Air mata Mak Ajeng sepertinya tak mau surut mengiringi penyesalan yang begitu besar dalam dirinya. Hanya karena menantu idaman yang tak tepat, dia rela menjerumuskan diri dalam dosa. Mak Ajeng menginsyafi perbuatannya. Komitmennya mengangkasa untuk kembali ke jalan kebenaran.
Oleh. Afiyah Rasyad
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com )
NarasiPost.Com-"Kapan kau mau nikah, lama-lama jadi bujang lapuklah Kau."
Intonasi suara Mak Ajeng penuh penekanan seakan ia sedang mengajar anak semata wayangnya latihan voice over. Wira hanya garuk-garuk kepala setelah dia hampir menyemburkan air yang baru menyapa kerongkongannya. Wajah letih Wira berubah pias ketika wejangan Mak Ajeng panjang lebar membahas menantu idaman menari-nari di indera pendengarannya.
Angannya berkecamuk menghendaki raganya menghilang sesaat untuk menghindari topik menantu idaman Mak Ajeng. Apalah daya, itu hal yang musykil bagi orang beriman. Kupingnya sudah terasa sangat panas saat kata bujang lapuk menghujam tepat di ulu hatinya. Wira sesekali memejamkan kedua netra sayunya dan memainkan tali pengikat kayu bakar saat mendengarkan petuah ibundanya.
"Sampun, Mak? Saya mau wudhu rumiyen, belum sembahyang Zuhur," Wira segera angkat bicara sebelum Mak Ajeng kembali meluapkan kegundahannya.
Sepasang kaki pecah-pecah terayun gontai menuju jeding. Wira segera bersih diri dan berwudhu untuk menunaikan salat Zuhur. Ba'da salat dan zikir, dia segera merebahkan badan dan meluruskan punggungnya. Rasa capek baru terasa, sejak jam 8 pagi, Wira keluar-masuk hutan mencari kayu bakar. Kemudian kayu-kayu yang jadi sumber penghasilan hariannya dijual ke pasar dan dititipkan di beberapa warung yang ramai.
Bujang gagah perkasa di kampungnya itu menjadi buah bibir. Selain rupawan, akhlak dan tutur katanya juga menawan. Kini, dia diterpa rumor telah menolak bunga desa dari kampung sebelah. Rumor itu beterbangan memenuhi tiap sudut kampungnya. Bagaimana si bunga desa mengejar dan bagaimana Wira menolak mentah-mentah berdansa di tiap lisan penduduk kampung. Gunjingan kian merebak bak bunga mekar di musim kemarau. Mak Ajeng tak tahan dengan kabar burung yang menerpa anaknya.
Bunga desa kampung sebelah dikabarkan menaruh hati pada bujangnya, namun ditolak begitu saja. Sececah rasa gemas dan marah menghinggapi hati Mak Ajeng. Apa kurangnya bunga desa itu? Selain cantik, dia juga berpendidikan tinggi dan diincar para laki-laki pekerja kantoran, benar-benar calon menantu idaman. Mak Ajeng heran dengan jalan berpikir Wira yang menolaknya. Dia sungguh ingin memaki bujangnya yang tak tahu diri itu. Dia memipih kerupuk puli yang baru dibuatnya. Dia terus membayangkan jika bunga desa itu menjadi menantunya akan mengubah nasib keluarganya. Dia pun ikut campur dalam nuansa pekasihan yang digagas bunga desa untuk Wira.
Wira sekilas mendengar Mak Ajeng sedang berbicara sendiri. Sesak dada Wira menyadari betapa ibundanya silau akan harta dan status sosial. Padahal, Mak Ajeng dulu begitu bersahaja dan qona'ah dalam urusan harta. Setahun terakhir ini, saat Mak Ajeng berkawan karib dengan Bu Tinggi, pandangannya berubah. Kebahagiaan mulai diukurnya dengan jumlah harta yang dimiliki. Rasa syukur seakan bersembunyi di balik tirai percaya diri yang sudah jauh pergi ke dasar perut bumi.
"Astagfirullahal 'adzim."
Lisan Wira melafazkan istighfar tiada henti. Dia kehilangan sosok ibunda yang memiliki keluasan rasa syukur dan sabar. Bagi Wira, harapan untuk mewujudkan menantu idaman sangatlah besar. Hasratnya ingin membahagiakan Mak Ajeng dengan membawa menantu idaman ke rumah mungilnya ini. Dia pun mendamba sinar kebahagiaan hakiki, bukan kebahagiaan di atas timbangan materi, tapi kebahagiaan yang dinaungi rida Ilahi.
Menantu idaman Mak Ajeng yang ditolak Wira tidak mau tinggal di rumahnya. Dia meminta Wira tinggal di kota, jauh dari kampung halamannya. Terlebih lagi, Wira telah mendeteksi si gadis tak berkerudung saat bekerja. Mana mungkin Wira mengaudisinya menjadi calon istri, sementara ia enggan berkerudung yang merupakan aturan Ilahi. Wira tak ingin ambil risiko dalam belantara perbedaan yang tajam dan sangat asasi.
Dia lelaki normal, usianya sudah hampir seperempat abad, 23 tahun. Usia yang sudah matang untuk merajut mahligai rumah tangga. Tentu dia juga begitu mendamba wanita beriman yang memiliki visi misi keluarga asmara alias assakinah mawaddah wa rahmah. Hatinya sempat goyah saat bunga desa itu terus memintal kasih dengan kiriman-kiriman hadiah padanya dan Mak Ajeng. Hadiah yang begitu mahal. Hadiah yang mungkin baru bisa dibelinya jika menabung selama tiga sampai lima tahun. Hatinya hampir luluh ketika bunga desa itu merapalkan bait-bait cinta untuknya. Namun, akalnya masih menimbang dengan pandangan syariat Islam dalam perkara munakahat.
"Setiap keindahan
Yang tampak oleh mata
Itulah perhiasan
Perhiasan dunia
Namun yang paling indah
Di antara semua
Hanya istri salihah
Istri yang salihah"
Mak Ajeng menatap punggung bujangnya yang asik melipat baju sambil mendengar lagu Bang Haji Rhoma dari tape lawas miliknya itu. Ada sedikit rasa nyeri di hatinya saat teringat perkataan Wira padanya, "InsyaAllah saya akan menikah dengan menantu idaman Emak. Sebagaimana Bapak dulu meminang Emak. Bukan karena harta, kedudukan, ataupun status sosial. Tapi karena kemurnian fitrah seorang wanita ada padanya, Mak. Dia taat pada Allah dan paham kewajibannya sebagai istri dan pengatur rumah tangga."
Bulir bening lolos begitu saja dari netranya yang mulai keriput. Tangan Mak Ajeng mengusap punggung kokoh Wira yang telah menghidupinya sejak ayahnya meninggal. Bujangnyalah yang menjadi tulang punggung sejak seratus dua puluh purnama silam. Tak pernah sekalipun keluhan meluncur dari dirinya. Bahkan, selepas mencari kayu bakar atau dari sawah, dia masih rela berlelah menangkap ikan di sungai dan membantunya dalam urusan rumah. Punggung kokoh itulah yang menjadi pelindungnya kini.
"Ada apa, Mak?" Wira menoleh pada Mak Ajeng dengan wajah terkejut.
Dia terlalu asik melipat baju dan mendengarkan lagu-lagu legendaris Raja Dangdut, sampai tak sadar ada Mak Ajeng di belakangnya. Lebih kaget lagi tatkala ia menyelami manik wanita yang amat dikasihinya itu, Wira menangkap ada kesedihan mendalam dalam diri ibundanya. Samudera kesedihan itu bergelombang besar dan merayap ke dadanya. Hatinya bergemuruh, khawatir dia telah melukai ibundanya. Tanpa dikomando, Wira segera turun dari lincak dan bersimpuh di kaki Mak Ajeng.
"Ampuni anakmu yang tak tahu diri ini, Mak. Ampuni aku jika telah melukai hatimu!"
Semakin deraslah kucuran air mata di pipi Mak Ajeng. Dia yang hendak meminta maaf pada bujangnya karena terlalu menekan, malah Wira yang bersimpuh di kaki tuanya. Hati Mak Ajeng serasa diremas-remas, semakin merasa bersalah telah bersikap kasar pada Wira, anak semata wayang yang sangat lembut perangainya.
Pikiran Wira berkecamuk tak menentu. Tak muluk-muluk, dia hanya berharap istri salihah yang bisa menyulam kebahagiaan dengan taburan rida Ilahi di rumah mungilnya ini. Dia sudah meminta bantuan Ustaz Anan di dusun sebelah untuk mencarikan calon istri yang layak baginya. Dia mempercayakan pada Ustaz Anan urusan jodoh itu sembari menelusuri lorong harapan yang bertabur bait-bait doa. Wira hendak menyampaikannya pada Mak Ajeng, tapi melihat rona kesedihan yang terlukis dari wajah ibunya, dia tak berani mengutarakannya. Hanya bersimpuh yang mampu dilakukannya.
"Bangunlah, Nak. Tak ada satu cela pun yang kau perbuat padaku. Akulah yang penuh cacat, memintamu menantu idaman. Makmu ini yang egois."
Mak Ajeng merengkuh kedua lengan Wira yang masih mencium kakinya. Mereka bertukar pandangan tentang calon menantu idaman. Mak Ajeng memahami apa yang diinginkan Wira. Dia pun menyadari kekhilafannya selama ini. Dia membiarkan dirinya telah salah bergaul dalam rentang waktu yang lama sehingga Wira menjadi tumbal dari segala keinginan yang tak masuk akal. Bahkan, dia dan si bunga desa, calon menantu yang sempat diimpikan pernah mendatangi dukun untuk sebuah teluh pekasih agar Wira mau menikahi bunga desa itu. Betapa dia telah terjerumus melakukan dosa besar, mengikuti hawa nafsunya. Pantas Wira menolak bunga desa itu. Allah menjaganya dengan perisai keimanan yang tebal.
Wira tercengang mendengar pengakuan Mak Ajeng. Wira merengkuh tubuh ibunya dengan lembut. Rasa sayangnya pada ibunda tak luntur meski Mak Ajeng telah meneluhnya. Bagaimanapun, Mak Ajeng adalah wanita yang melahirkan dan merawatnya dengan penuh luasnya cinta. Manusia tempat alpa, kapan saja bisa tergelincir pada dosa.
Air mata Mak Ajeng sepertinya tak mau surut mengiringi penyesalan yang begitu besar dalam dirinya. Hanya karena menantu idaman yang tak tepat, dia rela menjerumuskan diri dalam dosa. Mak Ajeng menginsyafi perbuatannya. Komitmennya mengangkasa untuk kembali ke jalan kebenaran.
Dia menerima tawaran Wira untuk ikut kajian Islam di dusun sebelah bersama istri Ustaz Anan. Dengan penuh kesungguhan, Mak Ajeng terus mengkaji Islam bersama anaknya dan berusaha menjadi pejuang Islam dalam jemaah. Dia tetap berjuang membela Islam meski usianya merangkak naik. Bahkan, dia semakin bersemangat mengkaji Islam dan berdakwah kala Wira telah memboyong menantu idaman ke rumah mungilnya. Alunan rasa syukur terus disenandungkan Mak Ajeng di sisa-sisa usianya.[]
Photo : Pinterest
Masya Allah ... Mantap.
Teman pergaulan memang bisa membuat kita berubah. Itulah sebabnya, Rasulullah memerintahkan kepada kita untuk mencari teman yang baik.