"Salah satu naskah Challenge ke-4 NarasiPost.Com dalam rubrik Opini "
Oleh. Desi Ratna Wulan Sari, M.,Si.
NarasiPost.Com-Isu kemerdekaan tengah hangat di tengah-tengah masyarakat. Berbagai definisi kemerdekaan diartikan dalam versinya masing-masing. Selain sebagai tanda negara merdeka yang bebas dari penjajahan negara asing. Salah satunya, menelisik arti kemerdekaan atas peran ibu juga sangat menarik untuk diangkat.
Peran ibu dalam keluarga sangatlah besar. Tugasnya selain sebagai ibu yang melahirkan juga sebagai pendidik, penganyom, pengajar bagi anak-anaknya. Tentu saja peran ibu juga tidak terlepas dari posisinya sebagai pendamping suami dalam rumah tagganya. Seorang ibu juga memiliki peran sebagai jembatan komunikasi bagi keluarganya, baik dalam internal keluarga inti, maupun eksternal keluarga besar. Sebagai seorang perempuan dengan status “ibu”, satu hal yang umum bahwa mereka memiliki peran domestik dan publik yang semestinya saling berdampingan dan harmonis. Namun, hingga negeri ini merdeka di usia ke- 76 tahun, kemerdekaan peran seorang ibu masih dipertanyakan dan disalahartikan, jika digandengkan dengan pemikiran feminisme yang ada.
“Kemerdekaan” Ibu Masa Kini (feminisme)
Menurut Dr. Gadis Arivia, dalam bukunya “Feminisme sebuah Kata Hati,” dimana beliau adalah seorang feminis, Dosen di Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya (FIPB), Filsafat, Universitas Indonesia mengatakan bahwa perempuan berada pada posisi tertindas. Sehingga bagi beliau penindasan yang ditentang dan dipersoalkan oleh seorang feminis mencerahkan dan membebaskan kelompok-kelompok tertindas lainnya. Menurutnya, feminis adalah sebagai jalan solusi bagi pembebasan perempuan, misalnya dengan memiliki sikap hidup dalam memilih menikah atau tidak menikah, memiliki anak atau tidak memiliki anak, dan sebagainya.
Keadaan perempuan yang begitu terpuruk membuat marah kaum feminis, sehingga mereka menuntut kemerdekaan, menuntut keadilan agar memiliki peran yang lebih bebas, termasuk dalam peran seorang ibu dalam posisinya di keluarga.
Masalah yang dihadapi seperti kita lihat, feminisme telah memengaruhi pemikiran seorang ibu yang selalu menuntut “kemerdekaan” atas peran yang dijalaninya. Inilah beberapa hal yang menjadi sorotan atas masalah-masalah yang muncul jika peran ibu menggunakan perspektif feminisme dalam mendidik keluarganya:
- Ia akan memandang seorang suami bukanlah kepala keluarga, tetapi lebih kepada partner hidup yang memiliki hak dan tanggung jawab yang sama.
- Ia menganggap fungsinya dalam peran domestik menjadi beban bahkan diibaratkan perbudakan yang dianggap semena-mena.
- Ia menganggap kebebasan anak dalam memilih orientasi seksnya adalah suatu hal yang wajar dan wajib dilindungi.
- Ia menganggap bekerja dan karier menjadi prioritas bagi kesuksesan dirinya sendiri.
- Ia menganggap perannya sebagai pendidik bagi anaknya bukanlah satu masalah, karena lembaga pendidikan ataupun pengasuh bisa dibayar dengan uangnya untuk mendidik sang anak.
Dan masih banyak rentetan masalah yang dianggap buruk bagi para feminisme dalam setiap peran “motherhood” dalam rumah tangganya. Lantas, apakah dengan feminisme seluruh masalah yang dihadapi para ibu masa kini akan lenyap begitu saja? Terbukti sampai hari ini, para kengusung feminisme masih terus mencari jati diri, memperjuangkan “kemerdekaan” agar mendapat posisi dan tempat yang layak dan lebih baik. Adakah solusi bagi permasalahan ini?
Kemerdekaan Hakiki Peran Ibu dalam Islam
Kedudukan seorang ibu dalam Islam sangat mulia. Bahkan, bagi sebagian orang meyakini bahwa perubahan peran dalam masyarakat sangat dipengaruhi oleh agama dan ideologi yang dianutnya. Inilah Islam, melihat bagaimana pandangan Islam terhadap perempuan dan kedudukannya sebagai seorang ibu. Islam merupakan agama yang sangat menghormati setiap kedudukan perempuan dan laki-laki di mata Allah. Islam hadir di tengah-tengah umat untuk menghapus kejahiliahan yang begitu diskriminatif terhadap perempuan saat itu.
Dalam Islam perempuan dan laki-laki dianggap sebagai makhluk Allah yang setara, bebas bertasarruf, dan mereka satu sama lain diciptakan saling melengkapi dan membutuhkan. Tidak ada dikotomi dan diskriminasi peran antara perempuan dan laki-laki dalam Al-Quran dalam hal keimanan.
Inilah hal-hal yang dipandang dalam Islam, bagaimana ibu berperan sebagai pengokoh pilar keluarganya, antara lain:
- Ibu adalah madrasatul ula, bertanggung jawab sebagai pendidik pertama bagi anaknya, sebagai pondasi dasar pembentuk kepribadian anak sesuai syariat.
Dalam hadis riwayat Bazzar, Rasulullah Saw bersabda: “Apabila seorang wanita (ibu) sudah menjalankan salat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, menjaga kehormatannya (kesucian dirinya) dan taat kepada suaminya, maka masuklah ia ke surga.”
- Pendidikan bagi ibu adalah kebutuhan dasar dan penting yang harus diberikan negara seluas-luasnya, sebagai modal pendidik generasi emas masa depan. Dalam firman Allah Swt, Surah Ibrahim ayat 40, yang artinya: “Ya Allah, jadikalnlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan salat, Ya Allah, kabulkanlah doaku.”
- Ibu adalah juga istri yang memiliki hak dan kewajiban khusus tersendiri yang telah diatur oleh Allah dan Rasul-Nya dalam syariat. Dalam surat An Nisa ayat 34, Allah berfirman, "Kaum laki-laki itu pemimpin wanita. Karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) alas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan harta mereka. Maka wanita yang salehah ialah mereka yang taat kepada Allah dan memelihara diri ketika suaminya tidak ada menurut apa yang Allah kehendaki."
- Ibu pun memiliki hak untuk bekerja jika diperlukan dalam mencari tambahan nafkah dalam keluarganya, selama tidak berhubungan dengan kemaksiatan dan melanggar syariat.
Dalam al-Mawsu'at al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, dituliskan kriteria pekerjaan di luar rumah yang boleh dilakukan oleh seorang muslimah. Tidak semua pekerjaan boleh dilakukan. Kriteria utama yakni pekerjaan yang dilakukan tidak termasuk perbuatan maksiat dan tidak mencoreng kehormatan keluarga.
Maka jelaslah, jika kita melihat bagaimana Islam memandang peran ibu dalam rumah tangganya bisa disimpulkan bahwa mereka sangat merdeka dan terhindar dari segala macam penindasan. Aturan-aturan dalam Islam menempatkan peran ibu dalam koridornya masing-masing. Tidak seperti pemikiran feminisme, mereka selalu mencari-cari arti “kemerdekaan” yang tidak akan pernah menemukannya sampai kapan pun. Hanya pemikiran Islamlah satu-satunya yang mampu memberikan kemerdekaann hakiki bagi perempuan ataupun ibu di seluruh dunia. Berbahagialah Wahai Ibu!
Selamat menikmati kemerdekkan hakiki, Merdeka!
Wallahu a’lam bishawab.[]