”Menjadi pemuda Kahfi bukanlah pengekor budaya asing yang hedonisme, melainkan sosok pemimpin masa depan umat. Untuk itu prosesnya harus terlebih dulu memenangkan perang pemikiran agar potensi nuraninya selamat dari syahwat kekuasaan.”
Oleh. Maman El Hakiem
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Pemuda hari ini adalah pemimpin di hari esok. Kalimat tersebut hendaknya bukan sekadar pepatah atau ungkapan, melainkan harapan untuk menjadi realitas dalam kehidupan. Pemuda dalam dimensi kehidupannya merupakan fase terpenting bagi pengembangan kepribadian (syakhsiyah) yang terbentuk dari pola pikir dan pola sikap.
Secara psikologis dan psikososial, kita memahami bahwa manusia terlahir sebagai makhluk individu dan juga sosial (homo homini socius). Dan pada fase pemudalah segala potensi diri berkembang secara dinamis.
Persoalannya sekarang, apakah sosok pemuda yang ada di negeri ini menjadi pelopor atau pengekor? Menarik untuk dicermati bahwa dewasa ini peran pemuda dinilai mengalami kemunduran. Disinyalir kehidupan pemuda banyak yang telah menjadi korban dari sebuah peradaban yang cenderung meninggalkan nilai humanisme dan moralitas. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi berlangsung secara cepat tidak lagi dalam hitungan jam atau menit, melainkan detik. Inilah kondisi dunia yang serba cepat atau generasi digital sebagai hasil dari potensi nalar umat manusia yang semakin canggih.
Namun, kondisi tersebut perlu kita sadari bersama sebagai tantangan sekaligus ancaman, bahwa potensi nalar yang dimiliki manusia tanpa dibarengi dengan pengembangan potensi nurani dan nalurinya hanya akan melahirkan generasi manusia digital yang kesepian. Kita akan terbawa arus teknologi yang tidak lagi mengindahkan nilai-nilai religiositas dan moralitas. Untuk itu penting dicari sosok pemuda yang mampu membawa perubahan zaman, yaitu sosok seperti pemuda Kahfi yang dalam sejarah peradaban manusia memiliki keteguhan iman dan prinsip dalam dakwah, pemuda yang tahan menghadapi tantangan zaman.
Pemuda Kahfi abad ini haruslah pemuda sebagai pelopor, bukan pengekor. Menjadi pelopor artinya membawa angin perubahan yang lebih baik atas nilai-nilai yang dapat menyelaraskan perkembangan ilmu dan teknologi dengan nilai spiritualitas akidah yang diwujudkan dalam bentuk ketakwaan kepada Allah Swt.
Tiga Potensi Fitrah Manusia
Potensi nalar, nurani, dan naluri manusia merupakan tiga potensi fitrah yang diberikan Allah Swt. kepada manusia, sebagaimana petikan makna QS. Al-Mukminun ayat 78, bahwa Dialah (Allah) yang telah menciptakan untukmu sekalian pendengaran, penglihatan dan hati (pikiran). Amat sedikit kamu bersyukur. Inilah yang menjadi nilai perenungan kita bahwa manusia tercipta ke dunia, bukan sekadar makhluk jasadiyah, melainkan makhluk ruhaniyah
Kebutuhan akan nilai rohani merupakan fondasi yang mendasari amal perbuatan manusia di dunia yang bertepi. Dunia yang fana, dunia yang dibatasi dinding waktu dan keadaan fisik materi yang dinamakan ajal. Karena itulah segala potensi berupa nalar dan naluri hanya mampu mengantarkan manusia pada kesejahteraan hidup di dunia, namun untuk mencapai kehidupan bahagia pada dunia yang tak terbatas (akhirat), potensi nurani berupa kekayaan spiritualitas yang harus dihidupkan sebagai karakter perilaku manusia di dunia.
Hanya dengan karakter spiritualitas manusia akan memiliki cara pandang kehidupan yang benar untuk menjadi manusia yang bersyukur sebagaimana diisyaratkan Allah Swt. dalam QS. Al Mukminun:78 tersebut, yakni ketika segala potensi diri berkembang dalam koridor idrak sillah billah , adanya ‘ruh' berupa ikatan perbuatan amal manusia dengan Allah Swt.
Dengan kata lain dalam diri manusia terdapat nilai-nilai insaniyah dan rubbubiyah (ketuhanan). Sebagai insan artinya manusia memiliki keterbatasan sebagai makhluk yang cenderung salah, namun di sisi lain derajatnya lebih mulia sehingga Allah Swt. memberinya predikat khalifatul fi ardl (wakil Tuhan di muka bumi). Dua sisi menarik inilah menjadikan manusia dihadapkan pada kompetisi nilai untuk memenangkan nilai kebaikan dalam dirinya (fastabiqul khairat) atau keburukan yang menang. Bila nilai keburukan yang menang dalam pengembangan nilai kepribadiannya akan mengubah derajatnya dari insan mulia menjadi insan hina, bahkan mungkin lebih hina dari binatang.
Kompetisi Amal Kebaikan
Kompetisi dalam memenangkan potensi kecenderungan baik atau buruk, benar atau salah sangat ditentukan oleh cara pandang atau pemahamannya tentang kehidupan secara menyeluruh. Dan pada fase emas pemuda inilah segala energi potensi menemukan titik puncak pencapaiannya. Dorongan untuk berkarya ada dalam jiwa seorang pemuda, karena masa ini pula sering disebut masa pencarian jati diri (character building), sehingga tantangan yang dihadapi pemuda sangat berat. Pemuda dihadapkan pada kondisi umat dalam perang pemikiran (ghazwul fikr) dan perang budaya (ghazwut tsaqafi). Untuk itu harus dipersiapkan mental pemuda Kahfi yang tangguh berperan bukan baperan dalam segala medan kehidupan.
Menjadi pemuda Kahfi bukanlah pengekor budaya asing yang hedonisme, melainkan sosok pemimpin masa depan umat. Untuk itu prosesnya harus terlebih dulu memenangkan perang pemikiran agar potensi nuraninya selamat dari syahwat kekuasaan. Menjadi pemuda pemimpin artinya menjadi pelopor yang bisa memberikan keteladanan (uswah hasanah), bukan malah mengikuti arus budaya sekularisme yang merusak tatanan kehidupan.
Gempuran budaya asing yang masuk dalam segala ruang kehidupan harus dilawan dengan kuatnya tsaqafah keislaman dan tingginya nilai kepribadian sebagai pengemban dakwah ideologis. Inilah tantangan zaman untuk mewujudkan umat terbaik, sebagai sosok pemuda Kahfi di abad ini, yaitu mereka yang dianggap asing dan tersembunyi, namun menyimpan energi perubahan untuk masa depan umat yang terbaik, sebagaimana. terinspirasi dari QS. Ali Imran: 110 yang artinya, kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh yang makruf dan mencegah yang mungkar, dan beriman kepada Allah.
Dakwah Tiada Henti
Dengan demikian, pemuda Kahfi yang dimaksud pada zaman sekarang ini adalah para pengemban dakwah yang dengan keberaniannya menyampaikan koreksi atas kekuasaan kapitalisme yang telah memisahkan agama dari kehidupan melalui paham sekularismenya. Pemuda Kahfi terlahir dari rahim pemahaman Islam yang sahih, kemudian disampaikan dengan dakwah secara hikmah, hujah yang benar sampai syariat Islam secara kaffah dapat diterapkan dalam kehidupan di masyarakat secara utuh dan menyeluruh melalui institusi negara yang menyatukan umat di seluruh dunia.
Mereka bukan pemuda yang terbuai dengan kemajuan teknologi hingga terlelap dalam tidur panjangnya karena malas berdakwah. Melainkan pemuda yang berdakwah tiada henti dengan berbagai kreasi dan inovasinya. Karena sebuah prestasi duniawi tanpa dibarengi girah dakwah yang dilandasi nilai akidah Islam yang benar hanya menjadikan manusia sebagai budak kapitalisme. Pemuda Kahfi bukanlah pemimpi, melainkan pemuda yang memiliki visi pemimpin, kaya dengan prestasi ilmu, iman dan kesalehan berupa ketakwaan yang produktif dan berkontribusi bagi kemaslahatan umat.
Sebuah karya hasil potensi nalar jika tidak diikuti dengan religiositas atau ketakwaan kepada Allah Swt. hanya akan melahirkan manusia yang diperbudak teknologi atau menurut Drs. Toto Tasmara, kondisi yang membuat manusia buta iman. Kebutaan iman telah membuat manusia tak berdaya, sehingga dengan kebodohannya itu dia menampilkan dirinya sebagai Tuhan yang penuh kepalsuan (the artificial God). Dia menghinakan dirinya sendiri untuk mengabdi pada ‘sesuatu' yang dia anggap memiliki pengaruh absolut, kekuatan, dan berkah bagi dirinya. (Toto Tasmara, 2000:239)
Inilah gambaran kapitalisme saat ini yang telah menjadi berhala yang disembah banyak negara di belahan dunia. Bagi sosok pemuda Kahfi yang tidak lagi sedang bermimpi harus berani bangun menghadapi medan perjuangan untuk menyelamatkan akidah dan masa depan umat Islam.
Wallahu'alam bish Shawwab.[]