"Pada akhirnya semua paham sesat seperti sekuler, demokrasi, moderasi beragama dan liberal terlahir dari rahim yang sama, yakni rahim kapitalisme. Di sistem kapitalisme, potensi pemuda dibajak, diarahkan pada kesenangan dunia semata. Pemuda dijauhkan dari agama, hidupnya hanya untuk berfoya-foya."
Oleh. Diana Septiani
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com- Bila ingin melihat masa depan suatu bangsa, maka lihatlah pemudanya. Jika pemudanya memadati majelis ilmu, sibuk merancang masa depan negerinya, serta berpikir keras bagaimana melawan para penjajah, itu pertanda bangsanya akan maju. Sebaliknya, jika generasi mudanya sibuk berfoya-foya, tak peduli kondisi di sekitarnya, maka kacau bangsanya. Hal ini menunjukkan posisi pemuda sebagai sumber daya strategis bagi suatu bangsa.
Siapakah Pemuda Itu?
Allah Swt. berfirman dalam QS. Ar-Rum ayat 54, "Allah-lah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah kuat itu lemah (kembali) dan beruban…”
Ibnu Katsir di dalam tafsirnya menjelaskan tentang ayat ini, “Kemudian ia keluar dari rahim ibunya, lemah, kurus, dan tak berdaya. Kemudian ia tumbuh sedikit demi sedikit sampai ia menjadi seorang anak, lalu ia mencapai usia baligh, dan setelahnya menjadi seorang pemuda, yang merupakan kekuatan setelah kelemahan. Kemudian ia mulai menjadi tua, mencapai usia paruh baya, lantas menjadi tua dan uzur, kelemahan setelah kekuatan …”
Dari penafsiran ini kita bisa menelaah, bahwa seorang muslim jika sudah balig maka sudah memasuki masa muda. Masa peralihan dari masa kanak-kanak yang terlepas dari pena amal perbuatan menjadi seorang mukalaf yang terbebani hukum.
Jika balig diukur dari segi usia, menurut ulama dari kalangan Syafi'i dan Hambali menyatakan usia balig adalah 15 tahun. Sementara ulama Hanafi menetapkan batas usia minimal balig bagi laki-laki 12 tahun dan perempuan 9 tahun. Sementara, menurut Undang-Undang Tahun 2009 Nomor 40 tentang kepemudaan, pemuda adalah warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16-30 tahun.
Berjuta Potensi Pemuda
Sejatinya setiap manusia, Allah subhanahu wa taala mengaruniakan tiga potensi mendasar. Semua manusia memiliki potensi yang sama. Ciri khas manusia (khoshyatul insan). Memiliki kebutuhan jasmani (hajatul udhuwiyyah) yang tanpa belajar pun kita bisa melakukannya, misalnya bernapas, minum, tidur, dan sebagainya. Disertai kebutuhan naluri (gharizah) yang dirangsang dari luar tubuh. Naluri mempertahankan diri (gharizatul baqa’), naluri melestarikan jenis (gharizatun na’u), juga naluri beragama atau mensucikan sesuatu (gharizatut tadayyun). Setiap manusia Allah istimewakan dengan keberadaan akal yang membedakannya dengan hewan.
Di sisi lain, pemuda memiliki potensi dan kesempatan yang luar biasa di masa mudanya. Masa muda adalah masa terbaik. Masa kekuatan di antara dua kelemahan, seperti yang tercantum di dalam QS. Ar-Rum ayat 54 di atas.
Selain itu, dalam hadis sahih, Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan kita untuk memanfaatkan lima perkara sebelum lima perkara. Salah satunya masa muda sebelum masa tua.
Masa muda juga adalah masa emas. Sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata tentang masa muda, “Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi melainkan pemuda. Dan seorang alim tidak diberi ilmu pengetahuan oleh Allah melainkan di waktu masa mudanya.”
Dr. Yusuf Qardhawi, ulama besar asal Mesir pun menegaskan betapa masa muda adalah masa paling berharga. Semangatnya membara, energinya paripurna dan kreativitasnya luar biasa dan daya berpikirnya kritis. Memahamkannya bagaikan mengukir di atas batu. Beliau mengatakan, “Ibarat matahari, maka pemuda bagaikan matahari yang bersinar tepat pukul 12 siang. Di mana matahari sedang dalam panas dan teriknya yang sangat.”
Potret Buram Pemuda Masa Kini
Namun, kondisi pemuda saat ini bagai indah kabar daripada rupa. Dengan sejuta potensi pemuda yang begitu luar biasa, pada kenyataannya pemuda hari ini rusak, bobrok lagi ironis. Tak punya arah tujuan. Tingkahnya bahkan melebihi binatang. Rasa penasarannya yang tinggi seringkali disalahgunakan.
Misalnya, demam Citayam Fashion Week yang sempat menyita banyak pasang mata. Sekelompok remaja dari kalangan ekonomi bawah asal pinggiran Jakarta menggebrak ibu kota. Peragaan busana unik dan nyetrik sukses mengundang perhatian publik. Kemudian terlahirlah sosok-sosok idola baru bagi remaja, seperti, Bonge, Jeje Slebew, Roy, Mami dan Kurma. Mulai dari kalangan artis, influencer, pejabat hingga politisi turut catwalk di trotoar dan zebra cross. Bahkan sampai diperebutkan hak intelektualnya, walau pada akhirnya dicabut pendaftarannya. Hingga muncul frasa, “Created by the poor, stolen by the rich” (diciptakan oleh orang miskin, dicuri oleh orang kaya).
Di sisi lain, viral kasus perundungan. Seorang bocah SD berinisial F (11 tahun) menjadi korban perundungan oleh teman-temannya. Puncaknya, F dipaksa untuk melakukan tindakan tak senonoh pada kucing. Tak cukup mengolok-olok dan menertawainya, hal ini direkam dan dengan tega disebarluaskan di media sosial. F bocah kelas 5 SD itu pun depresi berat hingga berujung merenggang nyawa.
Sebenarnya, kasus perundungan memakan korban bukan kali pertama. Pada tahun 2020, seorang siswi SMP melompat dari lantai empat sekolahnya lantaran sering dibully. Kasus perundungan atau bullying semakin hari angkanya semakin melonjak. Bahkan, menurut riset Programmer for International Students Assessment (PISA) tahun 2018 menyebutkan murid yang mengaku pernah mengalami perundungan di Indonesia sebanyak 41,1%. Angka ini menjadikan Indonesia sebagai negara peringkat kelima tertinggi di dunia dalam kasus perundungan.
Di sisi lain tak hanya menjadi korban, pemuda banyak yang menjadi pelaku pembunuhan. Pada akhir Juli 2022 lalu di Jambi, tiga orang remaja berusia 17 tahun membunuh temannya. Motifnya hanya karena kesal sering ditagih utang sebesar Rp150.000. Jika kita mundur ke belakang, bahkan ada yang jauh lebih miris. Pada tahun 2013, hanya karena utang seribu rupiah seorang bocah 8 tahun tega membunuh temannya. Korban yang masih berusia 6 tahun diceburkan ke galian dan dibenamkan berkali-kali hingga tewas.
Kasus perzinaan pun tak kalah membuat kita geleng-geleng kepala. Dinas Pendidikan Kota Bandung mengungkap data hasil survei tentang pergaulan bebas. Survei ini dilakukan kepada 60 remaja di bawah umur 14 tahun. Survei minor tersebut menemukan 56 persen dari 60 responden mengaku sudah pernah melakukan seks atau hubungan badan. (Republika.com, Juli 2022). Itu hanya baru Kota Bandung, bagaimana dengan kota-kota lainnya?
Di Jawa Tengah, mengutip dari Laporan Perkara di Wilayah Pengadilan Agama Jawa Tengah, kasus dispensasi nikah pada tahun 2021 mencapai 11.505 kasus. Dispensasi nikah ini diajukan orang tua dari calon pengantin wanita yang masih belum mencapai 19 tahun dan menurut undang-undang, yang boleh dikabulkan hanya karena alasan mendesak. Ya, hampir semua pengajuan itu mendesak karena wanitanya hamil di luar nikah.
Jebakan ‘Batman’ bagi Pemuda
Sungguh ironis, itu hanya yang terdata, terlapor dan tercatat. Bagaimana dengan fakta di lapangan? Jauh lebih mengenaskan. Bagaikan fenomena gunung es. Kecil di permukaan, tapi besar di bawah lautan. Bikin ngelus dada. Belum lagi beragam kasus lainnya, seperti; tawuran, klitih, pesta miras, pengguna narkoba, pelacur atau gigolo, pelaku LGBT, pemerkosa, pembegal dan banyak kasus lainnya.
Banyak pihak yang akhirnya kebingungan siapa yang harus disalahkan dan bagaimana solusi atas perilaku pemuda kini yang semakin agresif dan cenderung tak kendali? Tentu jika kita hanya melihat mereka (pemuda) sebagai pelaku, hanya akan menemukan jalan buntu. Tetapi, semestinya kita sadari bahwa pemuda saat ini juga korban. Mereka terjebak oleh jebakan-jebakan yang menjerat. Berbagai usaha dan sarana yang dilakukan si ‘dalang’ agar menjerumuskan pemuda ke jurang kehancuran.
Pertama, Jebakan Sekularisme
Menurut Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, sekularisme adalah paham pemisahan agama dari kehidupan (fashlud-din ‘anil-hayah). Juga bisa disebut dengan istilah memisahkan agama dari negara (fashlud-din ‘anid-dawlah). Sekularisme mengharuskan penganutnya agar ‘menceraikan’ agama dengan kehidupan sehari-harinya. Dengan pemikiran sekularisme inilah, para pemuda menjadi sosok yang ‘amnesia’ dengan agamanya. Pembahasan mengenai agama, ya, di forum agama saja. Jangan membawa-bawa agama untuk urusan dunia. Begitu argumen yang seringkali dilontarkan para penganutnya.
Alhasil, jika membahas tentang agama di ruang umum, dipandang sebagai sesuatu yang tabu. Dengan pemikiran sekuler ini, Islam hanya diambil esensinya. Syariat-syariatnya lebih banyak yang ditolak karena dianggap kaku, tidak sesuai zaman dan bertentangan dengan nilai-nilai universal seperti kesamaan, keadilan, kebebasan, toleransi dan kesetaraan gender.
Kedua, Jebakan Hak Asasi Manusia (HAM)
Dalam demokrasi, ada empat kebebasan (al-hurriyat, freedom) yang dijamin. Pertama, kebebasan beragama (hurriyah al-‘aqidah); kedua, kebebasan berpendapat (hurriyah ar-ra`yi); ketiga, kebebasan kepemilikan (hurriyah ar-tamalluk) ; keempat, kebebasan berperilaku (al-hurriyah asy-syakhshiyyah). Hak-hak inilah yang kemudian dikenal sebagai hak asasi manusia.
Al-‘Allamah Syaikh Abdul Qadim Zallum di dalam bukunya Demokrasi Sistem Kufur mengatakan: “ _Di antara bencana paling mengerikan yang menimpa seluruh umat manusia ialah ide kebebasan individu yang dibawa oleh demokrasi. Ide ini telah mengakibatkan berbagai malapetaka secara universal serta memerosotkan harkat dan martabat masyarakat di negeri-negeri demokrasi sampai ke derajat yang lebih hina daripada derajat segerombolan binatang! Ide kebebasan beragama, yang didukung dengan sekularisasi kehidupan, menjadikan umat tidak lagi terikat dengan kuat terhadap agamanya.”
Kebebasan berperilaku, dimaknai dengan bebasnya melakukan perbuatan-perbuatan yang diharamkan agama. Misalnya kasus LGBT, dianggap merupakan kebebasan untuk mengekspresikan kecenderungan seksual yang menyimpang. Pacaran dan zina bagi mereka adalah hak asasi. Selama tidak ada paksaan maka bukan pelanggaran. Tidak ada yang dirugikan, karena suka sama suka. Dalam demokrasi, negara membolehkan dan melegalisasi hak-hak individu. Ketika individu ingin melakukan apapun yang dia inginkan, asal tidak mengganggu dan merugikan individu lain, tidak masalah dan sah-sah saja.
Ketiga, Jebakan Moderasi Beragama
Moderasi beragama adalah cara pandang dalam beragama secara moderat yakni memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan tidak ekstrem. Dalam buku yang diterbitkan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama yang berjudul Moderasi Beragama (2019) menyebutkan, ada empat nilai utama yang menjadi inti gerakan moderasi beragama, yaitu komitmen kebangsaan, kerukunan, antikekerasan dan kearifan terhadap budaya lokal.
Pemuda harus waspada dengan moderasi beragama. Kelihatannya bagus, padahal menyesatkan. Bahkan, siswi SMAN 1 Jembara, Bali dinobatkan sebagai duta harmoni (baca : moderasi) oleh Direktorat KSKK Madrasah Ditjen Pendidikan Islam Kemenag. Moderasi beragama menggiring umat dan generasi muda untuk terbuka menerima berbagai pemikiran Barat; nasionalisme, demokrasi, HAM, liberalisme dan pluralisme untuk menggantikan aturan-aturan agama.
Alhasil, moderasi agama dimaksudkan agar pemahaman agama yang dianggap radikal (misalnya; jihad, khilafah, jilbab, dan sebagainya) bisa lebih lunak. Mencari jalan tengah dari paham yang dianggap ‘ekstrem’. Intinya kalau beragama ya biasa saja, jangan terlalu fanatik. Jangan terlalu eksklusif dalam memeluk agama, artinya, jangan merasa agamanya yang paling benar. Alhasil, banyak pemuda yang ‘melepas agama’ dari kehidupannya. Agama hanya sebatas pelengkap di kartu identitasnya saja. Pemuda saat ini makin berani berhubungan bahkan hingga menikah beda agama. Pindah agama bak hal yang lumrah, karena frasa, “semua agama sama saja, sama-sama mengajarkan kebaikan”.
Keempat, Jebakan Kapitalisme
Pada akhirnya semua paham sesat seperti sekuler, demokrasi, moderasi beragama dan liberal terlahir dari rahim yang sama, yakni rahim kapitalisme. Di sistem kapitalisme, potensi pemuda dibajak, diarahkan pada kesenangan dunia semata. Pemuda dijauhkan dari agama, hidupnya hanya untuk berfoya-foya. Kebahagiaannya tidak lagi pada keridaan Allah, melainkan bagaimana meraih sebanyak-banyaknya materi. Pemuda saat ini diserang bukan lagi dengan 3F melainkan dengan 6F; fashion, food, film, fun, free sex, dan faith atau keyakinan.
Sayyidina Ali ra menegaskan, “Al haq bila nizham, yaghlibuhul bathil binizham; kebenaran yang tidak terorganisir akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisir”. Ya, kebatilan, kerusakan, kemaksiatan yang merajalela hari ini adalah buah diterapkannya sistem kapitalisme. Secara terorganisir penjajah kafir berpikir keras bagaimana menghancurkan generasi Muslim.
Kafir Barat begitu bersungguh-sungguh menyesatkan pemuda. Dalam skala internasional, misalnya mengenai kesetaran gender, mereka mengadakan konvensi CEDAW (Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Againts Women) yang disetujui Majelis Umum PBB pada 1979. Ditambah, begitu massif kafir penjajah menggempur pemuda dengan LBGT. Pada 2015 lalu, Ban Ki-Moon selaku Sekjen PBB terang-terangan memperjuangkan hak LGBT di meja PBB. United States Agency for International Development (USAID) juga turut mendukung hak LGBT. Bahkan, Support Group and Resource Center On Sexuality Studies (SGRC) di Universitas Indonesia membuka konseling bagi mahasiswa LGBT. Jebakan-jebakan ini tidak terjadi begitu saja, tetapi by designed. Hal ini merupakan makar global guna memerangi Islam.
Selamatkan Pemuda
Fakta kerusakan pemuda sudah di depan mata. Jebakan-jebakan yang menjeratnya semakin nyata terindra. Lantas, bagaimana menyelematkan pemuda yang sudah berada di ujung tanduk ini? Siapa yang bertanggung jawab ‘mengulurkan tangan’ untuk selamatkan para pemuda muslim?
Pertama, keluarga. Sebagai wadah pertama pembentukan generasi berkualitas melalui ayah dan ibu. Sosok ayah di rumah ibarat kepala sekolah. Ia memimpin dan menentukan arah pendidikan bagi keluarganya. Tugasnya tak hanya mencari materi semata, tapi berkewajiban menjaga keluarganya dari api neraka. Ketiadaan peran dan figur ayah (father less), mengakibatkan anak-anaknya kehilangan arah. Begitu pula dengan sosok ibu sebagai guru pertama bagai anak-anaknya. Jika ibu juga disibukkan mencari nafkah, maka siapa lagi yang akan mendidik anak-anaknya di rumah? Walau tak dimungkiri, banyak para ibu yang sebenarnya ‘terpaksa keluar rumah’ karena tekanan hidup di sistem kapitalistik tak menjamin kebutuhan rumah tangganya.
Sosok kakek-nenek, om-tante, sepupu-keponakan dan saudara lainnya adalah bagian dari keluarga yang seharusnya turut menciptakan lingkungan kondusif bagi tumbuh kembang sang anak (pemuda). Jika lingkungan sekitar pemuda, terutama keluarganya terbiasa meninggalkan salat wajib, tak pernah mengkaji Islam, hobi melontarkan kalimat kotor, senang berbuat kasar, apakah mungkin terlahir pemuda saleh nan ideologis? Bagai pungguk merindukan bulan.
Kedua, sekolah, kampus atau pesantren. Di dalam sistem pendidikan Islam, tujuan utama pendidikan sekolah ialah membangun kepribadian Islam ( syakhsiyyah Islam). Mencetak generasi yang tak hanya pola pikirnya saja yang Islam, tetapi pola sikapnya juga Islam. Bagaimana cara mendidiknya? Tentu dengan pembinaan yang khas. Tsaqofah yang disampaikan pun hanya tsaqofah Islam.
Berbanding terbalik dengan pendidikan sekolah di sistem kapitalis sekuler. Guru hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, tidak membina muridnya dengan tsaqofah Islam. Yang terjadi kini, justru pendidikan agama porsinya hanya dua jam dalam seminggu, itu pun ada wacana untuk dihapuskan. Bagaimana bisa memperbaiki moral serta melahirkan generasi yang kokoh imannya jika pelajaran agamanya saja dipinggirkan?
Belum lagi orientasi pendidikan kapitalistik yang sangat berambisi menjadikan sekolah sebagai pabrik penghasil tenaga kerja yang menguntungkan bagi para kapital. Akhirnya, pendidikan hari ini hanya sebatas angka belaka, formalitas untuk melamar kerja. Bukan lagi sebagai pencetak generasi gemilang yang ber- syakhsiyyah Islam.
Ketiga, masyarakat. Masyarakat merupakan lingkungan tempat generasi itu tumbuh dan hidup bersama anggota masyarakat lainnya. Ketika masyarakatnya rusak, maka bukan hal yang mustahil generasi pemuda yang tumbuh di dalamnya juga akan rusak, begitu pula sebaliknya. Jika masyarakatnya Islami, maka yang akan terpancar adalah cahaya Islam. Maka, wajar saat Islam berjaya, penduduk nonmuslim yang semula ‘rusak’ menjadi ‘sehat’. Semula tak mengimani Allah dan Rasul-Nya namun setelah masuk Islam, malah menjadi pembela agama-Nya.
Dalam pergaulannya di tengah masyarakat, pemuda juga sangat erat kaitannya dengan sahabat atau teman dekat. Jauh sebelumnya Nabi Muhammad saw. mengingatkan agar tak sembarang memilih sahabat. Beliau bersabda, “Seseorang itu bergantung pada agama sahabatnya, maka perhatikanlah salah seorang dari kamu kepada siapa dia bersahabat.” (HR. Abu Daud).
Maka, amat perlu memilah teman dekat terbaik bagi pemuda.
Masyarakat juga merupakan sekolah besar bagi generasi. Mereka melihat dan meniru. Dampak kecanggihan teknologi, budaya dan gaya hidup Barat dan Korea yang nun jauh di sana, kini ada di depan mata. Maka, tak cukup hanya menyiapkan masyarakatnya saja.
Keempat, negara. Bicara pemuda maka bicara aset bangsa. Seyogyanya negara dengan sungguh-sungguh menyiapkan generasi pemuda yang tangguh. Bukan seperti pemuda saat ini yang lemah dan rapuh. Terlebih, Indonesia sejak tahun 2020 sudah memasuki bonus demografi, hingga puncaknya yaitu 2030. Sewajarnya negara tidak lagi memandang sebelah mata permasalahan pemuda. Bukan malah sibuk mengaruskan pendidikan vokasi guna ‘menjual’ pemuda di era 4.0 dan pasar bebas. Tetapi, mengutip perkataan Prof. Dr. Ing Fahmi Amhar, “Bonus demografi hanya dapat diraih jika mereka yang saat ini masih usia anak-anak itu dapat diformat menjadi generasi emas, generasi bertakwa, sehat, cerdas, gemar bekerja keras dan dapat bersinergi”.
Namun, bagaimana bisa generasi khairu ummah itu terlahir, jika negeri ini masih saja mengadopsi sistem rusak dan cacat? Maka dari itu, perlu adanya negara yang menerapkan sistem aturan Islam secara keseluruhan. Tidak cukup hanya mengambil hukum-hukum dalam Islam terkait sistem uqubat -nya saja, seperti yang dilakukan beberapa negeri muslim. Tetapi sangat perlu diterapkan sistem lainnya, seperti sistem pendidikan, pergaulan serta ekonominya, harus dari Islam. Negara mana yang menerapkan sistem Islam secara sempurna? Tiada lain, hanyalah negara Daulah Khilafah.
Khatimah
Pemuda adalah tonggak peradaban. Di tangan merekalah tergenggam masa depan umat dipertaruhkan. Akankah mengantarkan pada kebangkitan atau justru pada kehancuran? Maka menjadi tanggung jawab kita bersama untuk mempersiapkan pemuda dambaan.
“Para pemuda kita adalah yang kita harapkan mengendalikan masa depan. Karena itu menjadi tugas generasi kita untuk memprogram mereka, sehingga mereka mampu tampil sebagai generasi yang kokoh untuk memikul tanggung jawab masa depan,” ucap seorang ulama asal Lebanon.
Napolen Bonaparte pernah berkata, “Selama Al-Qur’an ini berkuasa di tengah-tengah kaum muslimin, dan mereka hidup di bawah naungan ajaran-ajarannya yang sangat istimewa, maka kaum muslimin tidak akan tunduk kepada kita, kecuali kita pisahkan mereka dari Al-Qur’an (syariat Islam).”
Maka dari itu, mari bersinergi menyelamatkan generasi muda muslim dari jebakan-jebakan yang kini tengah menjeratnya. Tidak bisa kita mungkiri bahwa kerusakan pemuda sangat jelas di depan mata kita. Mari mengambil peran dalam perjuangan. Berdakwah, menyampaikan kebenaran dan mencegah kemungkaran sesuai kemampuan. Saatnya kita kembali kepada Islam kaffah yang akan membawa umat pada keberkahan.
Allahu a'lam bish showab[]