"Salah satu naskah Terbaik Challenge ke-4 NarasiPost.Com dalam rubrik Story"
Oleh: Dyah Rini
(Founder Rumah Qur'an al Ummah dan Aktivis Muslimah)
NarasiPost.Com-"Maaf Ustazah, saya tidak bisa mengucapkan huruf bertasydid dengan baik, karena takut gigi ini lepas kalau ditekan," ujar salah satu ibu sambil menunjukkan gigi depan yang goyah.
Kontan ibu-ibu lain tidak bisa menahan tawa. Ada lagi ibu yang berucap, "Saya juga mohon maaf Ustazah, membacanya tidak bisa lancar, karena masih sambil mengingat nama huruf."
Aku anggukkan kepala dan menepis kegalauan mereka dengan membacakan sebuah hadis.
Dari 'Aisyah radhiallahu anha dia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
"Orang yang mahir membaca Al-Qur'an, maka kedudukannya di akhirat ditemani oleh para malaikat. Dan orang yang membaca Al-Qur'an dengan terbata-bata, maka ia mendapat dua pahala." (HR. Muslim)
Itulah keseruan pagiku di rumah Qur'an al Ummah, yakni mengajari ibu-ibu lansia membaca Al-Qur'an dengan baik dan benar. Maka, kusulap rumah warisan orang tua menjadi tempat berkumpul ibu-ibu mengeja huruf-huruf kalamullah.
Mereka sangat antusias belajar mengaji. Kebanyakan dari mereka adalah pensiunan guru. Dalam kesempatan lain, mereka menyampaikan kegalauannya, mengapa tidak dari dulu belajarnya.
Mereka menyadari, tuntutan pekerjaan yang menyita waktulah penyebab hingga terlambat memperdalam ilmu agama, terkhusus membaca Al-Qur'an. Alasan lain yang juga mereka akui adalah rasa malu mengalahkan rasa ingin tahu.
Perlahan jumlah ibu-ibu yang datang semakin banyak. Perabot meja kursi terpaksa kukeluarkan di teras, agar mereka lebih leluasa mengaji dengan alas tikar. Di sela belajar membaca Qur'an, kutambahi dengan materi penguatan akidah.
Subhanallah, banyak sekali hal yang belum mereka pahami tentang Islam. Bahkan, berkaitan dengan fiqih mandi besar pun mereka belum paham. Tata cara menjadi ibu yang baik untuk anak juga menjadi bahasan menarik bagi mereka, hingga ada salah satu ibu muda yang mengungkapkan penyesalan karena sering menyakiti anak saat menyertai tumbuh kembangnya.
Kepindahanku dari kota ke desa tak lepas dari nasihat musrifah untuk tetap menjadikan dakwah sebagai aktivitas utama. Bersyukur, Allah menunjukkanku jalan kemudahan untuk beradaptasi dengan lingkungan baru. Berbekal ilmu saat mengajar di SD favorit di tempat tinggalku yang lama, dengan percaya diri aku tawarkan untuk mengajar tahsin ibu-ibu wali murid TK di sela menunggui anak.
Gayung bersambut, ibu-ibu yang awalnya mengenalku sebagai penjaja minuman susu kedelai, akhirnya tahu siapa identitasku. Mereka menyambut tawaranku dan siap memulai belajar mengaji Qur'an. Mereka juga tidak merasa berat walau harus membawa tikar dari rumah dan menggelarnya di halaman rumah kosong samping sekolah.
Kegiatan tahsin terus berjalan hingga anak-anak lulus TK. Mereka menginginkan tahsin tetap berlanjut. Akhirnya ditetapkan rumahku sebagai tempat berkumpul selanjutnya. Dari sini awal cerita perjalanan dakwahku dimulai.
Keraguan Sebelum Hijrah
Masih terbayang dalam ingatan, sebelum aku dan keluarga pindah. Tidak mudah membujuk bungsuku. Hatinya sudah terlanjur terpaut pada kota tempat lahir dan dibesarkan. Berat meninggalkan kawan sepermainan, walau kadang sering menjengkelkan. Berkat kesabaran suami memahamkan bahwa kita harus rida dengan qada Allah.
Semua yang kita miliki sejatinya hanyalah pinjaman. Harta, kedudukan, perniagaan, rumah, kendaraan, bahkan diri kita adalah milik-Nya. Maka, jika sewaktu-waktu diambil oleh pemilik sejati, kita harus ikhlas.
Jujur, dalam hati aku pun merasa gamang hijrah ke tempat yang baru. Walau sebenarnya itu adalah kampung halamanku. Akan tetapi, karena sudah dua puluh tahun lebih kutinggalkan, jadi merasa asing.
Bismillah kumantapkan hati dan kupasrahkan semua urusan pada Allah. Kuyakinkan diri bahwa ini adalah skenario terbaik dari Allah. Tetap bertahan di kota juga tidak mungkin. Tidak ada uang untuk memperpanjang kontrakan. Uang hasil penjualan rumah telah habis untuk menutup utang bisnis suami yang gulung tikar.
Ya, aku tidak seharusnya larut dalam kesedihan. Semua adalah salah satu bagian ujian dari Allah. Aku yakin dengan Firman Allah yang tertulis di surat Al-Insyirah ayat 6 :
"Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan."
Benar, Allah tunjukkan Ar Rahman dan Ar Rahim-Nya. Di desa, banyak hal yang bisa membuat aku dan keluarga survive, walau pada awalnya bingung membuat usaha yang pas untuk menyambung hidup. Namun, faktanya di desa tidak perlu lagi bayar uang sampah tiap bulan. Sampah cukup ditimbun dalam galian tanah juglangan (bahasa jawa). Jika sudah penuh, buat galian lagi di sampingnya. Tidak perlu bayar PDAM karena di desa air melimpah. Kalau benar-benar tidak ada uang belanja, pepaya muda dari tetangga bisa diolah menjadi lauk yang lezat. Daun kelor, cabe, talas, nangka muda, hampir tidak pernah beli.
Pastinya, nikmat tak terkira yang kami rasakan adalah ketika Allah memberikan kemudahan jalan dakwah. Salah satunya adalah dipertemukan dengan orang-orang yang awalnya tidak kukenal, kini seperti saudara.
Ya … ini adalah nikmat Allah yang tidak terhitung, yang sering diabaikan manusia. Semestinya, keyakinan tertancap dalam kalbu, bahwa jika kita menolong agama Allah, maka Allah akan menolong dan meneguhkan kehidupan kita.
Dengan keyakinan bahwa di mana kita lahir, hidup, dan mati semua ada di bumi Allah, maka sudah sepatutnya pengemban dakwah siap berdakwah di mana pun berada. Kami menerima setiap ujian dengan lapang dada, kreatif membuat uslub cantik hingga dakwah mudah diterima orang, tidak mati gaya jika menghadapi hambatan.
Ujian yang kuhadapi tidak sebanding dengan ujian para nabi maupun salafus saleh. Rasulullah, saat berdakwah pernah dilempari batu, kotoran, difitnah sebagai tukang sihir, bahkan keluarga bani Hasyim diboikot selama tiga tahun oleh kafir Quraisy, hingga Beliau dan para sahabat harus makan daun kering agar bisa bertahan hidup.
Sedangkan aku, hanya kehilangan rumah, tetapi masih ada rumah orang tua yang bisa ditempati. Tidak ada sumber ekonomi bulanan dari suami, tetapi ada semangat berusaha yang tidak pernah mati.
Kini, orang mengenalku sebagai guru ngaji. Akan tetapi, tak cukup sampai di sini mengenalkan Islam kepada mereka. Masih banyak PR yang harus kulakukan. Salah satunya adalah memahamkan tentang Islam kaffah, yaitu Islam yang tidak sekadar membaca Qur'an dengan baik dan benar, tetapi sekaligus memahami dan mengamalkannya.
Ibarat dua sisi mata uang, Islam harus diambil sebagai akidah dan syariat. Pun Islam demikian sempurna mengatur seluruh problem manusia, baik menyangkut hubungan manusia dengan Sang Khalik, hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dan hubungan manusia dengan manusia yang lain.
Maka, haruslah Islam diambil secara keseluruhan sebagaimana Firman-Nya dalam Surat Al-Baqarah:208 yang artinya,
"Wahai orang-orang yang beriman masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kalian mengikuti langkah setan. Sesungguhnya ia adalah musuh yang nyata bagimu."
Ayat ini sering aku bacakan di hadapan ibu-ibu untuk menggugah keimanan, membangkitkan ghirah untuk ikut bersama berjuang agar kehidupan Islam berlangsung kembali. Semoga salah satu di antara mereka turut bersamaku menapaki jalan dakwah. Aamiin
Wallahu a'lam bishawab[]