana sakit karena kamu, Mas. Kenapa harus mengeluh ke Aku? Aku kan sudah bilang, tak usah bawa dia kalau belanja barang.”
“Tapi tak mungkin aku meninggalkannya di rumah sendiri, Del. Andai kamu tidak bekerja di luar, kamu bisa jaga Wana. Sementara aku bisa fokus membesarkan usaha kita.”
“Usaha kita? Ga salah? Aku tak pernah setuju kamu buka usaha kelontong gitu, Mas. Gajiku lebih besar empat kali lipat dari penghasilanmu. Tak masuk akal kalau aku harus resign.”
“Kamu sedang emosi, Del. Pembicaraan kita hanya akan berujung debat kusir. Tidurlah, besok baru kita sambung lagi.”
“Tidak, Mas. Aku tetap pada pendirianku. Aku mau kita cerai. Besok pagi, aku akan pergi dan tak akan kembali.” Adelia berjalan menuju kamar tidur di samping ruang tamu. Terpisah dengan suami dan anaknya.
Awan ingin mendebat. Tapi lidahnya kelu. Istrinya lebih menyukai pekerjaan Awan sebelumnya di Bank dibanding usaha kios kelontong saat ini. Padahal sudah berulang kali dijelaskan, ia tak mau lagi terlibat dosa riba. Entah harus dengan cara apa menyatukan visi misi bersama istrinya. Sosok pria sederhana itu mulai pesimis. Ia terdiam kemudian berjalan gontai menuju kamar tengah dimana Wana tidur. Ia membaringkan tubuhnya. Jiwanya terasa lelah dan terkoyak. Air matanya menganak sungai menemani malam yang beku.
-o0o-
Benar saja, keesokan harinya, Adelia tidak ditemukan di kamarnya. Segala kosmetik, perhiasan, serta sejumlah pakaian sudah dibawa kabur. Awan pun tak berhasil menghubungi nomor ponsel istrinya. Hari demi hari berlalu tanpa kabar. Mendung menyelimuti hati Awan selama hampir sepuluh purnama. Meskipun kesehatan putrinya semakin membaik, namun ada ruang kosong dalam hatinya.
Cuaca sore nan cerah tapi hati Awan serasa menggigil.
Wana sementara asik bermain lego di ruang tamu. Putri kecil itu ternyata lebih suka mainan yang rumit dan mengasah otak. Wana Delisha, perpaduan dari nama ayah dan ibunya, Awan dan Adelia. Awan tersenyum tipis mengingat masa-masa manis saat putrinya dilahirkan.
Tetiba suara pintu di ketuk. Awan bangkit membukakan pintu. Ia tertegun dengan apa yang dia lihat. Sosok yang dirindunya selama berbulan-bulan telah kembali. Namun sayang, wanita yang dirindunya menggandeng seorang pria asing. Senyum yang tadinya mengembang seketika musnah.
“Adelia? Dari mana saja kamu? Ini sia …” belum selesai kalimat yang Awan lontarkan, Adelia sudah menyahut.
“Maaf, Mas. Aku sudah menikah dengan Mas Roni.”
“Apa?” Awan terkejut mendengar kabar istrinya sudah menikah lagi.
Adelia memaksa masuk rumah dengan tetap menempel pada suami barunya. Sementara Awan berdiri mematung, bingung apa yang harus ia lakukan. Lelaki bernama Roni itu tampak pucat dan lemas. Adelia meminta Roni duduk di kursi tamu kemudian berjalan menuju dapur mengambil air minum. Ia tampak tak peduli dengan Wana. Adelia meminumkan segelas air hangat kepada Roni sambil mengelus-elus lengan lelaki yang tampak rapuh itu. Sementara Awan masih berdiri di tempat yang sama, di samping pintu masuk.
“Apa yang kau lakukan Del? Bukankah status kita masih sah? Kenapa kau menikah lagi? Kau memang sengaja melakukan poliandri? Itu haram, Del.”
“Mas, sejak malam itu, aku sudah anggap kau telah menceraikanku.”
“Del, aku tak mengucapkan kata talak sekalipun,”
“Sudahlah, Mas. Aku tak ingin berdebat. Aku disini juga cuma sementara. Paling lama seminggu. Setelah urusan pengobatan suamiku di rumah sakit selesai, kami akan segera pergi.”
Awan ingin berteriak dan menangis tapi berusaha tetap tenang dan kuat. Tampaknya, hati Adelia sudah mati hingga tak bisa merasakan apa yang dirasakan Awan.
“Kenapa kau tak tinggal di penginapan? Bukankah uangmu banyak? Kenapa kau memilih tinggal di sini. Atau memang sengaja ingin melukai hati suamimu ini, Del?”
“Mas, kita berdua sama-sama saling tersakiti. Jadi tidak usah diperpanjang.”
Awan mengepalkan kedua telapak tangan. Rasanya ingin menonjok Roni yang berani merusak rumah tangganya. Namun, melihat kondisi Roni yang begitu lemah, ia pun mengurungkan keinginannya. Rumah sederhana Awan memang berdekatan dengan Rumah sakit. Cukup 10 menit jalan kaki sudah sampai.
“Del, mana kamarnya? Aku mau tidur,” kata Roni tanpa basa basi.
“Iya. Tunggu, Mas.” Adelia membuka pintu kamar depan, memastikan kamarnya siap untuk ditempati.
Rumah itu sederhana. Terdiri dari tiga kamar. Kamar belakang difungsikan untuk salat. Sementara kamar depan seharusnya kamar tamu. Namun, sejak melahirkan, Adelia tidur di kamar depan. Tidak satu kamar dengan suami atau anaknya. Adelia mengalami baby blues syndrome hingga suara tangis anaknya dirasa sangat mengganggu. Kamar tersebut tampak rapi selama Adelia pergi karena selalu dirapikan oleh Awan.
Setelah memapah Roni ke dalam kamar, Adela keluar bermaksud mengambil air panas untuk mandi. Adelia berjalan lurus menuju dapur.
Awan tak tahan dengan polah istrinya. Ia beristighfar sebanyak-banyaknya.
“Aku punya dosa besar apa lagi hingga Engkau mengujiku seberat ini ya Allah … Aku lebih mampu menahan kemiskinan dari pada menahan sakit dikhianati istri,” gumamnya dalam hati.
Awan mendekati putrinya, menggendong dan memeluknya kemudian membawa keluar rumah. Ia bermaksud mencari udara segar di luar rumah. Rumah yang biasa terasa sejuk kini terasa panas dan pengap.
“Papa nangis?” Wana menegur ayahnya yang melelehkan air mata. Awan tersenyum dan mengecup kening putrinya. Ia semakin menguatkan pelukan bersamaan dengan semakin derasnya air mata. Sore itu, hari sangat cerah, namun hati Awan begitu mendung.
-o0o-
“Mas, aku tak mengharap engkau tetap mencintaiku. Tapi bolehkah aku meminta sesuatu?” tanya Adelia.
“Kenapa kau bilang begitu, Del? Katakan apa yang kau inginkan. Semoga aku bisa memenuhinya.” jawab Awan lembut.
“Aku hanya ingin meminta maaf, Mas. Masihkah aku layak mendapatkannya? Mungkin, dosaku terlalu besar. Tapi, saat ini aku sungguh rindu sentuhan dan sapaan lembutmu, Mas,”
Tangisan Awan pecah. “Kenapa baru sekarang rasa itu muncul, Del. Sementara Aku merindumu selama bertahun-tahun. Berusaha tetap menjaga hati untukmu meski kau terus mengabaikanku dan Wana.”
Satu bulan lebih Adelia tergeletak di tempat tidur. Kanker serviks yang diderita terus menggerogoti tubuhnya. Perdarahan tak normal terus terjadi hingga tubuh Adelia tampak sisa tulang. Selama sakit, Awanlah yang memenuhi kebutuhan makan, obat serta mengganti pembalut. Roni meninggal dunia setelah tiga hari menginap di rumah Awan. Ia sempat bolak-balik rumah sakit akibat penyakit gonore yang dideritanya. Roni merupakan bos Adelia di perusahaan swasta yang bergerak di bidang pengelolaan gas bumi. Tuntutan pekerjaan Roni sering keluar daerah berminggu-minggu hingga berbulan-bulan. Gaji yang fantastis membuatnya tergiur dengan kupu-kupu malam.
“Uhuk-uhuk. Mas, air … air, Mas. Uhuk,” Adelia tampak batuk dan sesak napas. Keringat mengucur deras.
“Tunggu, Del. Kuambilkan air minum,”
Awan bergegas menuju dapur dan kembali membawa segelas air hangat. Adelia tampak diam. Dia memejamkan mata sambil membuka mulutnya. Mungkin agar napasnya lebih leluasa. Awan mengelus lengan istrinya beberapa lama namun tak merespons. Ditepuk pipi kirinya, juga tak merespons. Penasaran, akhirnya Awan meletakkan jari telunjuknya di bawah lubang hidung Adelia. Tak ada jejak napas, baik di hidung maupun mulut istrinya. Dengan gemetar, Awan meraba denyut nadi di lengan wanita itu yang ternyata sudah terhenti.
“Adelia … !!!”