Merdeka tapi Terjajah

"Salah satu naskah Challenge ke-4 NarasiPost.Com dalam rubrik Opini "

Oleh : Sartinah
(Pemerhati Masalah Publik)

NarasiPost.Com-Agustus menjadi bulan spesial bagi negeri ini. Pasalnya, kemerdekaan yang susah payah diraih dengan cucuran darah para syuhada, diproklamisasikan pada bulan Agustus. Tak heran setiap jelang kemerdekaan, pernak-pernik tujuh belasan menghiasi nyaris di setiap sudut negeri ini. Kini, 76 tahun sudah Indonesia merdeka. Selama 76 tahun pula, bangsa ini meyakini telah terbebas dari penjajahan. Namun, harus diingat, tidak ada yang akan memahami hakikat kemerdekaan, jika tidak memahami arti penjajahan.

Makna kemerdekaan bagi bangsa Indonesia sendiri adalah bebas dari penjajahan dan bisa menentukan nasib negerinya sendiri. Artinya, ketika negeri ini mendeklarasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, berarti Indonesia memutuskan untuk membangun negeri ini sendiri tanpa campur tangan negara lain, termasuk mandiri dalam membuat undang-undang maupun kebijakan lainnya.

Sayangnya, euforia kemerdekaan tak lagi mewarnai negeri ini selama dua tahun terakhir. Hal ini disebabkan karena pandemi Covid-19 masih belum melandai. Di usia 76 tahun kali ini, pemerintah mengusung tema 'Indonesia Tangguh Indonesia Tumbuh'. Yang bermakna, Indonesia tangguh menghadapi berbagai krisis yang menempa. Sebagaimana dikemukakan oleh Kepala Sekretariat Presiden Heru Budi Hartono. (detiknews.com, 17/6/2021)

Fisik Merdeka, Tanah Terjajah

Kemerdekaan merupakan cita-cita luhur negeri ini. Namun sayang seribu sayang, cita-cita luhur kemerdekaan ternyata hanya tertuang dalam seremonial, tak tampak secara faktual. Tampaknya bangsa dan penguasa negeri ini hanya terfokus pada pekik kemerdekaan. Namun, tak memahami hakikat penjajahan. Padahal telah nyata di depan mata, jika seluruh sektor di negeri ini telah terkungkung dalam penjajahan, baik di sektor ekonomi, politik, pendidikan, budaya, bahkan pertahanannya.

Pada akhirnya semua intervensi asing di negeri ini tak dianggap sebagai penjajahan. Baik yang berbentuk kerja sama, investasi, utang, hibah, maupun intervensi dalam pembuatan undang-undang. Semuanya justru dianggap 'simbiosis mutualisme'. Hubungan yang saling menguntungkan antara bangsa ini dengan asing. Padahal hubungan semacam ini sama sekali tidak menguntungkan Indonesia. Justru para penjajahlah yang sejatinya diuntungkan. Alhasil, jadilah negeri ini terjajah, tetapi tak merasa dijajah.

Karena itu, tak lengkap rasanya jika hanya memahami arti kemerdekaan tanpa tahu hakikat panjajahan. Dikutip dari Wikipedia, penjajahan atau kolonialisme adalah suatu sistem di mana suatu negara menguasai rakyat dan sumber daya negara lain, tetapi masih tetap berhubungan baik dengan negara asal. Bukankah hal ini sejalan dengan kondisi yang dialami bangsa ini?

Sementara itu, suatu negara dikatakan terjajah jika terdapat beberapa kriteria di dalamnya. Pertama, negeri tersebut dijadikan sebagai sumber bahan baku murah oleh negara-negara kapitalis yang menjajahnya. Kedua, negeri tersebut dijadikan sebagai pasar yang menjual produk-produk hasil industri negara penjajah. Ketiga, negeri tersebut dijadikan sebagai tempat mencari rente dengan memutarkan kelebihan kapital mereka.

Lagi-lagi, kondisi ini pun sesuai dengan apa yang kini dialami Indonesia. Lihatlah bagaimana kekayaan alam yang melimpah ruah, tetapi dijual murah kepada negara asing. Sementara rakyat sendiri harus membeli dari negara dengan harga mahal. Rakyat pun harus berjibaku memenuhi tuntutan perut yang tak gratis. Tak hanya itu, untuk memenuhi kebutuhan industri negara kapitalis, bahan baku dan bahan mentahnya pun dipasok dari sumber daya alam negeri ini.

Penjajahan terasa kian sempurna dengan dikuasainya pasar domestik oleh produk dari negara kapitalis, baik berupa produk industri, elektronik, dan produk-produk lainnya. Namun, yang lebih membuat terenyuh, meski negeri ini nyaris dijajah dari seluruh sektor, para penguasanya tetap bergandengan tangan dengan penjajah layaknya teman karib.

Lihat saja, betapa kuatnya dominasi Cina atas negeri ini. Selalu berlindung di balik istilah kerja sama bilateral, padahal hakikatnya adalah penjajahan. Baru-baru ini Indonesia dan Cina bahkan membentuk mekanisme kerja sama tingkat tinggi. Kerja sama tersebut difokuskan pada sektor perdagangan, politik, investasi, maritim, pertukaran antarmanusia dan budaya, anti-epidemi, dan kesehatan masyarakat.

Indonesia dan Cina juga tengah mengebut penyelesaian proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung dan Taman Kembar Dua Negara. Tak hanya itu, Cina juga menjadi mitra dagang terbesar bagi Indonesia selama sepuluh tahun terakhir. Serta menjadi sumber investasi terbesar ke-2 di Indonesia. Tak heran, ketergantungan negeri ini terhadap Cina seolah tak bisa dihentikan.

Kapitalisme Mengokohkan Penjajahan

Sejatinya, penjajahan dari masa ke masa tetaplah menyengsarakan, meski berbeda cara. Sebut saja penjajahan awal atas negeri ini yang berupa kolonialisme, yakni penjajahan dengan melakukan ekspansi fisik. Kini, penjajahan pun telah bertransformasi menjadi penjajahan gaya baru atau neoimperialisme, yakni penjajahan ekonomi, politik, dan pemikiran. Penguasaan sumber daya alam oleh asing, investasi, maupun intervensi asing secara struktural adalah bagian dari penjajahan gaya baru.

Penjajahan yang mencengkeram negeri ini sejatinya lahir dari rahim kapitalisme. Meski tak semua rakyat mengerti arti penjajahan, tetapi rakyatlah yang paling menderita akibat penjajahan. Lihatlah, jutaan rakyat harus menderita kelaparan, juga kesulitan mengakses pendidikan dan kesehatan yang layak. Sementara ratusan juta lainnya terkungkung dalam kemiskinan akut. Selama dominasi kapitalisme masih kuat mencengkeram negeri ini, selama itu pula penjajahan akan tetap ada meski dengan berbagai transformasinya.

Islam Wujudkan Kemerdekaan Hakiki

Islam diturunkan untuk membebaskan manusia dari zaman kejahiliahan menuju gemerlapnya cahaya. Islam juga memiliki misi mulia untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk penjajahan. Karena itu, sudah saatnya bangsa ini membuka mata dan pikiran agar terlepas dari penjajahan, baik penjajahan fisik, ekonomi, politik, maupun penjajahan pemikiran. Kemudian bersiap mewujudkan kemerdekaan hakiki.

Kemerdekaan hakiki sendiri adalah hilangnya penghambaan kepada sesama manusia, menuju penghambaan kepada Allah Swt. Kemerdekaan yang membuat negeri ini tidak lagi dikekang dan dikendalikan oleh pihak lain atau manusia lainnya. Kemerdekaan yang juga akan menjadikan bangsa ini bebas mengambil keputusan dan tindakan sendiri tanpa didikte bangsa lain. Juga kemerdekaan atas kepemilikan sumber daya alam secara mandiri, yang sepenuhnya digunakan untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat.

Misi kemerdekaan seperti ini hanya mungkin diwujudkan dengan mencampakkan sistem kapitalisme dan menggantinya dengan sistem Islam. Kemudian menerapkan syariahnya dalam seluruh sendi kehidupan. Sebab, Islam memang diturunkan kepada manusia untuk menjadi rahmat, bukan justru sebaliknya. Juga untuk mengeluarkan manusia dari segala bentuk penghambaan, termasuk penghambaan kepada hukum buatan manusia. Sebab, berada di bawah kekuasaan hukum manusia hakikatnya juga termasuk penjajahan.

Sudah selayaknya manusia kembali pada jadi diri yang sesungguhnya, yakni menjadi hamba Allah Swt. dan hanya menyembah pada Sang Pemilik Hidup. Serta mengembalikan hak pembuatan hukum hanya kepada Allah Swt. dan mengembalikan kedaulatan pada syariah. Inilah kemerdekaan hakiki yang akan membebaskan manusia dari derita tak bertepi akibat penjajahan.

Allah Swt. berfirman dalam Surat al-Fatihah ayat 5 yang artinya: "Hanya kepada-Mu kami menghambakan diri dan hanya Kepada-Mu kami meminta pertolongan."
Wallahu 'alam bishshawab[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Penulis Rempaka literasiku
Sartinah Seorang penulis yang bergabung di Tim Penulis Inti NarasiPost.Com dan sering memenangkan berbagai challenge bergengi yang diselenggarakan oleh NarasiPost.Com. Penulis buku solo Rempaka Literasiku dan beberapa buku Antologi dari NarasiPost Media Publisher
Previous
Islam, Mengembalikan Pemberdayaan Hakiki Pemuda Muslim
Next
Ancaman bagi Para Pencari Ilmu
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram