Mempersiapkan Destinasi Terakhir Kehidupan

"Marilah kita merenung, sambil bertaubat atas segala kekhilafan kita, beriktikadlah menjadi orang orang yang berarti dalam menempuh destinasi terakhir. Semoga Allah istikamahkan kita dalam barisan agama ini."

Oleh. Ahsani Ashri

NarasiPost.Com-Mengarungi samudera kehidupan
Kita ibarat para pengembara
Hidup ini adalah perjuangan
Tiada masa tuk berpangku tangan
Setiap tetes peluh dan darah
Tak akan sirna di telan masa
Segores luka di jalan Allah
Kan menjadi saksi pengorbanan

Ketika saya mendengar pertama kali lirik lagu ini, terasa sekali maknanya sampai ke hati, mengingatkan kepada diri, bahwa semua manusia memiliki destinasi terakhir yang sama, yaitu kematian. Namun, ada satu hal membedakan, yaitu mati dengan keadaan sia-sia atau mati di dalam sebuah perjuangan membela agama Allah, laksana pesan yang tersirat di balik potongan lagu tersebut.

Semua manusia tentu merasakan takut ketika menghadapi kematian, terlebih kita yakin bekal kita masih kurang dalam menghadapinya. Rasa takut yang dilarang apabila rasa takut itu didasari terlalu cinta pada dunia sehingga melupakan akhirat atau dikenal dengan istilah penyakit al-wahn. Apa itu al-wahn? penyakit ini telah diisyaratkan oleh Nabi Muhammad saw. dalam sabdanya yang sahih, dari Tsauban, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda,

“Hampir-hampir umat-umat (kafir) menyeru untuk menguasai kalian (umat Islam) sebagaimana mereka memperebutkan makanan yang berada di dalam piring’.Seorang laki-laki berkata,‘Apakah kami waktu itu berjumlah sedikit?’ Beliau menjawab, ‘Bahkan jumlah kalian pada waktu itu sangat banyak, namun kalian seperti buih di lautan. Sungguh, benar-benar Allah akan mencabut rasa takut dari dada musuh kalian, dan akan menanamkan ke dalam hati kalian al-wahn’. Seseorang lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, apa itu al-wahn?’ Beliau menjawab, ‘Cinta dunia dan takut mati,” (HR. Ahmad, Al-Baihaqi, Abu Dawud)

Hadis ini menggambarkan keadaan umat Islam saat ini. Begitu banyak jumlah kaum muslim, namun mereka seperti buih di lautan. Mereka tidak dapat berbuat apa-apa untuk agamanya, sangat mudah diatur dan sangat mudah untuk dihancurkan. Rasulullah saw.juga menyebutkan bahwasanya, rasa takut orang-orang kafir terhadap kaum muslimin akan hilang, padahal seharusnya orang-orang kafir itu gentar terhadap kaum muslimin. Kaum muslimin sendiri pun merasa aneh dengan syariat, takut terhadap ajarannya, bahkan dengan sukarela menjadi antek-antek Barat untuk melancarkan misinya, yaitu menghancurkan umat Islam. Sungguh ironis!

Kita berasal dari umat yang satu, namun hari ini kita bercerai-berai. Ibarat sebuah pohon yang memiliki akar yang kuat dan kokoh, kini sudah terkoyak dan mudah terombang-ambing. Mengapa ini semua terjadi? barangkali kita lupa, bahwa musuh musuh Islam akan membuat kita seperti yang mereka inginkan, menjadi terpecah belah, kemudian dengan mudah agama kita diperolok-olok. Ingatlah, ketika kematian itu hendak menjemput kita, namun kita masih sibuk dengan perkara duniawi, kita tidak mau berdakwah, tidak sempat ikut berjuang,sehingga Islam masih dicampakkan sebagai aturan kehidupan.

Ingatlah pula bahwa kematian itu tidak dapat kita hindari, sekalipun kita pergi ke tempat paling terpencil, atau bersembunyi di balik benteng yang kokoh, tetap saja kematian akan menghampiri. Dahsyatnya kematian seharusnya menjadi renungan bagi setiap insan, Rasulullah sebagai manusia yang agung dan sangat Allah cintai, masih dapat merasakan dahsyatnya ketika ajal tiba. Rasulullah pun berkata alangkah pedihnya maut, hingga malaikat Jibril tak kuasa memandang wajah Rasulullah. Rasulullah pun tiada henti berdoa agar diringankan sakaratul mautnya.

Imam Ghazali dalam Dzikrul Maut Wa Maa Ba’dahu, menggambarkan betapa Rasulullah merasakan kepedihan yang sangat, bahkan tampak rintihan dari beliau hingga warna kulit belia berubah. Dahi beliau juga berkeringat, hingga tarikan dan embusan nafasnya mengguncangkan tulang rusuk kanan dan kiri beliau sehingga orang-orang yang menyaksikan beliau menangis melihat beliau berjuang menahan rasa sakit.

Saking sakitnya sakaratul maut, diigambarkan sama dengan tiga ratus kali tebasan dengan pedang. Astagfirullahaladzim. Pertanyaannya, saat ajal hendak menjemput kita, sudahkan kita siap menghadapinya? sudahkah kita mengisi waktu dengan optimal dalam setiap kewajiban yang Allah perintahkan? sudahkan kita memberikan waktu, tenaga, harta, pikiran yang terbaik untuk memperjuangkan agamaNya?sudahkah kita memaksimalkan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan?

Jika belum, marilah kita merenung, sambil bertaubat atas segala kekhilafan kita, beriktikadlah menjadi orang orang yang berarti dalam menempuh destinasi terakhir. Semoga Allah istikamahkan kita dalam barisan agama ini. Wallahu’alam[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Ahsani Annajma Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Menakar Keampuhan Pancasila
Next
Nasib Guru Honorer di Sistem Sekuler
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram