"Pembangunan yang kapitalistik dengan bertumpu pada prinsip kebebasan kepemilikan, riba dan investasi asing mendorong manusia hanya mengejar hasil. Aroma sekularisme jelas tercium, sehingga aturan Sang Khalik sama sekali tak dilirik."
Oleh. Deena Noor
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Dunia kini makin maju. Teknologi telah kian canggihnya. Alat komunikasi dan transportasi berkembang semakin pesat hingga bisa mempermudah dan mempersingkat waktu. Kota-kota di dunia saling berlomba menampilkan wajah modernnya. Berbagai fasilitas penunjang kehidupan dan gaya hidup manusia tersedia dalam beragam rupa.
Banyak pembangunan terjadi di mana-mana. Gedung-gedung tinggi menjulang mencakar langit. Pertokoan dengan interior mewah yang menyajikan berbagai macam kebutuhan. Jalan-jalan kota yang tertata rapi. Kendaraan canggih siap mengantarkan penumpangnya ke mana saja dalam waktu singkat. Manusia-manusia berlalu lalang dengan sibuknya seolah dikejar waktu.
Secara fisik, kemajuan itu tampak dari luarnya. Apa yang terlihat mata begitu luar biasa. Membuat mulut tak berhenti untuk berdecak kagum. Geliat perekonomian masyarakatnya juga hebat.
Namun, di balik kemegahan kota dan masyarakatnya tersebut terdapat kondisi sosial yang amat memprihatinkan. Kemajuan ekonomi nyatanya justru menghasilkan kemerosotan peradaban. Manusianya kaya, tapi tak bahagia. Kriminalitas merajalela, kekerasan terhadap perempuan dan anak meningkat, jumlah bunuh diri meninggi, angka pernikahan terus menurun, dan jumlah kelahiran rendah merupakan dampak dari kemajuan ekonomi semu ini.
Bila kita melihat fakta dan data yang ada, akan ditemukan bahwa ragam persoalan yang terjadi dalam hidup umat manusia kini makin meningkat dan kompleks. Teknologi boleh makin canggih, namun masalah yang muncul malah bertambah rumit. Kemajuan dalam berbagai bidang justru membuat manusianya semakin mundur moralitasnya
Terjadinya kondisi berkebalikan ini merupakan paradoks pembangunan ala kapitalisme. Kondisi inilah yang dinamakan Chicago Syndrome. Sindrom yang berakar pada persoalan krisis sosial, runtuhnya keluarga, dan masifnya pelibatan perempuan dalam lapangan kerja ini telah menyebabkan dekadensi moral yang parah.
Chicago sendiri merupakan kota terbesar ketiga yang ada di Amerika Serikat. Kota ini termasuk kota yang maju dan kaya. Namun, di balik gemerlapnya Chicago tersimpan kegelapan yang mencekam. Kota yang pernah dikuasai oleh gangster kelas dunia, Al-Capone, ini telah lama tercatat sebagai kota dengan pembunuhan paling banyak di AS. Chicago juga terkenal dengan tingkat kriminalitasnya yang tinggi di seluruh dunia. Angka bunuh diri dan penembakan pun juga terus meningkat. (tirto.id, 30/5/2016)
Visi Dunia yang Fana
Sindrom Chicago merupakan konsekuensi yang tak terelakkan dari pelaksanaan sistem ekonomi kapitalisme. Sistem yang berbasis materi ini mengabaikan hal-hal yang bersifat nonmateri. Pembangunan yang kapitalistik dengan bertumpu pada prinsip kebebasan kepemilikan, riba dan investasi asing mendorong manusia hanya mengejar hasil. Aroma sekularisme jelas tecium, dan memang inilah akar permasalahannya.
Manusia hanya membangun fisiknya semata, tapi lupa ada jiwa yang harusnya dirawat. Manusia sibuk membangun infrastruktur, namun melupakan aspek moralitas dan agama. Pembangunan kapitalisme hanya berorientasi pada kehidupan dunia. Setiap perencanaan dan pelaksanaan pembangunan diarahkan untuk mencapai keberhasilan dari sisi materi. Pembangunan ini mengabaikan dan meninggalkan aturan agama. Aturan Allah sama sekali tak dilirik.
Sebanyak apa pun pembangunan dilakukan, tak akan mampu menciptakan kesejahteraan yang hakiki bila aturan batil diterapkan. Sebaik apa pun pembangunan, tetap tak bisa menciptakan kehidupan manusia yang bahagia bila aturan Sang Pencipta ditinggalkan. Materi akan habis dan berganti, sementara keinginan manusia seolah tiada habisnya. Bila tak diatur oleh aturan yang benar, maka tak akan pernah didapatkan kepuasan dan ketenangan yang sejati. Hidup justru akan semakin jauh terjerembap dalam kubangan permasalahan. Firman Allah dalam surah Al-A’raf ayat 96 telah menegaskan bahwa: “Jika seandainya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, maka niscaya Kami akan membukakan untuk mereka berbagai keberkahan dari langit dan bumi. Namun, mereka mendustakan (para rasul dan ayat-ayat Kami). Sehingga Kami menyiksa mereka dikarenakan oleh apa yang selalu mereka kerjakan.”
Indonesia bisa juga berjalan ke arah sana, pada kondisi yang memperlihatkan paradoks pembangunan seperti di atas. Sebagai negara yang sekuler, Indonesia tak bisa mengelak dari segala konsekuensi penerapan sistem ini.
Kita bisa saja maju dalam berbagai bidang, namun problem makin pelik. Kriminalitas tak terbendung. Kita saksikan bahwa kaum perempuan kian banyak yang terjun ke dunia pekerjaan namun tak membuat mereka semakin sejahtera. Mereka tetap rentan terhadap bermacam tindak kekerasan. Anak-anak pun tak luput dari jerat kejahatan. Kemiskinan makin meningkat sebagaimana pengangguran. Kesenjangan kian melebar dari waktu ke waktu. Kemerosotan moral kian menjadi.
Bila tak segera dicari solusinya, maka Indonesia bisa benar-benar akan jatuh dalam buruknya kubangan kapitalisme. Berlama-lama di dalam sistem tak manusiawi ini akan membuat kebangkitan semakin sulit diraih.
Pembangunan Bervisi Akhirat
Pembangunan Islam berorientasi pada pembangunan manusianya menjadi hamba yang bertakwa. Bila pembangunan ala kapitalisme hanya berdimensi dunia, maka pembangunan menurut Islam memiliki visi jauh ke depan hingga akhirat. Sehingga, pembangunan yang dilakukan adalah untuk mewujudkan tugas manusia di dunia sebagai hamba Sang Pencipta yang hasilnya nanti sampai ke akhirat.
Syariat Islam menjadi satu-satunya panduan dalam melaksanakan pembangunan. Negara bertanggung jawab menjalankan pembangunan bervisi akhirat sesuai syariat Islam. Karena itulah, negara harus memastikan terjaganya 8 maslahah dhoruriyat, yang meliputi penjagaan agama, jiwa, akal, harta, kehormatan, keamanan, dan negara. Seluruh penjagaan tersebut adalah untuk setiap warga negaranya.
Dengan tanggung jawab penuh dalam mengelola seluruh sumber daya yang ada, negara akan mampu mendanai seluruh proyek pembangunan. Kekayaan alam yang merupakan milik rakyat tidak akan pernah diserahkan kepada asing atau swasta. Tidak ada celah dibiarkan, sehingga kapitalis bisa bermain.
Indikator keberhasilan pembangunan menurut Islam adalah dari tercapainya manusia yang bertakwa kepada Allah Swt., bukan dari megahnya bangunan yang dihasilkan. Keberhasilan pembangunan juga terwujud dalam penerapan aturan Allah secara lengkap. Tidak lagi masanya pembangunan menghasilkan manusia yang rusak karena jauh dari agama. Justru sebaliknya, agama mengatur manusia dalam menjalankan setiap langkah pembangunannya.
Dengan demikian, ada empat poin pembangunan ala Islam;
Pertama, konsep pembangunan adalah menjaga tauhid.
Kedua, tujuan dan fungsi pembangunan tidak boleh melenceng dari prinsip dasar, yakni syariat Islam.
Ketiga, negara adalah yang menjalankan pembangunan.
Keempat, sumber pendanaan adalah dari Baitul Mal.
Salah satu bukti kemajuan pembangunan ala Islam adalah kota Cordoba di Spanyol pada masa kekhilafahan dinasti Umayyah. Kota ini menjadi teladan bagi seluruh kota di Eropa. Cordoba merupakan kota yang indah, tenang, rapi, bersih, terang, dan enak dipandang mata. Sangat jauh dibandingkan dengan kota-kota di Eropa yang kebanyakan kotor, lembap, gelap, jalanan yang becek, dan banyak kejahatan mengintai.
Cordoba juga menjadi pusat ekonomi dan budaya. Kota ini memiliki 700 masjid, 60 ribu bangunan, dan 70 unit perpustakaan yang salah satunya memiliki lebih dari 400 ribu buku. Di kota ini juga terdapat Universitas Cordoba yang terkenal ke seluruh penjuru dunia. Tak heran bila ia menjadi pusat ilmu pengetahuan. Cordoba menjadi mercusuar dunia kala itu.
Semua kemajuan itu diraih dengan tetap bersandar pada syariat. Spirit untuk membangun demi membawa kemanfaatan untuk umat telah mewjud pada kemajuan dari sisi fisik dan manusianya. Pembangunan tak berfokus pada materi, namun pada bagaimana prinsip tauhid bisa terjaga. Tauhid inilah yang kemudian menjaga manusia tetap di jalan-Nya hingga berkah Allah pun terus tercurah.
Itulah pembangunan yang berorientasi akhirat. Membangun di dunia sebagai jembatan menuju surga. Tiada lagi kemajuan semu akibat sistem kufur. Tiada lagi penderitaan akibat pembangunan yang menghinakan manusia. Tiada lagi kesengsaraan akibat penerapan sistem yang dimurkai Allah.
Saatnya manusia kembali pada aturan yang diridai-Nya. Saatnya kita membangun dengan tetap mematuhi koridor syariat Allah. Saatnya pula kita memperjuangkan tegaknya kembali Daulah Khilafah yang akan menjadikan syariat kaffah mewujudkan pembangunan bervisi akhirat.
Wallahu a’lam bish-shawwab[]