Goresan Cakrawala Senja

"Naskah pemenang kedua Challenge ke-4 NarasiPost.Com dalam rubrik "Story"

Oleh: Eno Wasiat

NarasiPost.Com-"Guk … guk … guk …." Anjing-anjing itu terus menyalak karena semua pintu masuk ruangan villa aku kunci. Kelima anjing milik bosku itu akhirnya pasrah dan menunggu di dekat kolam renang.

Aku baru saja selesai mengukur dan memotret semua ruangan di villa ini, lantai satu dan dua, termasuk balkon, semua jendela, dapur, toilet, dan kebun, dari pukul sebelas siang tadi hingga sekarang, pukul lima sore. Itulah aktivitasku bekerja di sebuah perusahaan interior disain. Walaupun sudah ada gambar denah dan tampak, tetapi kondisi di lapangan kadang jauh berbeda.

Matahari mulai merangkak perlahan menuju peraduan, dan aku belum menunaikan kewajiban.
Cepat-cepat aku berlari menuju balkon. Hanya tempat ini yang aman dari jangkauan anjing-anjing manis itu. Kukeluarkan baju ganti, sajadah, dan mukena. Itulah barang-barang yang wajib ada di rangselku selain meteran, alat tulis, air putih, dan cemilan.

Setelah bersuci dan ganti baju, langsung kugelar sajadah di bawah langit sore.

"Ampuni hamba, yaa, Rabb," doaku di akhir sujud. Kutatap sunset di lautan lepas sambil membereskan mukena dan sajadah.

Kurebahkan badan di kursi rotan yang baru saja dikirim tadi siang. Lampu-lampu di samping kanan kiri pagar balkon setinggi 60 cm menyala otomatis.

Kubaca kembali contract agreement terbaruku. Aku sudah bekerja selama lima tahun. Setiap tahun, kontrak kerjaku selalu diperbaharui.
Lembar demi lembar dalam bahasa Inggris kubaca dengan teliti dan hati-hati. Perjanjian kerja kali ini agak berbeda dengan sebelumnya, kebih banyak dan lebih detail. Beberapa poin tidak ada masalah. Namun, di lembar ke tujuh ada satu poin yang membuatku terkejut. Aku tidak boleh hamil selama project belum kelar. Artinya, selama tiga tahun ke depan, aku tidak boleh hamil.

"Ya Allah, padahal aku ingin sekali memiliki anak lagi. Tujuh tahun sudah aku menanti."

Batinku tidak terima rasanya. Teringat tausiah dari Ustazah Nisa beberapa hari yang lalu. Beliau menyampaikan bahwa Rasulullah menyukai umatnya yang memiliki banyak keturunan.

"Ya Allah, usiaku kini sudah mendekati kepala empat. Kapan lagi?" Batinku mencoba berdialog dengan-Nya.

Hari menjelang Magrib, belum juga ada tanda-tanda bosku datang. Perempuan yang masih single di usia 45 tahun itu memang sudah pernah menikah, tetapi memutuskan tidak memiliki anak. Padahal, dia suka sekali jika melihat anak kecil.

Karena aku datang ke proyek ini bersama dia, tidak ada pilihan selain menunggu. Statusku adalah asistennya. Jadi, harus mendampingi setiap ada pekerjaan. Sekarang dia masih meeting dengan pemilik villa di cafe pinggir pantai, pasti lupa waktu.

Tiba-tiba ada nada panggilan dari gawaiku. Muncul nama bosku di layar.

"Hallo," sapaku.

"Hi, sorry, Eno. You can kill me. But, I can't back now. Would you like to take my car and send all dogs to home, than you can take your bike over there?" kata bos memintaku membawa pulang semua anjingnya dengan mobil. Dan aku bisa pulang karena motorku aku taruh di rumah dia sebelum berangkat ke tempat ini. Kami memiliki beberapa kunci ganda untuk mempermudah pekerjaan, kunci mobil, kantor, dan rumahnya.

"Ok," jawabku.

"Thanks, Eno. And see you tomorrow at office. Take care, bye."

"Thanks, bye."

Akhirnya kuputuskan untuk salat Magrib dulu sebelum pulang. Karena waktu salat pasti sudah habis jika harus ke rumah bos dulu.

Usai salat Magrib, kupandangi lukisan cakrawala senja yang membentang di ujung samudera. Deburan ombak laksana bisikan-bisikan cinta yang membuatku makin merasa kecil di hadapan-Nya. Desir angin menyapu bulu kuduk. Aku takut, takut sekali.
Secepat kilat aku pergi meninggalkan villa megah itu sambil membawa lima penumpang yang tidak mau duduk diam.

'Menyalak saja, biar gaduh, aku tak peduli!"

Pukul sembilan malam, aku tiba di rumah. Setelah mandi, salat Isya, dan makan malam seadanya dengan suami, kami ngobrol di teras sambil menikmati eloknya Denpasar moon.

"Gimana, Ma, sudah dipertimbangkan lagi, mau terus kerja di kantormu?" tanya suamiku sambil menyesap kopi. Suamiku tahu, aku sangat mencintai pekerjaanku.

"Mama pengen berhenti, tapi sebulan lagi lebaran, ya, Pa. Sebentar lagi Ramadan!"

"Loh, apa hubungannya sama lebaran?" tanya suamiku lagi. Kali ini wajahnya serius. Aku jadi merasa bersalah karena suamiku masih bisa mencari nafkah.

"Gini saja deh, Pa. Papa yang mutusin, ya, please …. Apa pun yang Papa bilang, itulah keputusan akhir Mama."

"Beneran, nggak kecewa nanti?" tanya suamiku.

"Insyaallah enggak, Pa. Istri kan harus taat sama suami, nggak boleh membantah," jawabku sambil tersenyum semanis mungkin. Saking manisnya,  rembulan pun malu-malu mengintip dari balik malam. Cieee ….

*

Hangat mentari pagi menerobos melewati ranting dan bunga Jepun. Pagi ini aku berangkat ke kantor seperti biasa. Sepanjang perjalanan ke kantor, aku terus berdoa dan beristighfar, memohon rida-Nya.

Belum juga pintu kantor kubuka, terdengar nada pesan dari aplikasi hijauku, pesan singkat dari bos.

"Sorry, I am late. You can make quotation for big villa yesterday. Design and drawing. Thanks."

Aku masuk ke dalam kantor yang tidak terlalu besar itu, tetapi memiliki ruangan yang lengkap. Ada pantry dan toilet, bahkan ada lantai dua di dalam ruangan ini, tempat koleksi buku dan ruang kerja tambahan.

Kuhidupkan lampu dan AC di semua lantai. Biasanya, di kantor ini hanya ada aku dan bosku saja. Jadi, sekarang aku sendirian di kantor. Tukang kebun dan bersih-bersih datang dua hari sekali.

Kuletakkan bunga Lili segar dalam vas kaca di meja tamu, meja kayu dengan kaca rendah ukuran 100 x 100 x 30 cm. Sementara di ruang kerja dan toilet, aku rangkai bunga Sedap Malam dan Bird in Heaven yang cukup tahan lama. Sofa lebar warna hitam berbahan suede, semakin membuat kantor ini nyaman dan elegan. Semua pekerjaan kukerjakan dengan sebaik-baiknya.

Hari ini aku akan berpamitan dengan bosku, mumpung belum menandatangani kontrak kerja. Kutunggu hingga menjelang Asar, tak juga ada kabar. Kuhubungi lewat telpon kantor berkali-kali, tak ada respon. Pesan yang kukirim pun tak juga dibacanya. Kutelpon pegawai di rumahnya, katanya dari kemarin belum bangun, kebanyakan minum. Ya, dia memang alkoholik.
Pukul lima sore kuputuskan untuk pulang. Kejadian seperti ini sering kali berulang.

Hutan bakau sepanjang baypas menjadi teman perjalanan pulang. Lukisan cakrawala senja selalu membuatku jatuh cinta. Semakin kuat, semakin ingin mendekat untuk taat.

"Malam ini juga, aku akan bicara walaunpun lewat email."

*

Dua hari pesanku baru dibalas.
Kubaca respon yang cukup mengejutkan dari bosku.

Dia bilang bahwa sekarang teknologi sudah canggih. Aku bisa punya anak nanti kalau proyek sudah kelar semua. "Mau bikin dua, tiga, atau berapa anak?" imbuhnya.

Aku jawab, bahwa secanggih apa pun teknologi, jika Allah belum berkehendak, pasti tidak mungkin terjadi. Apalagi urusan hamil, butuh campur tangan-Nya.

Senyap, tak ada jawaban. Satu minggu, dua minggu, tak ada percakapan lagi, bahkan tentang pekerjaan sekalipun.

*

Sore itu, aku memaksakan diri bertemu dengan bosku. Menurut info dari pegawai di rumahnya, dia akan segera berangkat ke Singapura malam ini. Sepertinya dia sangat marah dan tak mau menemuiku.

OK. Aku terpaksa menyampaikan pesan lewat Pak Made, scurity di sana. Kutitipkan semua kunci. Ada kunci mobil, kantor, dan semua yang aku bawa termasuk gambar-gambar dan file-file proyek, sekaligus berpamitan dengan penjaga yang ramah itu.

Segera kupacu kuda besiku secepat mungkin. Hari ini Ramadan malam ke-21. Aku sudah berjanji dengan suami untuk beri'tikaf di masjid malam nanti. Kususuri jalan yang meninggalkan banyak kenangan, mencoba melepas, ikhlas.
Kulupakan gaji, pesangon, bahkan THR. Indahnya cakrawala sore ini membalutku dalam kedamaian dan ketenangan.

*

Dalam sujud panjang aku memohon ampunan. Allah Mahatahu semua yang ada di relung hatiku, tak ada rahasia. Bulir-bulir bening meluncur deras, merangkai sunyi di sudut rumah-Nya.

"Yaa Allah, pantaskanlah kami menerima semua ketetapan-Mu. Aamiin …."

Kuakhiri doa panjangku sambil membayangkan seorang anak saleh. Namun, tak mampu kuucapkan.

*

Satu bulan telah berlalu.

"Ayo, Ma!" kata Bude Mia dan Mama Kevin menyemangatiku. Dua sahabat ngajiku itu selalu ada setiap kami pergi berolah raga. Kali ini aku tertinggal di belakang mereka. Biasanya tiga putaran, kali ini baru satu putaran, aku sudah ngos-ngosan.

"Aduh, aku kok sudah capek banget, ya," jawabku sambil meluruskan kaki di dekat penjual lumpia.

Melihat ibu penjual lumpia, cacing di perutku pun berteriak minta haknya.
Kami pun sama-sama menikmati lumpia taoco pagi itu. Dua porsi sudah aku habiskan. Rasanya masih kurang, aneh sekali.

"Wah, lapar banget ya, Ma? Jangan - jangan isi, nih …," seloroh Mama Kevin.

"Ayo tes, atau USG sekalian," timpal Bude Mia.

"Iya, nanti aku tes," jawabku agak malas.

Karena penasaran, malam itu juga aku langsung ke dokter kandungan diantar suami. Dan alhamdulillah … Allahuakbar. Allah kembali menitipkan amanah untukku. Empat minggu.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com
Eno Wasiat Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Street Woman Fighter Remix Azan, Simbol Islam Dinista, Akankah K-Popers Diam?
Next
Pembelajaran Tatap Muka (PTM) Minim Persiapan, Anak Didik pun Jadi Korban
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram