"Membagikan ilmu dapat dilakukan secara lisan maupun tulisan. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi ketika membagikan ilmu. Pertama, meyakini kebenarannya. Kedua, mengetahui caranya. Yakni bagaimana orang bisa merasakan kebaikan dari ilmu yang kita bagikan. Ketiga, menguasai isinya. Keempat, menyandarkan kepada Allah Swt."
Oleh. Mariyah Zawawi
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.com-"Ilmu itu berkembang dengan diinfakkan", kata Sayidina Ali bin Abi Thalib. Begitulah ilmu. Ilmu tidak seperti harta yang secara fisik akan berkurang jumlahnya jika dibagikan. Sebaliknya, ilmu akan semakin bertambah jika diberikan kepada orang lain. Semakin banyak yang dibagikan, semakin bertambah banyak pula ilmunya. Maka, orang yang membagikan ilmu tidak akan mengalami kerugian. Sebaliknya, ia akan mendapatkan keuntungan.
Keuntungan lain dari membagikan ilmu adalah mendatangkan pahala jariah. Pahalanya akan terus mengalir, bahkan ketika orang yang membagikan ilmunya telah menghadap kepada Rabb-Nya. Di samping itu, membagikan ilmu juga merupakan salah satu cara untuk mengikat ilmu agar abadi sepanjang masa.
Membagikan ilmu dapat dilakukan secara lisan maupun tulisan. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi ketika membagikan ilmu.
Pertama, meyakini kebenarannya.
Kedua, mengetahui caranya. Yakni bagaimana orang bisa merasakan kebaikan dari ilmu yang kita bagikan.
Ketiga, menguasai isinya.
Keempat, menyandarkan kepada Allah Swt.
Maka, para sahabat, tabiin, tabi'ut tabiin pun membagikan ilmu yang mereka miliki dengan senang hati. Di kalangan para sahabat, Sayidina Ali bin Abi Thalib adalah orang yang paling sering dijadikan sebagai tempat bertanya. Beliau memang sangat terkenal dengan keilmuannya. Bahkan, Rasulullah saw. mengibaratkan dirinya sebagai kota ilmu, sedangkan Sayidina Ali bin Abi Thalib sebagai pintunya.
Pada masa sahabat, belum banyak yang menyebarkan ilmu dalam bentuk tulisan. Biasanya, mereka menghafalkan apa pun yang mereka pelajari. Saat itu, Rasulullah saw. memang melarang para sahabat untuk menuliskan yang disampaikannya, kecuali ayat Al-Qur'an. Hal itu dilakukan untuk mencegah terjadinya campur aduk antara ayat Al-Qur'an dengan yang lainnya.
Karena itu, tidak ada peninggalan buku atau lembar catatan yang mereka tinggalkan, kecuali catatan dari Abdullah bin Amr. Ia merupakan sahabat yang rajin mencatat hadis-hadis yang dipelajarinya. Catatan itu dikenal dengan nama shahifah shadiqah.
Pada masa tabiin, Khalifah Abu Ja'far Al-Manshur meminta kepada Imam Malik untuk menuliskan hadis dalam satu kitab khusus. Imam Malik tidak langsung menerima permintaan tersebut. Namun, pada akhirnya, beliau memutuskan untuk memenuhi permintaan Khalifah Abu Ja'far Al-Manshur. Beliau pun mulai menghimpun hadis-hadis Rasulullah saw. Kitab yang berisi kumpulan hadis yang membahas masalah fikih itu dikenal dengan nama Kitab Al-Muwattha'. Yaitu kitab yang berisi hadis-hadis bersanad.
Imam As Suyuthi menceritakan dalam kitabnya, Tadzribur Rawi fi Syarhi Taqribin Nawawi, bahwa saat itu juga ada ulama-ulama lain yang menyusun Kitab Al-Muwaththa'. Salah seorang di antaranya bernama Ibnu Abu Dzi'b. Kitab Ibnu Abu Dzi'b ini lebih rinci pembahasannya. Ketika mengetahui bahwa kitab karya Imam Malik lebih sederhana dibandingkan karyanya, ia bertanya kepada Imam Malik tentang manfaat dari kitabnya. Imam Malik pun menjawab, bahwa apa yang dilakukan karena Allah Swt. akan abadi.
Ucapan Imam Malik itu pun terbukti. Kitab Al-Muwattha' karya beliau, ternyata lebih banyak dipelajari. Bahkan, hingga saat ini. Hal itu karena keikhlasan Imam Malik saat menyusun kitab tersebut. Beliau hanya mengharapkan rida Allah Swt. Karena itulah, ilmunya abadi sepanjang masa.
Keikhlasan semacam itu juga dimiliki oleh penyusun kitab matan Al-Ajurumiyyah. Penyusun kitab yang bernama asli Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad bin Ajurrum as-Shanhaji ini biasa disebut Syekh Shanhaji. Sebelum menyusun kitab ini, beliau menghadap ke kiblat, memohon kepada Allah Swt. agar diberi keberkahan serta manfaat pada karyanya.
Setelah kitab itu berhasil diselesaikannya, beliau justru melemparkan hasil karyanya itu ke dalam laut seraya berkata,
إن كان خالصا لوجه الله تعالى فلا يبل
"Jika kitab ini murni karena Allah Ta'ala, maka tidak akan basah."
Ternyata, lembaran-lembaran itu tidak basah sedikit pun. Hal ini dikisahkan oleh Imam Kafrawi dalam Syarah Al-Ajurumiyyah.
Kitab itu benar-benar barakah dan bermanfaat. Hingga sekarang, kitab kecil itu dipelajari sebagai kitab pertama oleh para santri yang hendak belajar ilmu nahwu. Tidak sedikit pula yang telah menulis syarahnya.
Karena keikhlasan penulisnya pula, kitab matan Zubad karya Ibnu Ruslan masih tetap dipelajari oleh umat Islam hingga kini. Kitab yang berisi nadham (bait) kaidah fikih itu ditulis oleh Ibnu Ruslan ketika berada di kapal. Saat itu, beliau sedang melakukan perjalanan bersama beberapa temannya. Ketika teman-temannya asyik menikmati keindahan laut, beliau menyibukkan diri dengan menulis.
Setelah tulisan itu selesai, bukannya menyimpan karyanya, Ibnu Ruslan justru mengikatnya dengan batu dan membuangnya ke laut. Ia hanya berpikir bahwa apa saja yang dilakukan semata karena Allah Swt., tidak akan rusak. Teman-temannya yang menyaksikan hal itu pun merasa heran. Mereka heran, karena tulisan yang telah dibuat dengan susah payah itu dibuang begitu saja.
Keyakinan Ibnu Ruslan ternyata terbukti. Lembaran yang berisi sekitar 1000 bait kaidah fikih itu ditemukan oleh seorang nelayan. Setelah membukanya, ia menemukan ada bait-bait yang tertulis di lembaran-lembaran tersebut. Karena tidak memahaminya, ia pun mengantarkannya ke ulama setempat.
Sang ulama itu pun membacanya lembar demi lembar dengan penuh rasa takjub. Setelah mengetahui betapa berharganya lembaran-lembaran itu, ia pun memerintahkan orang untuk menyalin dan menyebarluaskannya. Kitab itu pun kemudian banyak disalin dan dipelajari oleh mereka yang belajar ilmu fikih.
Demikianlah keikhlasan para ulama dalam membagikan ilmu. Mereka hanya mengharapkan rida Allah Swt. dan tidak mengharapkan pujian dari manusia. Memang, demikianlah seharusnya sikap kita saat beramal, termasuk saat membagikan ilmu. Sebab, bersikap ikhlas itulah yang diperintahkan oleh Allah Swt. melalui firman-Nya dalam Surah Al-An'am [6]: 162-163,
قل إن صلاتي ونسكي ومحياي ومماتي لله رب العالمين لا شريك له وبذالك أمرت وانا من المسلمين
"Katakanlah, 'Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku, hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)."
Karena itu, Rasulullah saw. mengingatkan kita melalui hadis dari Abu Hurairah, bahwa orang yang pertama kali dimasukkan ke dalam neraka adalah orang berilmu, yang dengan ilmunya itu ingin disebut sebagai orang yang alim.
Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang dikisahkan dalam hadis itu. Semoga kita diberi kekuatan oleh Allah Swt. untuk menjadi orang yang ikhlas dalam membagikan ilmu. Agar kita tidak menjadi orang yang disiksa oleh Allah Swt. akibat keinginan kita untuk dipuji karena ilmu yang kita miliki.
Marilah kita berdoa, dengan doa yang sering dipanjatkan oleh Khalifah Umar bin Khattab,
اللهم اجعل عملي كلها صالحا واجعله لوجهك خالصا ولا تجعل لأحد فيه شيئا
"Ya Allah, jadikanlah seluruh amalku sebagai amal saleh, ikhlas karena-Mu, dan janganlah Engkau jadikan di dalam amalku bagian untuk siapa pun."
Wallaahu a'lam bishshawaab.[]
Photo : Pinterest