"Saat memilih melintas batas harapan, maka mereka tak akan berdiam diri dalam kesendirian. Mereka akan bergerak dalam jemaah untuk meninggikan kalimat Allah dan melenyapkan kehidupan sekuler."
Oleh. Afiyah Rasyad
( Kontributor Tetap NarasiPost.Com )
NarasiPost.Com-Tak ada yang abadi di dunia ini. Semua akan berakhir sesuai titah Ilahi. Sudah banyak kalam suci yang mengabarkan hari di mana seluruh jagat raya akan hancur. Sebut saja surat Az-Zalzalah ayat 1:
"Apabila bumi diguncangkan dengan guncangan yang dahsyat."
Sungguh, tak terbayang guncangan yang dahsyat seperti apa. Gempa dengan 6 SR saja membuat kalangkabut manusia meski pusatnya nun jauh di tengah laut. Batuk dan muntahan gunung berapi sukses membuat manusia lari terbirit-birit untuk menyelamatkan diri. Lantas seperti apa guncangan dahsyat itu? Membayangkannya saja membuat kepala pening.
Bertubi-tubi bencana datang di bulan ini, menampar manusia agar segera muhasabah diri. Dosa apakah yang telah digores dalam tiap helaan napas dan di setiap pori-pori. Tak terhitung nikmat yang dilewati begitu saja dan tak disyukuri, bukan hanya oleh individu, tapi oleh seluruh petinggi negeri. Di mana aturan Ilahi dipilih sesuka hati.
Duhai, sebuah pemikiran revolusioner atas sebuah harapan seakan menghilang tanpa jejak. Pemikiran sekuler berlayar dalam tiap benak manusia, tak terkecuali dalam benak kaum muslim. Agama seakan barang najis yang tak layak disematkan dalam sebuah kehidupan. Maka, manusia menanggalkan agamanya dengan penuh kesadaran.
Prinsip sekuler memandang nilai baik dan buruk ditentukan oleh akal manusia yang lemah dan terbatas, bukan berdasarkan wahyu Allah Swt. Keberadaan Allah hanya hadir dalam proses penciptaan semata, tak boleh mengatur setiap alur hidup manusia. Mereka bersepakat membuat aturan berdasarkan akal dan hawa nafsunya. Maka, semakin jauhlah pemikiran akan sebuah kehidupan yang tak abadi ini kelak akan dipertanggungjawabkan.
Pemikiran menyeluruh akan manusia, alam semesta, dan kehidupan, serta hubungannya dengan sebelum dan setelah kehidupan sudah tak lagi terjangkau. Kematian hanya dianggap sebuah fase akhir dari kehidupan, tak ada pertanggungjawaban. Inilah bencana besar di muka bumi sebelum bumi diguncang dengan dahsyat oleh Allah Swt.
Namun, secercah cahaya menyinari sebuah harapan yang terlarut dalam bait-bait doa. Cahaya itu hanya menerangi hati yang bersih dan terpaut pada Allah semata. Walau dosa-dosa membumbung tinggi ke angkasa, namun rahmat Allah sangatlah luas tak dapat dijangkau. Gempa, banjir, letusan gunung, atau bencana lainnya hanyalah sepercik peringatan pada manusia. Meski begitu, nikmat Allah masih jauh lebih besar, terutama bagi mereka yang berhasil bersimpuh tuk merengkuh hidayah-Nya.
Jalan terjal dan berduri akan tetap dilewati oleh jiwa-jiwa yang telah melintas batas harapan. Di mana lorong harapan itu tiada ujungnya, namun mereka bersabar menapakinya meski penuh tekanan dengan landasan akidah yang kukuh. Dorongan keimanan akan menjadikan perjalanan melintas batas harapan memiliki ruh, sadar akan hubungannya dengan Allah. Kesadaran bahwa segala sesuatu tak abadi, termasuk dirinya akan semakin membuat hati tunduk pada Ilahi.
Saat memilih melintas batas harapan, maka mereka tak akan berdiam diri dalam kesendirian. Mereka akan bergerak dalam jemaah untuk meninggikan kalimat Allah dan melenyapkan kehidupan sekuler. Mereka tak akan pernah berpangku tangan menunggu pertolongan Allah, justru mereka akan berkontribusi untuk menolong agama Allah. Keyakinan mereka mengalahkan kokohnya gunung dan tegarnya karang, sebuah harapan penub keyakinan pada firman Allah surat Muhammad ayat 7:
"Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu."
Serpihan harapan yang melekat dalam tekad bulat mereka menjadikan tangan mereka bersih, tak berulah, untuk merusak alam dan kehidupan. Setiap bencana yang menyapa manusia merupakan qada Allah, namun mereka yang beriman akan senantiasa mencegah siapa pun yang berulah. Dengan ghiroh yang membara, mereka akan menyeru para pemangku kebijakan untuk introspeksi diri dan kembali pada pangkuan Ilahi agar bumi tak terus menerus menderita.
Seruan menuju jalan takwa tak akan pernah berhenti seiring jiwa yang terus melintas batas harapan. Di mana mereka mempersiapkan bekal di kampung akhirat, di kehidupan abadi kelak. Dunia hanyalah tempat meraup pahala dari segudang aktivitas yang ada. Kesadaran akan bencana yang melanda merupakan alarm untuk meningkatkan ketakwaan diri, masyarakat luas, dan juga negaranya. Sehingga, bekal yang diharapkan akan bisa diraih dengan mudah dalam suasana keimanan yang senantiasa terjaga.
Wallahu a'lam bishowab.[]