"Perkara berbicara tidak bisa dipandang remeh. Lidah memang tak bertulang, tapi ia tajam bagaikan pedang. Ia bisa membuat orang masuk ke surga. Ia juga dapat menggelincirkan orang ke dalam neraka."
Oleh. Mariyah Zawawi
NarasiPost.Com-“Lisan adalah penerjemah hati.” (Ali bin Abi Thalib)
Ungkapan sahabat sekaligus menantu Nabi saw. itu memang benar adanya. Ucapan seseorang akan menerjemahkan perasaannya. Baik rasa suka, marah, benci, sayang, dan lainnya. Baik melalui diksi maupun intonasinya. Semua akan menunjukkan apa yang ada di dalam hatinya.
Sebagai seorang manusia yang mengaku beriman kepada Allah Swt., kita harus menjalankan setiap aktivitas berdasarkan aturan Allah. Termasuk saat berbicara. Sebab, asal dari perbuatan adalah terikat dengan hukum syarak.
Karena itu, saat hendak berbicara, kita harus mengetahui terlebih dahulu apa status hukum dari hal itu. Apakah yang kita ucapkan itu termasuk yang diperbolehkan? Jika yang kita lafalkan adalah ayat-ayat Allah, atau bacaan-bacaan zikir, tentu akan bernilai ibadah. Begitu pula, jika yang kita katakan adalah nasihat-nasihat yang mengajak orang untuk berbuat baik dan mencegahnya dari kemaksiatan, tentu termasuk ucapan yang baik.
Sebaliknya, jika yang keluar dari mulut kita adalah kalimat-kalimat yang buruk, tentu termasuk yang dilarang oleh Allah. Misalnya, gibah, mencela, atau memfitnah orang. Demikian pula, mengajak orang lain untuk berbuat buruk, misalnya menyarankan agar dalam belajar agama tidak terlalu dalam. Apalagi, jika ucapan itu terkesan melecehkan Sang Pencipta. Misalnya, dengan mengatakan bahwa Tuhan bukan orang Arab. Ucapan-ucapan seperti ini bisa menyeret seseorang ke dalam kemunafikan, bahkan kekufuran.
Inilah yang harus kita hadapi saat ini. Hari ini, esok, atau lusa, mungkin akan semakin banyak kalimat-kalimat menyakitkan hati yang akan kita dengar. Seolah mereka yang mengucapkan itu lupa bahwa kelak, semua akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah. Padahal, sudah banyak peringatan yang diberikan oleh Allah maupun Rasul-Nya. Di dalam Al-Qur’an Surat Qaaf [50]: 18, Allah Swt. berfirman,
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيْدٌ
“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya kecuali di dekatnya ada malaikat yang senantiasa mengawasi.”
Demikian pula di dalam Al-Qur’an Surat Al-Ahzab [33]: 70—71, Surat Al-Hujurat [49]: 12, dan Surat Al-Ahzab [33]: 58.
Rasulullah bahkan mengaitkan hal ini dengan keimanan. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah, Beliau saw. bersabda,
من كان يؤمن بالله واليوم الأخر فليقل خيرا او ليصمت
“Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia berkata baik atau diam.”
Juga di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang menjamin untukku apa yang ada di antara dua rahangnya dan apa yang ada di antara dua kakinya, niscaya aku jamin surga baginya.”
Demikianlah, perkara berbicara tidak bisa dipandang remeh. Lidah memang tak bertulang, tapi ia tajam bagaikan pedang. Ia bisa membuat orang masuk ke surga. Ia juga dapat menggelincirkan orang ke dalam neraka. Karena itulah, para ulama dulu sangat berhati-hati dalam berbicara. Mereka tidak akan berbicara, kecuali jika itu penting dan bermanfaat. Mereka menganggap diam itu emas. Sebab, akan mencegah mereka dari tergelincir ke dalam neraka.
Saking hati-hatinya, seorang perempuan pada masa tabiut tabiin tidak pernah berbicara, kecuali menggunakan ayat-ayat Allah. Apa pun yang ditanyakan kepadanya, akan dijawabnya dengan membaca ayat yang berisi jawaban atas pertanyaan tersebut. Abdullah bin Mubarak menceritakan kisah pertemuannya dengan wanita itu dalam kitabnya, Kifayatul Atqiya.
Demikianlah, seorang muslim seharusnya berhati-hati dalam berbicara. Ia harus memikirkannya terlebih dahulu. Menimbang-nimbangnya, apakah kata-kata itu patut diucapkan. Terlebih, jika ia adalah pejabat. Sebab, pejabat adalah wakil dari pemimpin yang mengangkatnya. Maka, ucapan yang keluar darinya akan dianggap mewakili sikap atasannya.
Seperti pernyataan-pernyataan para pejabat di negeri ini. Apa yang mereka ucapkan secara tidak langsung mengungkapkan pandangan mereka dan pemimpin mereka. Terutama menunjukkan bagaimana sebenarnya pandangan mereka terhadap Islam dan ajarannya.
Tentu, hal itu tidak terlepas dari sistem hidup sekuler yang mereka anut. Maka, mereka tidak menghendaki aturan-aturan Islam diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, dalam urusan ibadah sekalipun.
Karena itulah, mereka lontarkan pernyataan-pernyataan yang sejalan dengan pemikiran mereka. Pernyataan yang akan diamini oleh mereka yang belum memahami syariat Islam yang benar. Hal ini akan semakin menjauhkan umat dari Islam dan syariatnya. Padahal, sebagai orang yang mendapat amanah dari rakyat, seharusnya mereka menjaga umat dari berbagai hal buruk. Termasuk perkataan yang keluar dari pemikiran yang buruk.
Sayangnya, mereka belum memahami hal ini. Akibatnya, dengan entengnya mereka ucapkan kalimat-kalimat buruk itu. Mereka lupa, bahwa mereka kelak juga akan ditanya tentang apa yang telah mereka lakukan dengan lisan mereka. Padahal, diam lebih baik bagi mereka. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad,
عليك بطول الصمت فإنه مطردة الشيطان وعون لك على أمر دينك
“Hendaknya engkau memperbanyak diam. Sesungguhnya diam itu dapat menyingkirkan setan dan menolongmu dalam urusan agamamu.”
Wallaahu a’lam bishshawaab []
Photo : Unplash
Pengingat diri. Berfikir sebelum berkata dan bertindak,