"Salah satu naskah Challenge ke-4 NarasiPost.Com dalam rubrik Traveling"
Oleh : Desi Wulan Sari,M.Si.
Kampuang nan jauh di mato
Gunung Sansai baku liliang
Takana jo kawan, kawan nan lamo
Sangkek basu liang suliang …
NarasiPost.Com-Sahabat, lagu ceria di atas mengingatkanku pada Sumatera Barat dengan ibu kotanya Padang, menjadi kota yang menakjubkan bagiku. Kota Padang menjadi bagian history yang tidak akan pernah kulupakan. Awal menginjakkan kaki ke kota Padang saat aku melangsungkan pesta pernikahan di rumah orang tua suamiku. Setelah sebelumnya kami melangsungkan akad pernikahan di Sukabumi, Jawa Barat.
Tahun 2002 pesta baralek kami langsungkan. Beberapa hari sebelum acara aku dibawa keluarga suamiku berkeliling kota Padang, MasyaAllah indah nian budaya orang Minang ini. Rasanya aku ingin membeli segala oleh-oleh yang berkaitan dengan design Minang. Hingga dari tahun ke tahun akhirnya kota Padang menjadi tempat kami berkumpul setiap tahun saat lebaran Idul Fitri tiba. Semua sisi kota yang kusinggahi selalu berbekas dalam hati ini, semakin aku mencintai suamiku yang asal Minang, semakin aku menyukai kota Padang yang unik dan indah dipandang.
Dengan segala macam keunikannya, mari aku perkenalkan satu per satu tempat-tempat favorit saat aku berkunjung ke sana, bersiap yah!
Pertama, Pasar Raya Padang.
Pasar inilah tempat aku pertama kali diajak keluarga belanja ke pasar. Pasar tradisional terbesar yang ada di kota Padang. Pasar ini terletak di kampung Jao (kampung Jawa), Padang Barat. Pasar Raya Padang sudah cukup tua, di mana didirikan sejak zaman kolonial Belanda. Pendiri pasar raya ini adalah seorang kapitan Cina bernama Lie Saay. Di sana harga-harga miring dan bersaing selalu menjadi ciri ramainya pasar itu. Bagiku, sungguh excited belanja di sana saat mereka bicara dan tawar-menawar dengan bahasa minang yang aku sendiri belum bisa mengucapkannya.
Kedua, Pantai Padang.
Selalu teringat desiran ombak di tepi pantai setiap aku berkesempatan untuk singgah di pantai Padang. Pesonanya sejak aku melihatnya hingga hari ini sudah banyak berubah. Lebih tertata rapi dan penjual kuliner di tepi pantai sudah mulai enak dipandang mata. Saat senja adalah waktu yang sangat tepat pergi ke sana. Menunggu sunrise tiba, kami nikmati dengan satu buah air kelapa dan indomie rebus hangat menambah keakraban kami semua. Pasir lembut yang menerpa kakiku membuatku merasa bahagia memandangi alam yang penuh makna. Seperti itu saja sudah membuatku bahagia, apalagi jika Allah berikan nikmat yang lainnya, MasyaAllah. Allah sungguh Maha Penyayang dan Mahakuasa atas segala apa yang telah diciptakan-Nya. Aku mulai mempelajari budaya ini, ternyata saat kita bersuamikan orang Minang, maka jangan berharap selalu bisa romantis ria berdua dengan suami, pasti akan selalu ada keluarga tercinta lainnya di samping kita. Menikmati apa yang bisa dinikmati bersama.
Ketiga, Kawasan Pecinan, Kampung Pondok.
Inilah tempat favorit kami saat berkuliner. Entah mengapa, begitu banyak aneka makanan yang ditawarkan. Setiap pergi ke sana pasti tidak akan melewatkan es durian legendarisnya “Es Durian Iko Gantinyo” dan “Es Durian Ganti Nan Lamo” juga banyak makanan halal umum lainnya seperti soto, sate, gado-gado, martabak mesir, teh, telor, seafood dan lain sebagainya. Surga kuliner seakan tidak akan ada habisnya untuk bisa dicicipi. Pecinan kota Padang sangat terkenal dengan objek wisata lintas etnik yang menawan. Asimilasi masyarakat antara Tionghoa dan Minang selaras dan harmonis di dalamnya. Banyak sekali bangunan tua peninggalan zaman Belanda serta keberadaan klenteng tertua See Hin Kiong yang berdiri tahun 1841 di ranah Minang, sungguh luar biasa.
Keempat, Perkumpulan Sosial Terbesar HBT dan HTT.
Inilah salah satu keunikan lain di kota Padang. Akulturasi etnik Tionghoa yang terjadi selama ratusan tahun di Sumatera Barat membuat mereka memiliki kehidupan sosial sendiri di dalam komunitasnya. Dalam perkembangan komunitas Tionghoa, sampai hari ini mereka memiliki perkumpulan sosial tertua dan terbesar yang pernah ada hingga hari ini. Perkumpulan sosial itu adalah Himpunan Bersatu Teguh (HBT) dan Himpunan Tjinta Teman (HTT). Bahkan asimilasi yang terjadi, seperti adanya pernikahan antarbudaya memengaruhi sisi campuran budaya mereka, seperti panggilan “cidang” (cici padang) bagi wanita Tionghoa campuran Minang, bahasa yang disebut Minang Pondok juga menjadi hal yang unik. Sangat menarik jika kita bisa lebih dalam menelusuri sejarah keberadaan kampung Pondok ini. Wah, kapan yah?
Kelima, Jembatan Siti Nurbaya.
Aku semakin menikmati indahnya kota Padang, sejuta makna yang menandai keindahan dan keunikan kota kekaksihku ini. Jangan lupa ya, kuliner khas kota Padang pun banyak tersedia juga di sini seperti rendang, dendeng, gulai, camilan khas mereka juga tak kalah lezatnya. Rasa rempah-rempah di setiap makanannya selalu membuat lidah bergoyang. Saat suami tercinta sedang mesra-mesranya, pasti beliau akan membawaku jalan-jalan sore ke jembatan Siti Nurbaya. Jadi ingat kisah Siti Nurbaya pada dongeng rakyat film itu, kan? Alasannya karena jembatan itu memang indah suasananya, saat dipandang sore hari menjelang malam, dengan lampu warna-warni di sepanjang jembatan. Jembatan Siti Nurbaya adalah jembatan sepanjang 156 meter di atas sungai Batang Arau, Kota Padang. Jembatan ini menghubungkan kota dengan seberang Padang menuju Gunung Padang. Pemandangan indah sunset pun juga terlihat di Gunung Padang, MasyaAllah.
Keenam, Masjid Raya Sumatera Barat.
Rasanya tidak akan lengkap kalau kita ke kota Padang tanpa berkunjung ke masjid raya yang biasa disebut Masjid Mahligai Minang yang didirikan sejak tahun 2007. Sebagai umat muslim, tentu sangat bangga atas prestasi anak bangsa ini. Masjid dengan gaya arsitektur unik menghiasi jalan protokol kota padang. Walau terbilang baru, aku sangat takjub dengan keindahan arsitekturnya. Sarat dengan khas budaya yang ditampilkan berupa rumah gadang yang sangat megah. MasyaAllah.
Suamiku, beberapa tahun ini engkau telah memberikan warna dalam hidupku. Saat pulang ke kotamu, kota penuh makna yang akan selalu terkenang. Semoga indahnya kotamu bagaikan indahnya pernikahan kita, tuanya kotamu akan setua usia pernikahan kita kelak. Terima kasih kekaksihku, jalan-jalan pulang kampung kita selalu membuat hatiku bahagia.[]