"Pemenang ketiga naskah Challenge ke-4 NarasiPost.Com dalam rubrik Story "
Oleh: Vidya Spaey Putri Ayuningtyas, S.T., MaHS, IAI
NarasiPost.Com-Sepertinya, menjalani profesi sebagai arsitek, perencana, dan peneliti perumahan selama 24 tahun adalah misi yang Allah berikan untuk saya. Dalam buku Negeri 5 Menara dituliskan bahwa misi hidup kemungkinan adalah ketika kita melakukan suatu hal positif dengan kualitas sangat tinggi dan menikmati prosesnya serta merasa baik melakukan hal tersebut.
Di tahun pertama berkarir, saya menyelesaikan perumahan setinggi 19 lantai di Jakarta untuk mengatasi housing backlog atau kekurangan jumlah rumah. Rumah susun sederhana milik (rusunami) dibangun dengan subsidi dari pemerintah bekerjasama dengan swasta dan pengusaha. Rusunami yang ditujukan bagi keluarga menengah ke bawah di beberapa kota besar dan padat di Indonesia, ternyata belum mampu dijangkau kalangan bawah, tetapi justru banyak dibeli sebagai investasi bagi kalangan atas.
Melalui pengkajian dan penelitian ulang ditemukan beberapa penyebab, antara lain karena kemampuan mayoritas masyarakat di kota besar adalah menyewa. Lebih dari itu, sistem dan persyaratan pembelian secara langsung atau angsuran menyulitkan bagi kalangan yang tidak memiliki pendapatan tetap dan tercatat setiap bulan. Harga unit apartemen menjadi tinggi karena adanya keuntungan yang diharapkan oleh swasta dari penjualan unit dan bunga bank jika melakukan metode pembelian secara kredit.
Pada tahun 2010, sebagai anak perempuan pertama yang tidak dapat bergantung pada keluarga, masyarakat atau negara, saya hijrah ke Singapura dan merancang ribuan unit rumah di kota-kota besar untuk menyelamatkan satu rumah milik kedua orang tua di kota kelahiran, Surakarta.
Menggunakan rumah sebagai jaminan untuk mendapatkan modal usaha, sering dilakukan oleh kebanyakan masyarakat Indonesia. Krisis ekonomi dunia menghantam bisnis milik orang tua; menyebabkan ketidakmampuan membayar angsuran beserta bunga. Rumah tinggal pun hampir disita oleh bank.
Singapura memiliki luas wilayah relatif kecil. Hunian vertikal dengan berbagai tipe adalah pilihan yang dimiliki oleh pemerintah untuk menyelesaikan perumahan rakyat. Di tahun yang sama, saya juga merancang 3 perumahan superblock di 3 lokasi berbeda di China.
Merancang perumahan di negara asing, memiliki tantangan yang berbeda-beda karena kondisi alam, ekonomi, politik, sosial, budaya, pertahanan-keamanan, dan sebagainya. Membaca peraturan yang tertulis dan berdiskusi dengan warga adalah cara tercepat memahami situasi dan kondisi.
“Apa perbedaan perumahan di China pada masa komunisme, transisi, dan kapitalisme?”
Itu adalah satu dari banyak pertanyaan saya pada beberapa teman yang berkewarganegaraan dan tinggal di China yang jawabannya cukup mengejutkan saya.
Tantangan merancang perumahan di India, Istanbul, Qatar dan Dubai dan negara lainnya berdatangan, dari peraturan yang ditulis dengan bahasa dan karakter tulisan Cina, Arab dan Inggris, hingga temperatur yang sangat dingin dan bersalju serta sangat panas dan padang pasir.
Kebingungan atas keragaman peraturan dan strategi di setiap negara dan ketakjuban atas keragaman alam yang diciptakan oleh Allah mengisi penuh kehidupan saya.
Inspirasi dan depresi dari perancangan perumahan mendorong saya menimba ilmu dan meneliti di Kampus KU LEUVEN, di kota kecil Leuven, Belgia.
Berbeda dengan kampus lain yang lebih memfokuskan perumahan sebagai investasi properti, KU LEUVEN merupakan kampus yang menitikberatkan pada perumahan rakyat.
Berada di benua Eropa, menggerakan saya berkunjung dan melihat kebijakan perumahan di beberapa kota di Perancis, Italia, Jerman, Wina, Republik Ceko, Portugis, Spanyol, Belanda, Skandinavia (Denmark, Swedia, dan Norwegia), hingga ke Afrika Selatan. Saya mengikuti perkuliahan dari beberapa profesor, serta membaca buku dan jurnal di beberapa perpusatakaan dan universitas di berbagai negara di Eropa.
Studi Magister ini seperti sebuah perjalanan yang mengantar saya, tetapi belum sampai titik akhir pencarian akar masalah dan solusi perumahan. Namun, bukan berarti tidak mendapatkan apa pun. Saya mendapati wawasan dan pertimbangan saya semakin luas.
Kepemilikan; kerjasama dan dukungan antar institusi; kondisi masyarakat dan alam; standar dan persyaratan dasar; pengadaan dan penyaluran dan masih banyak lagi membuat saya dan para profesor, peneliti dan praktisi bingung dan terus bertanya hingga saat ini.
Setelah lulus dari kuliah S2, saya mengajak kedua orang tua umrah. Dari belasan hari beribadah di masjid, di suatu sore setelah salat Asar berjamaah di masjid Nabawi, saya berkesempatan menengok miniatur rumah Rasulullah di sebuah museum di Medinah. Nabi Muhammad saw. yang begitu agung dengan peran yang besar tinggal di rumah yang sederhana.
Atas izin Allah, jurnal perjalanan saya sampai di meja kerja di kantor perencanaan dan penelitian milik pemerintah California di Sacramento, USA dan di beberapa kota, serta states dari Washington DC di East Coast hingga ke California di West Coast (Los Angeles, San Francisco), dan seterusnya.
Perjalanan ini mengizinkan saya melihat masa depan dari pusatnya, yaitu negara-negara kapitalisme secara langsung. Di balik keindahan kota dan infrastruktur jalan, terdapat banyak orang tinggal dan tidur di jalanan. Peningkatan ekonomi diikuti dengan peningkatan jumlah gelandangan.
Dari hasil diskusi panel dengan seorang professor di Stanford, pembuat kebijakan, pemerintah, dan gelandangan di beberapa kota di California, penyebab utamanya adalah ketidakmampuan sebagian masyarakat untuk mengikuti kemajuan ekonomi yang sangat pesat, kesenjangan ekonomi yang tinggi, ketergantungan terhadap obat terlarang, korban bencana alam, pemecatan karena krisis, kebangkrutan dan gila.
Hal yang paling menyedihkan adalah persepsi yang salah dari beberapa oknum pemerintahan dan pemimpin kapitalis tentang fakir dan miskin. Dari social-housing sampai inovasi sosial sudah banyak diupayakan oleh pemerintah, NGO, dan banyak aktor lainnya seperti swasta, institusi pendidikan serta individu, tetapi belum mampu menuntaskan isu gelandangan.
Melalui sebuah kajian rutin, saya mendapati bahwa muara dari pencarian dan perantauan ada di dalam Al Qur'an dan Al Hadis sebagai sumber hukum Islam dan pedoman hidup yang nyata. Saya mendapati bahwa akar masalah dari peningkatan kesenjangan, kemiskinan dan gelandangan adalah kapitalisme. Hal ini sejalan dengan jawaban teman tentang perumahan di China.
“Di era komunisme, semua rakyat memiliki rumah, tetapi tidak memiliki kebebasan untuk berekspresi, sedangkan di era kapitalisme, rakyat yang kaya memiliki kebebasan berekspresi atas rumahnya, tetapi sebagian besar menjadi gelandangan.”
Demikian jawaban teman tentang perumahan rakyat di masa transisi di China.
Berbeda dengan kapitalisme dan komunisme, Islam adalah agama yang mengajarkan ideologi dan sistem ekonomi yang sesuai dengan fitrah dan akal manusia. Islam memberi kebebasan dan mengatur kepemilikan individu yang dibatasi hukum syariah (wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram) agar tercipta kehidupan yang harmonis. Pos-pos keuangan (sedekah, zakat dan wakaf) dikelola untuk kemakmuran dan kesejahteraan bersama.
Negara berperan membangun individu yang baik, masyarakat yang memegang kontrol sosial, dan mengurus kepentingan umat, serta melaksanakan dan melindungi penerapan syariah. Kesenjangan, kemiskinan, dan gelandangan dapat diselesaikan dengan baik dengan kepemimpinan yang memenggang hukum dan asas dalam Islam.[]
Alhamdulillah ala kulli hal.
Tulisannya bagus karena luasnya pengetahuan dan panjangnya pengalaman....Menulis menjadi semakin mudah karena terbiasa mengamati lingkungan dan berpikir kritis.
Terimakasih atas sharing ilmu dan pengalamannya.