"Salah satu naskah Challenge ke-4 NarasiPost.Com dalam rubrik Parenting"
Oleh : Nurlaili
NarasiPost.Com-Di tahun 2020 lalu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melakukan sebuah survei tentang pemenuhan hak dan perlindungan anak pada masa pandemi Covid-19. Hasilnya, sebanyak 79% anak sudah diizinkan menggunakan gadget, tidak lain untuk kepentingan belajar (pembelajaran daring). Bahkan, 71,3% anak sudah memiliki gadget sendiri. Mirisnya, sebagian besar mereka, tidak dibentengi dengan aturan penggunaan gadget dari orang tuanya. Selama pandemi ini, pada umumnya, tidak ada pendampingan dari orang tua saat anak sedang asyik dengan gadget-nya.
Mengapa hal-hal itu bisa terjadi? Mengapa sebagai orang tua membiarkan ini terjadi? Apa karena tidak mau anaknya dikatakan “gaptek” atau “ketinggalan zaman”? Apa sebagai reward karena anaknya berprestasi? Silakan tanya pada diri sendiri.
Hal itu juga bisa terjadi karena karakter orang tua dalam mendidik anaknya. Sebagaimana banyak hasil penelitian yang mengatakan setidaknya ada 4 dasar karakter orang tua yang memiliki pola asuh otoriter, cuek, permisif dan demokratis.
Misalnya ada orang tua otoriter yang melarang keras anaknya memegang gadget selain untuk kepentingan pembelajaran daring. Sebaliknya, ada pula orang tua cuek, yang tak peduli seberapa lama anaknya bermain gadget. Mereka tak peduli laman apa saja yang diakses oleh anaknya karena kesibukannya bekerja.
Betapa miris saat melihat berita di media yang isinya kasus kriminal yang dilakukan oleh anak, pelecehan seksual yang korbannya adalah anak-anak, gangguan kesehatan karena pemakaian yang tidak sesuai aturan dan kasus penyalahgunaan gadget lainnya. Lalu, apa yang dilakukan? “Tuh, Nak, lihat! Makanya, kalau main HP jangan terlalu dekat sama mata.” Atau “Tuh, Nak. Makanya hati-hati kalau main facebook!”
Hanya cuitan yang dikatakan oleh orang tua saat itu. Setelah itu, tidak ada atau mungkin lupa. Padahal, yang diperlukan anak bukan sebuah nasihat saat melihat adanya kejadian-kejadian itu saja. Akan tetapi bagaimana menjalin komunikasi dengan apik, lebih dari postingan anak di sosial media ataupun kemenangan di games-nya. Bagaimana membuat iklim keluarga lebih trending daripada anak-anak yang pansos. Bagaimana agar anak-anak tak perlu lagi ada kecanduan gadget karena gadget adalah penjajah “nyata” anak-anak dan para pemuda, yang katanya generasi penerus bangsa.
Pertama, setiap hari, kalau perlu setiap pagi dan malam, berilah satu saja pertanyaan untuk anak. Apa yang akan kamu lakukan hari ini? Atau, apa targetmu hari ini? Malamnya tanyakan lagi, bagaimana sekolah online-mu hari ini? Bagaimana orientasi siswa baru secara virtual, menyenangkankah? Pertanyaan apa pun itu tanyakan sebelum mereka meraih gadget-nya.
Kedua, berusaha menjadi orang tua demokratis. Memberikan –bukan membelikan– gadget untuk anaknya dengan batasan waktu, aturan dan pengawasan yang bersahabat. Bukan pengawasan yang ketat. Tentu kedua hal ini berbeda. Pengawasan bersahabat berarti orang tua mengawasi sambil merajut komunikasi dengan si anak. Edukasi anak dengan bahasa komunikasi yang ringan dan bersahabat. Hindari kata “jangan” atau “tidak usah” kepada anak karena “jangan” berarti “silakan”.
Sebagai contoh, “Wah, apa yang kamu buka, Nak?” “Games apa itu? Di zaman Bunda dulu, nggak ada mainan seperti itu. Gimana cara mainnya? 2 atau 3x main cukup tuh sampai azan zuhur nanti.”
“Nonton apa di youtube? Emm, coba buka video tutorial yang bikin-bikin apa gitu, Nak. Nanti, kita bikin bareng setelah tugas sekolahmu selesai.”
“Nonton film apa, Nak? Sepertinya seru. Boleh dong, Ayah ikut nonton.”
“Jangan nonton joget-joget nggak jelas di Tiktok!” Ganti saja dengan, “kemarin di Tiktok lagi ramai bikin pisang mbleber. Coba cariin dong, Nak. Nanti kita bikin sama-sama buat camilan weekend.”
Biarkan anak bebas berkreasi. Akan tetapi, tetap batasi anak-anak dengan nilai luhur yang ditanamkan dalam dirinya. Biarkan anak berkembang, namun tetap jaga imannya agar tak melayang. Biarkan anak berimajinasi dan berprestasi di bidangnya, namun upayakan kita sebagai orang tuanya menjadi bagian di dalamnya.
Ketiga, jangan ada gadget di antara kita. Saat bersantai seperti di primary time usahakan tidak ada gadget. Baik di tangan orang tua maupun anak. Ajak anak mengaji bersama setelah salat magrib, berdiskusi santai, games tanya-jawab, bercanda, bermain ular tangga atau apa pun itu. Tanyakan bagaimana hari-hari pertama yang dilaluinya, teman-temannya, guru-gurunya, dan lain-lain.
Jika orang tua melarang anaknya untuk berlama-lama main gadget, berarti orang tua juga harus melepas gadget. Jika waktunya salat, setelah wudu jangan buka story instagram dulu. Jika waktunya makan, setelah ambil makan jangan memotret dan menjadikannya status whatsapp. Jika waktunya family time, saat duduk bersama jangan mengecek email dari bos. Orang tua adalah panutan anaknya. Orang tua adalah bos di rumah. Ketika orang tua melarang A, maka jangan melakukan A. Ketika orang tua ingin anaknya melakukan B, maka jangan menyuruhnya, akan tetapi contohkan dan lahirkan kepekaan dalam diri sang anak. Bahkan, komunikasi yang orang tua bangun, pun tanpa melibatkan gadget, mampu membuat anak-anaknya menjadi lebih terbuka pada orang tuanya. Bukan berarti suka mengadu, tetapi lebih kepada rasa percaya sang anak kepada orang tuanya. Untuk membagi ceritanya, isi hatinya, suka duka yang dialaminya dan apa pun itu, semua dilabuhkan pada orang tua tuanya.
Jika komunikasi antara orang tua dan anak telah bernyawa, maka tak perlu lagi fokus untuk di dunia maya. Jika komunikasi terjaga, maka kepatuhan anak terhadap orang tua akan mudah terpelihara. Jika komunikasi terjalin indah, maka kehangatan keluarga akan tercipta sempurna. Karena komunikasi adalah salah satu kunci menuju peribahasa “Rumahku Surgaku”.[]