"Salah satu naskah Challenge ke-4 NarasiPost.Com dalam rubrik Opini "
Oleh: Bayu Muhardianto, S.Sos.
(Alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
NarasiPost.Com-“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
-Pembukaan UUD 1945-
Hegemoni perayaan kemerdekaan Republik Indonesia masih kuat terasa sampai saat ini. Momen di mana perjuangan bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan dari tangan penjajah selalu menjadi pengingat akan besarnya perjuangan di masa lalu yang diusahakan terus dirawat dan ditumbuhkan pada setiap jiwa masyarakat Indonesia. Sebuah perjuangan yang dalam prosesnya memiliki nilai-nilai penting sehingga kemerdekaan bukan hanya sekadar kata tanpa makna.
Perjuangan panjang pra-kemerdekaan yang penuh dengan kesulitan, bahkan tak jarang darah berjatuhan, memunculkan satu rasa-satu asa agar kesulitan yang dialami dapat berakhir. Pengalaman buruk selama masa penjajahan, dimana pengekangan sangat terasa oleh penguasa inilah yang sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai kemanusiaan. Dari kondisi tersebut muncul cita-cita besar agar kemerdekaan bisa diraih agar tidak ada lagi penindasan yang tidak mengindahkan nilai-nilai kemanuasiaan.
Aspek keagamaan yang sangat melekat pada Indonesia khususnya agama Islam juga sangat berkaitan erat dengan pembahasan soal kemerdekaan. Selain peran penting sejumlah tokoh agama Islam dalam usaha mencapai kemerdekaan, aspek pelajaran atau nilai-nilai Islam akan bersinggungan dengan kemerdekaan. Apa saja kaitannya Islam dengan kemerdekaan? Bagaimana hakikat kemerdekaan dalam pandangan Islam?
Kemerdekaan sebagai Sesuatu yang Esensial Bagi Seorang Muslim
Secara pemaknaan dasar, mungkin terdengar aneh rasanya kemerdekaan suatu negara dikaitkan dengan aspek keagamaan. Namun, dalam kenyataannya hal ini sangat penting bagi seorang yang beragama, terlebih beriman pada Allah Swt. Hal ini berkaitan dengan regulasi penguasa, dalam hal ini penjajah yang tentu memiliki banyak kepentingan.
Tentu sebagai bangsa yang menghargai jasa pahlawan akan ingat kisah ikonik KH.Hasyim Asy’ari menolak Seikerei, semacam ritual penyembahan dan penghormatan kepada Kaisar Jepang dan Dewa Matahari. Akhirnya mereka pun mendapat “hadiah” berupa hukuman dari penjajah Jepang karena menolak hal tersebut. Kisah serupa juga dilakukan Haji Rasul, seorang ulama pembaharu Islam di tanah Minangkabau yang juga ayah dari seroang ulama besar, yakni Buya Hamka. Tentu masih banyak hal sejenis yang dilakukan oleh para pendahulu bangsa ini.
Pertanyaan sederhana pun muncul, mengapa mereka berani melakukan hal demikian? Bukankah melakukan Seikerei hanya sekadar menundukan diri saja? Bukankah dengan melakukan Seikerei mereka akan lebih terjamin keselamatannya? Bukankah ketika mereka melakukan Seikerei tidak ada lagi ancaman penjara atau tembakan bedil dari penjajah? Dan dengan kapasistas mereka sebagai tokoh masyarakat, bukankah jika mengikuti kehendak penjajah mereka akan mendapat tempat spesial?
Jika melakukan Seikerei, mereka akan mendapat keamanan dan jaminan dari penjajah. Ya, mereka akan mendapat keselamatan dari ancaman hukuman mati atau sejenisnya. Ya, mereka akan mendapat jaminan posisi yang baik saat melakukan apa yang penjajah mau, tapi hakikatnya itu sama saja melepaskan harga diri untuk diinjak oleh penjajah!
Melakukan Seikerei sebagai bentuk penghormatan dan penyembahan kepada sesuatu yang dipercayai penjajah (Jepang) sebagai Something Holy and Sacred sama saja melanggar esensi atau sari inti dari konsep pondasi keimanan, yakni tauhid. Hal ini sebagaimana dengan yang Yunahar Ilyas (2020) sebut bahwa esensi keimanan adalah tauhid, yakni mengesakan-Nya dalam zat, asma wa shiffat, dan af’al-Nya. Allah Swt berfirman:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Artinya: Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan."
(Al Fatihah: 5)
Mereka para pejuang dari kalangan tokoh Islam di Indonesia ingin menunjukan bahwa terlepas dari jaminan keselamatan dan kesenangan sesaat di bawah kekangan penjajah, terdapat jaminan keselamatan dan kesenangan abadi di bawah konsep kebebasan-kemerdekaan dari segala penindasan yang penjajah lakukan.
Dengan kemerdekaan dari segala macam kekangan yang dilakukan penjajah, umat Islam bisa tetap melakukan ibadah sebagai bentuk penyembahan hanya kepada Allah Swt, tanpa “syarat-syarat” atau “arahan” dari penjajah yang notabene tidak beriman kepada Allah Swt. Dengan penjelasan demikian, maka telah menjadi sesuatu yang mutlak kemerdekaan menjadi hal yang esensial bagi seorang muslim/muslimah agar keimanan dapat terjamin tanpa campur tangan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah Swt.
Seikerei hanya salah satu contoh “campur tangan” penjajah dalam pendangkalan akidah dan pengikisan keimanan orang-orang beriman, masih banyak lagi hal lain yang serupa. Tokoh-tokoh yang disebutkan di awal tadi menolak kemauan atau perintah penjajah untuk menunjukan bahwa kebebasan atau kemerdekaan menjadi pemicu semangat perjuangan m+-lawan penjajah agar aspek keimanan orang-orang beriman bisa terus terjaga.
Kemerdekaan Bukan Sekadar Lepas dari Penjajah
Setelah kita insaf dan paham mengenai urgensi kemerdekaan negara dari tangan penjajah bagi umat Islam, apakah pemaknaan bebas dalam konteks merdeka menyembah dan beribadah kepada Allah Swt oleh umat Islam sudah selesai? Apakah jalan orang beriman dalam menyembah Allah Swt sudah benar-benar dilakukan dalam konteks kemerdekaan yang didapat lewat perjuangan melawan penjajah? Ternyata tidak!
Benar, tidak ada lagi invasi pasukan sebuah negara ke negara kita. Benar bahwa tidak ada lagi ancaman langsung pasukan penjajah kepada masyarakat kita. Dan benar saat ini tidak ada perintah langsung menyembah apa yang mereka sembah, tetapi saat ini kita menghadapi sesuatu yang pada hakikatnya tidak menyerang secara fisik dan tidak mengancam secara fisik, tetapi dengan perlahan kembali menjadikan kita sebagai orang-orang terjajah.
Indonesia telah menjadi negara merdeka, tetapi masih dijumpai bagaimana seorang yang mengaku muslim “terjajah” melakukan sesuatu yang bertolak belakang dengan apa yang oleh KH Hasyim Asy’ari atau Haji Rasul perjuangkan, yakni menyembah hanya kepada Allah Swt. Masih sering dijumpai orang yang mengaku sebagai muslim tetapi dalam praktiknya menghilangkan aspek-aspek ketauhdian. Sebut saja memercayai ramalan, pergi ke dukun, berdoa kepada benda, dan hal lain sejenisnya. Hal-hal seperti itu menunjukan bahwa hakikatnya jiwa masih dijajah dengan kepercayaan-kepercayaan yang salah dengan meyakini ada yang lebih memiliki kuasa selain Allah Swt. Merdeka bagi seorang muslim adalah ketika melepaskan segala bentuk penghambaan hanya kepada Allah Swt semata, sebagaimana KH. Hasyim Asy’ari, Haji Rasul, serta tokoh-tokoh lainnya yang melakukan hal serupa.
Belum lagi dari aspek kehidupan lainnya, yang mana kita khususnya sebagai seorang muslim masih dijajah dengan ideologi dan kebudayaan-kebudayaan asing yang pada hakikatnya bertolak dengan nilai agama dan nilai luhur bangsa. Betapa banyak para pemuda-pemudi Islam di Indonesia yang dengan sangat fanatik mengagumi orang-orang yang tidak beriman, bahkan tidak jarang ditemui mereka yang sudah melewati batas dengan sikap kekaguman tersebut.
Belum lagi soal cara berpakaian, cara bersosialisasi, cara perilaku bernegara, yang menunjukan bahwa hakikatnya kita masih dijajah oleh asing dengan produk-produk mereka (pakaian, pemikiran, gaya hidup, hiburan, dll). Sebagai negara kita sudah merdeka, tetapi secara menjalani kehidupan masih ada dan sangat melekat nilai-nilai “penjajahan” pada diri kita.
Di momen perayaan kemerdekaan Indonesia ini, mari sebagai muslim yang hanya menyembah kepada Allah Swt untuk bisa menginstrospeksi diri kembali mengenai nilai-nilai perjuangan pendiri bangsa ini (ulama). Tentang apa yang mereka perjuangkan dan pertahankan untuk mencapai suatu kemerdekaan yang hakiki kepada umat Islam di Indonesia. Sebagai seorang muslim di Indonesia, maka perlu juga kita meneguhkan diri sebagai bangsa yang tidak bergantung pada bangsa lain agar ancaman-ancaman di kemudian hari bisa dihindari.
Sebagai orang beriman, maka wajib mencintai tanah air dalam konteks yang Hamka (2015) sebut, yakni menjaga apa yang Allah Swt telah anugerahkan kepada bangsa Indonesia berbagai macam kenikmatan berupa keindahan alam, banyaknya sumberdaya alam, dan kelebihan lain yang dimiliki Indonesia dari kepentingan pihak-pihak luar yang ingin mengambil hal tersebut. Muslim cinta negara Indonesia. Merdeka![]