"Naskah pemenang pertama Challenge ke-4 NarasiPost.Com dalam rubrik Traveling "
Oleh: Dewi Murni
NarasiPost.Com-Dulu aku pernah bertanya, akankah aku naik pesawat? Tapi ke mana? Pertanyaan itu menyelinap begitu saja di tengah-tengah aktivitasku. Sedikit menyesakkan ketika kuberusaha mencari jawabannya. Sebab aku merasa tidak punya kemungkinan apa pun yang membawaku pada takdir itu. Tapi aku salah. Aku lupa bahwa di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin, kecuali Allah itu makhluk.
Senin, 28 Januari 2019. Musim hujan. Pertanyaan itu menjadi nyata tanpa disangka-sangka. Untuk pertama kalinya aku naik pesawat. Aku akan terbang melintasi langit menuju Sulawesi Selatan. Keberangkatan terjadwal bakda isya di Bandar Udara Internasional Sultan Aji Muhammad Sulaiman, Balikpapan. Dengan perasaan senang, bahagia dan terharu aku memasuki badan pesawat. Duduk dekat jendela sesuai keinginanku. Ketika pesawat lepas landas, lampu kabin dimatikan. Ruang kabin diselimuti kegelapan, sunyi dan dingin. Dalam kegelapan, aku menundukkan kepala dan berdoa. Air mataku jatuh. Betapa mensyukuri kesempatan menjelajah yang Allah berikan, setelah sempat aku mendustakan kemungkinan itu. Terima kasih ya, Allah.
Perjalanan pesawat dari Balikpapan menuju Makassar memakan waktu 65 menit. Saat pesawat berada di langit Makassar, terlihat hamparan bumi di bawah sana yang gelap penuh kerlap-kerlip lampu. Aku seperti melihat hamparan bintang yang turun menyemuti tanah Makassar. Indah. Indah sekali. Tentu saja aku tidak akan menyia-nyiakan pemandangan ini dengan mengabadikannya lewat kamera ponselku.
Pesawat mendarat. Roda-rodanya menyentuh landasan dengan bunyi gedebuk. Mesin-mesin meredam daya tolaknya dan pesawat melambat. Alhamdulillah, aku tiba di Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar. Setelah semua urusan di bandara selesai, aku keluar mencari sosok gadis yang akan membawaku menjelajah indahnya Sulawesi Selatan. Gadis yang baru kukenal setahunan. Kami bertemu di sosial media, akrab lalu bersahabat. Dialah yang mengajakku datang ke rumahnya di Sulawesi Selatan. Kemudian aku berjanji akan datang ke sana.
Berawal dari janji itulah aku berazam kuat-kuat untuk menabung dan merayu izin orang tua. Sempat khawatir apalagi kami hanya kenal di sosial media dan aku tidak memiliki sanak keluarga di sana. Namun yang membuatku tenang adalah gadis itu sosok salehah yang mengazamkan dirinya untuk menjadi pejuang Islam. Insya Allah bersamanya aku aman. Tak butuh waktu lama, mataku langsung bertemu mata gadis itu yang berseri-seri dari kejauhan. Air mataku ingin tumpah saat aku cepat-cepat menghampirinya, memeluknya, melepas kerinduan ukhuwah. Inilah pertemuan pertama kami di dunia nyata.
Kota Makassar termasuk kota religius. Hari pertama, aku mengunjungi beberapa masjid. Seperti masjid 99 Kubah yang bangunannya berbentuk menyerupai segitiga. Seperti namanya, masjid itu memang memiliki 99 kubah yang diambil dari filosofi asmaul husna. Masjid itu berdiri megah di tepi Pantai Losari. Sayangnya, saat itu masjid 99 Kubah belum boleh dikunjungi karena masih tahap pembangunan. Akhirnya sesi berfoto diambil dari kejahuan, dari pantai Losari. Meski begitu, hasil fotonya tetap cantik karena warna masjid itu dominan cerah yakni oranye, merah dan kuning. Saking megah dan mencoloknya, dari kejahuan saja masjid 99 Kubah sudah mampu mengalihkan perhatian mata.
Selanjutnya aku ke Pantai Losari, sebuah destinasi wajib dikunjungi kalau ke Makassar. Pantai ini tidak memiliki hamparan pasir putih. Ia disekat tembok dinding yang memisahkan antara air laut dan darat. Bila cuaca cerah, kita bisa melihat matahari terbenam di ufuk barat dan menyemburkan cahaya merah ke berbagai sisi Pantai Losari. Namun, sore itu mendung.
Tidak terasa azan magrib berkumandang. Masih di Pantai Losari, terdapat masjid terapung yang bentuknya unik. Seperti rumah panggung tradisonal Makassar dan Bugis. Untuk memasuki kawasan masjid, tersedia jembatan memanjang ke tengah laut tempat masjid itu berdiri. Masjid Amirul Mukminin namanya. Di situlah kutunaikan kewajibanku kepada Sang Ilahi untuk salat magrib.
Aku bersyukur tinggal di Indonesia yang penduduknya mayoritas muslim. Betapa mudahnya menemukan masjid, tempat seorang hamba bersujud kepada Tuhan Semesta Alam. Masjid-masjid kiat dibangun walaupun PR memakmurkan masjid belum tuntas. Di lain hal aku berharap semoga giatnya pembangunan masjid adalah persiapan untuk menyambut datangnya peradaban Islam yang sebentar lagi tiba.
Besoknya aku menuju Sinjai Barat. Khususnya daerah Magala desa Bonto Salama yang merupakan kampung halaman sahabatku. Sekitar 3 jam dari kota Makassar. Daerah yang dikelilingi gunung itu memiliki kepercayaan bahwa orang yang sekali ke sana suatu saat nanti pasti akan kembali lagi.
Naik turun gunung kami lalui selama perjalanan menggunakan sepeda motor. Selama itu pula aku tak henti-hentinya takjub atas keindahan alam yang tak kudapat di Balikpapan. Tingginya gunung, hamparan sawah, air terjun, kabut awan dan pemukiman desa yang tenang. Sesekali kami berhenti mampir untuk berfoto menikmati indahnya alam ciptaan Allah yang tidak mungkin dibuat oleh manusia. Pantas saja untuk mengimani Allah tidak butuh mengindera Zatnya. Tapi cukup mengalihkan perhatian terhadap ciptaan-Nya berupa alam semesta, manusia dan kehidupan. Manusia mana yang bisa menegakkan langit tanpa tiang. Manusia mana yang bisa meninggikan gunung. Maha Besar Allah dengan segala kuasa-Nya.
Penduduk di desa Bonto Salama hidup sederhana. Mereka hidup dari hasil bertani. Suatu ketika aku ingin ikut ibu sahabatku pergi ke sawah. Aku dilarang lantaran jaraknya yang jauh dan terjal. Khawatir nanti malah sakit. Tapi aku tetap kekeh dengan keinginanku. Pikirku kapan lagi bisa main ke sawah, Balikpapan gak ada sawah. Benar saja, perjalanannya memang jauh dan terjal menuruni gunung. Kalau tidak ekstra hati-hati bisa terkilir. Betapa bahagianya ketika sampai di sawah yang berdekatan dengan sungai. Mencabut bibit padi dan berenang-renang di sungai, pengalaman yang tidak akan terlupa. Perjalanan pulang ternyata lebih berat karena harus menaiki gunung. Aku sempat kehabisan nafas dan memutuskan beristirahat sejenak di tengah jalan. Lagi-lagi benar, esoknya aku sakit. Alhamdulillah ala kulli hal.
Tiga malam di desa Bonto Salama masih sangat kurang bagiku. Kini sudah waktunya aku pulang ke Balikpapan. Amanah dakwah, pekerjaan dan bakti pada orang tua sudah menanti. Berat sekali rasanya. Masih banyak keindahan Sulawasi Selatan yang belum kujumpai. Dalam perjalanan pulang ke Makassar, kami mampir ke wisata Hutan Pinus dan monumen di Malino. Jejeran pohon pinus menjulang tinggi menyegarkan mata. Di sana kami menyewa kuda untuk berkeliling walau hanya sebentar. Pada zaman Belanda, Malino merupakan tempat peristirahatan bagi pegawai pemerintah.
Sulawesi Selatan, terima kasih sudah membuatku semakin yakin tentang adanya pencipta. Menambah kejelasan tentang lemahnya sosok manusia. Bila melihat keindahan alammu saja sudah membuatku terkagum-kagum tanpa bisa berkata-kata kecuali memuji-Nya. Lalu, bagaimanakah jika kumelihat surga? apakah aku sudah layak memasukinya?[]
Photo : Koleksi Pribadi