Menghakimi Seremonial Pekik 'Merdeka'

"Salah satu naskah Challenge ke-4 NarasiPost.Com dalam rubrik Opini "

Oleh. Atik Hermawati

Merdeka! Dengan bangga, pekik jargon tersebut selalu digaungkan di setiap seremonial HUT RI 17 Agustus. Walaupun di tengah pandemi seperti sekarang, upacara yang disakralkan itu tetap dilaksanakan. Pun tidak sedikit masyarakat yang antusias menghias berbagai jalan dengan polesan cat dan pernak-pernik merah-putih, serta mengadakan perlombaan seperti biasanya. Namun 'merdeka' yang sudah menginjak 76 tahun ini apakah sudah sesuai dengan maknanya?

"Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh", begitulah tema yang diusung tahun ini. Kepala Sekretariat Presiden Heru Budi Hartono mengungkapkan bahwa ada pesan optimisme di balik itu. Ketangguhan dan semangat pantang menyerah atas krisis wabah yang terjadi, diharapkan mampu untuk Indonesia tumbuh dan bangkit. (Detiknews.com, 17/06/2021)

Namun, benarkah peringatan kemerdekaan itu sedangkan saat wabah ini saja dipenuhi krisis di segala bidang? Apakah setiap tahunnya mengalami kemajuan dan peningkatan? Ataukah sebelumnya pun sama, merdeka ialah formalitas dan ilusi belaka?

Mari cermati dengan seksama, arti merdeka dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ialah bebas (dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya); tidak terkena atau lepas dari tuntutan; dan tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu. Jika merujuk pada arti tersebut, Indonesia belum layak dikatakan 'merdeka' secara faktanya. Walaupun secara resmi telah diproklamisasikan dengan hitam di atas putih, tetap saja penjajahan gaya baru (neoimperialisme) atau nonfisik masih ada bahkan semakin parah.

Banyak sekali visi-misi tak serasi yang mengorbankan masyarakat juga negeri gemah ripah loh jinawi ini. Indonesia dikenal sebagai negeri indah dan kaya akan sumber daya alamnya, namun asing-aseng yang memegang kendali pengelolaan SDA. Eksploitasi besar-besaran terjadi selama puluhan tahun hingga kini. Belum lagi bahan pangan atau produk lainnya, bahkan tenaga kerja bergantung pada asing. Semuanya bukan tanpa alasan, melainkan terikat perjanjian dan hegemoni.

Utang negara yang semakin menggunung menjadi alat ampuh negara adidaya untuk semakin mencengkeram dan mendikte negeri mayoritas muslim ini. Segala kebijakan bersumber berdasarkan kepentingannya. Akhirnya rupiah yang selalu melemah, kesenjangan sosial yang kian kentara, kemiskinan yang semakin bertambah, harga-harga yang selalu merangkak naik, semakin tingginya korupsi dan kriminalitas, hingga pajak yang kian memalak rakyat. Semua disaksikan dengan nyata. Kemakmuran dan kemerdekaan tak ada wujudnya bagi masyarakat, hanya lingkaran penguasa dan para kapital yang menikmati tanpa ada rasa iba.

Makna Merdeka Menurut Syara'

Rasulullah Saw. pernah menulis surat kepada penduduk Najran. Di antara isinya ialah:
"…Amma ba'du. Aku menyeru kalian untuk menghambakan diri kepada Allah dan meninggalkan penghambaan kepada sesama hamba (manusia). Aku pun menyeru kalian agar berada dalam kekuasaan Allah dan membebaskan diri dari penguasaan oleh sesama hamba (manusia)… (Al-Hafizh Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa an-Nihayah, V/553).

Itulah misi kemerdekaan dalam Islam yakni lepas dari penghambaan sesama makhluk/manusia, menuju penghambaan pada Allah ta'ala semata. Selain itu, juga terungkap kuat dalam dialog Jenderal Rustum (Persia) dengan Mughirah bin Syu'bah yang diutus oleh Panglima Sa'ad bin Abi Waqqash ra, yang kemudian dialog tersebut diulang kembali dalam dialog Jenderal Rustum dengan Rab'i bin Amir (utusan Panglima Sa'ad bin Abi Waqqash ra.). Dimana ia diutus setelah Mughirah bin Syu'bah ra. dalam Perang Qadisiyah untuk membebaskan Persia.

Jenderal Rustum bertanya kepada Rab'i bin Amir, "Apa yang kalian bawa?" Rab'i menjawab, "Allah telah mengutus kami. Demi Allah, Allah telah mendatangkan kami agar kami mengeluarkan siapa saja yang mau dari penghambaan kepada sesama hamba (manusia) menuju penghambaan hanya kepada Allah; dari kesempitan dunia menuju kelapangannya; dari kezaliman agama-agama (selain Islam) menuju keadilan Islam…" (Ath-Thabari,Tarikh al-Umam wa al-Muluk, II/401).

Benar, dalam Islam selain terbebas dari penjajahan fisik dan nonfisik (neoimperialisme), namun merdeka harus juga lepas dari penghambaan terhadap sesama hamba (manusia). Artinya, tidak boleh ada sedikit pun peraturan negara dari buatan atau hasil pemikiran manusia, tanpa sumber yang haq yakni dari Sang Pencipta (Allah Swt). Walaupun saat ini AS dan sekutunya dikatakan negara adidaya, tapi dalam Islam mereka belum merdeka sama sekali layaknya Persia sebelum ditaklukan oleh Islam dahulu.

Sehingga merdeka ialah saat sumber daya alam yang ada dikelola negara sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat, bukan oleh individu atau swasta bahkan asing-aseng. Tambang emas, minyak, gas alam, hutan, laut, dan lainnya dioperatori secara mandiri. Bukan kerja sama apalagi diperjualbelikan. Lalu utang luar negeri yang menjadi alat kontrol penjajah, tak ada sama sekali. Pendapatan dan pengeluaran kas negara jelas dari sumber yang pasti. SDA yang melimpah, tak ada alasan untuk berutang pada IMF ataupun Bank Dunia yang penuh riba.

Negara pun tidak bergantung pada produk asing. Impor bukan hobi, justru produk lokal didukung dan difasilitasi demi peningkatan kualitas yang memadai. Sistem pasar tidak berdasarkan ketentuan asing-aseng yang membahayakan. Kemandirian negara mengelola sistem pasar dari hulu ke hilir berjalan secara sehat dan bermartabat.

Pajak dan cukai juga tidak ada dalam kamus pendapatan negara. Pungutan yang memberatkan masyarakat tidak diperkenankan sama sekali. Sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan lainnya untuk masyarakat dijamin sepenuhnya oleh negara. Bukan dengan tolok ukur untung-rugi, melainkan amanah dan sepenuh hati. Tak ada lagi rakyat yang mengemis demi sesuap nasi. Semuanya mendapatkan hak untuk hidup layak.

Tak teringgal, korupsi dapat dibabat habis. Mulai tingkat bawah hingga kepala negara. Tak ada suap-menyuap, jual-beli kursi, apalagi rutan VIP bagi tikus berdasi. Sanksi berat agar pelaku jera dan berpikir dua-tiga kali. Serta kriminalitas lainnya pun jarang unjuk gigi. Sebab keadilan yang bersumber dari aturan Ilahi.

Merdeka seperti itu nyata dengan pondasi utama negara ialah takwa, yakni menerapkan aturan Islam secara sempurna dan mengabdi total pada Yang Mahakuasa. Tidak ada kekangan, dikte, ancaman, dan eksploitasi dari bangsa mana pun. Sebab kedaulatan di tangan Asy Syari' yakni Allah Yang Maha Pengatur. Syariat diterapkan oleh pemimpin yang amanah, bukan pemimpin yang serakah.

Mari Berjuang untuk Merdeka

Harus disadari penuh bahwa kemerdekaan hakiki tak akan dicapai saat masih ada penyembahan pada sesama hamba. Allah jelas melarang manusia untuk berhukum pada yang selain dari-Nya, seperti yang dilakukan Bani Israil, yakni patuh dan taat terhadap aturan yang dibuat oleh para rahib mereka (terdapat dalam QS. At-taubah: 31). Meskipun mereka tidak menyembah rahib-rahib tersebut secara langsung, namun itulah bentuk penyembahan mereka.

Selama sistem buatan manusia yang diterapkan oleh negara yakni kapitalisme maupun sosialisme, maka negara ini tidak akan meraih kemerdekaan hakiki. Masyarakat dan SDA akan selalu jadi objek eksploitasi. Hegemoni akan senantiasa mencengkeram kedaulatan negeri. Ekonomi semakin terpuruk dengan inflasi yang tak terkendali, serta terjerat penghambaan terhadap arahan Barat.

Untuk itu, perlu penerapan sistem yang akan memerdekakan manusia dari penjajahan fisik, eksploitasi, dan penghambaan terhadap sesama makhluk. Tiada lain ialah khilafah, sistem negara yang berasal dari Sang Pencipta dan Pengatur, yang menerapkan syariat Islam secara kafah. Sistem politik, ekonomi, militer dan lainnya dalam Islam akan mewujudkan kemandirian negara dan lepas dalam penjajahan fisik dan eksploitasi. Semua UU dan peraturan yang diterapkan atas dasar halal-haram dalam syariat, membebaskan penghambaan terhadap sesama manusia.

Inilah Islam yang datang untuk menyelamatkan manusia dari kegelapan. Allah Swt berfirman, "Alif Laam Raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu agar kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji (QS. Ibrahim [14] : 1)."

Juga rahmat bagi seluruh alam, "Dan tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (QS. Al-Anbiya' [21] : 107).

Jangan teriak merdeka bila tak ingin menerapkan aturan Allah Ta'ala. Merdeka bukan formalitas belaka. Apalagi jika merdeka itu ialah hadiah dari sang imperialis, sebab penjajahan ialah metode baku mereka baik gaya baru ataupun lama. Mari bersama wujudkan kemerdekaan hakiki dan mendapat berkah dari-Nya.

Wallahu a'lam bishshawab.[]


Photo : Pinterest

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Atik Hermawati Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Agar Ukhuwah Berbuah Jannah
Next
Abu Lahab dan Keagungan Kalamullah
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram