“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang tuanya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu, hanya kepada-Ku lah kembalimu.” (TQS. Lukman: 14)
Oleh. Putri Achmad
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.com-MC yang ini bukan seperti MC biasanya, bahkan MC jenis ini enggak perlu dibayar alias gratis! Momong cucu, ya itu kepanjangan MC yang penulis maksud. Bukan Master of Ceremony. Ok, lanjut. Ibu saya atau eyang utinya anak-anak saya beberapa waktu lalu bercerita tentang teman umrahnya. Ceritanya, mereka bertemu di suatu acara, mungkin semacam reunian jemaah umrah gitu. Biasalah emak-emak rempong kalau sudah ngobrol enggak ada habis-habisnya tema yang dibahas. Coba Sobat tebak tema pertama yang dibahas! Yup, kabar masing-masing. Tanya kesehatan, nyambung tanya kabar si ibu A, ibu B, dst., yang saat itu tidak bisa hadir. Ya, kali aja di antara mereka ada yang tahu. Lanjut ke tema berikutnya, tanya kabar paksu (pak suami) masing-masing, anak, cucu, cicit, kalau sudah ada yang punya mungkin ditanya juga. Hadeuh, ini reuni umrah atau silaturahmi keluarga besar, sih nggak jauh beda dengan lebaran, hehe.
Nah, sobat NP ceritanya ibu saya sampai pada tema ‘cucu’. Para emak saling tanya, "sudah berapa cucu, Ibu?"
Giliran ibu saya menjawab, “Empat belas, Bu.” Auto kaget ibu-ibu yang mendengar.
Ada nih salah satu ibu yang komen. “Itu cucu-cucu Ibu diurus ortunya?”
Nah, mulai dari sini sudah pada tahu, ya, akan ke mana arah tulisan ini berlayar, hehe.
Ibu saya dengan antusias menjawab, “Ya iyalah sama ortunya, Bu. Saya nggak mau kalau diminta momong cucu, dah nggak kuat, dah nggak muda lagi.”
Si ibu yang bertanya balik menanggapi sekaligus curhat, “Eh, Ibu enak, ya nggak ada cucu yang nggondeli, nggak kayak saya, dititipi cucu karena anak dan menantu saya dua-duanya kerja.”
Usut punya usut, dari cerita-cerita para emak yang lebih pas disebut para eyang atau para nenek tersebut, ternyata si ibu yang dititipi dua orang cucu tersebut sebenarnya ingin resign jadi MC alias momong cucu karena merasa kewalahan. Mending-mending cucu-cucunya nurut, lha disuapi makan saja kudu wira-wiri sambil main di luar. Ya kebayang pegalnya badan eyang yang sudah tidak muda lagi. Miris! Anak dan mantu sang nenek sibuk cari uang, anak-anaknya dititipkan pada sang nenek. Sudahlah ortu kita lelah mengurus kita sejak dalam kandungan, eh setelah kita punya anak, anak kita pun diurus oleh orang tua kita.
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang tuanya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu, hanya kepada-Ku lah kembalimu.” (TQS. Lukman: 14)
Bukan maksud pukul rata, ya, Sob! Bagi para nenek yang fine-fine saja dititipi cucu, enggak masalah. Apalagi, jika sang nenek memang masih sangat mampu dan senang membantu mengurus cucu-cucunya. So, tulisan ini anggaplah sebagai pengingat bagi kita para emak yang ingin menitipkan anak-anak yang masih kecil-kecil, masih doyan lari-lari, alias lagi aktif-aktifnya. Jika ingin menitipkan ke sang nenek, pastikan sang nenek mampu dan senang.
Jikalau boleh memberikan pendapat, menurut saya sebagai ortu ataupun calon ortu memang harus sudah paham tugas dan kewajiban terhadap anak sebelum si buah hati lahir. Jangan semua pakai ilmu learning by doing. Padahal, nggak semuanya, lho, Sob, bisa dipelajari sambil kita jalani sebagai ortu. Ada banyak hal penting dan pokok yang dituntunkan oleh agama kita (baca: Islam) agar bisa kita pelajari sebelum kita melakukan sesuatu. Pepatah kerennya, al ilmu qabla amal. Yup, harus cari tahu dulu biar mengerti apa yang harus dilakukan. Termasuk dalam hal yang sedang penulis bahas.
Sebenarnya, gimana hukumnya menitipkan anak pada sang nenek? Boleh-boleh saja, Sob. Asalkan tidak memberatkan sang nenek, kemudian harus dipastikan kewajiban orang tua kepada anak tidak terlalaikan. Kita tidak boleh menitipkan anak kita terus-menerus karena kita sebagai ibunya disibukkan mencari uang. Akhirnya, peran kita sebagai madrasah pertama bagi anak kita tergantikan oleh didikan nenek kepada cucu-cucunya. Apalagi, biasanya sang nenek hanya sanggup memastikan ‘yang penting cucunya enggak kenapa-kenapa’, 'tidak kelaparan', 'tidak celaka atau tidak sakit'.
Sedangkan, bagaimana asupan informasi yang masuk ke benak cucunya selama dititipkan? Apa saja yang harus dipelajari sang cucu di usianya saat itu, dll.? Tentu akan sulit dilakukan sang nenek. Sudah terlalu lelah jika harus melakukan proses edukasi serumit itu di usia yang tak lagi muda. Apalagi, jika ada pola asuh atau pola didikan yang berbeda antara sang nenek dengan kita sebagai orang tua, wah bisa bikin bingung anak.
Nah, sekadar saran alangkah baiknya jika kita (istri) terpaksa harus membantu mencari nafkah, ambillah pekerjaan yang tidak memakan banyak waktu kita. Bagaimanapun, seorang muslimah memiliki tugas dan kewajiban sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, sekaligus ia dituntut berperan aktif mengedukasi kaumnya dalam kegiatan dakwah. Kedua peran domestik dan publik ini tidak boleh dikalahkan oleh aktivitas bekerja.
Tak dimungkiri, dunia saat ini dilingkupi atmosfer kapitalisme yang menuntut manusia bahagia saat kepuasan jasadiyah terpenuhi dan bergelimang materi. Apalagi, kompetisi bebas berlaku pada semua orang tanpa pandang bulu, yang mampu dan tidak mampu akan disatukan dalam perlombaan memenangkan kesenangan duniawi. Siapa punya uang atau modal dia akan menang, jika tak punya modal harus rela tersingkirkan.
Kapitalisme telah membebankan semua kebutuhan hidup beserta problematika kehidupan pada individu. Jika seseorang sudah berkeluarga, maka beban itu berpindah pada keluarga. Perempuan yang tak diwajibkan menafkahi keluarga, akhirnya mau tidak mau harus ikut serta menopang kebutuhan nafkah bagi keluarganya. Bahkan, saat ini posisi perempuan bukan sekadar membantu perekonomian keluarga, tapi posisinya sebagaimana laki-laki, yaitu sebagai kepala keluarga. Mungkin kita pernah mendengar istilah 'Perempuan Kepala Keluarga'. Akhirnya, istri yang sudah lelah bekerja tidak mungkin bisa optimal mengurus rumah dan anak-anaknya. Jika mencari ART bagi sebagian keluarga masih belum ada budget, maka alternaif solusi teraman dan ternyaman adalah minta bantuan orang tua kita alias sang kakek atau nenek.
Kadang pertanyaan usil tebersit dalam benak saya, “sebenarnya menjadikan ortu sebagai MC karena alasan lebih aman daripada memperkerjakan orang lain atau karena lebih nyaman di kantong?” Jika nenek dan kakek yang jadi MC, biasanya enggak perlu keluar uang untuk menggaji. Udah gitu, kita sebagai anak kurang peka juga, jarang membalas kebaikan ortu dengan hal-hal menyenangkan. Misal, mengajak mereka berlibur ke tempat yang mereka sukai, healing setelah direpotkan cucu-cucunya atau sekadar membelikan kebutuhan-kebutuhan harian mereka. Meskipun hal tersebut tetap tidak akan mampu menandingi besarnya jasa-jasa mereka kepada kita, anak yang telah meraka rawat dan mereka didik sejak dalam kandungan.
Solusi jangka pendek saat istri terpaksa membantu mencari nafkah, carilah pekerjaan yang tidak mengganggu tugas utama kita sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Misalnya, pekerjaan yang bisa dilakukan di sela-sela kesibukan utama kita dan pekerjaan tersebut tidak mengganggu kewajiban kita. Hmm, jadi penulis mungkin salah satu alternatif solusi yang baik untuk dipertimbangkan. Nah, kalau sobat tertarik, ditunggu banget karya-karya terbaik kita oleh Bu Andrea dan tim. Siapa tahu, lewat media NarasiPost.Com suatu saat kita bisa menjadi penulis ideologis yang mengguncang dunia! Wallahu a'lam bishawab.[]
Photo : Pinterest