Emak

"Suara Emak seketika menghilang. Langit kembali menatap Emak dengan kalut sembari memandu Emak membaca kalimat tauhid dan syahadat. Pak Mantri segera memeriksa denyut nadi dan jalan napas Emak. Stetoskop yang tepat di dada Emak membuatnya geleng-geleng kepala."

Oleh. Afiyah Rasyad
(Kontributor Tetap NarasiPost.com)

NarasiPost.Com-"Langit, pulang! Emakmu kesambar petir."

Suara Mak Ijah bagai halilintar yang menyerang indera pendengaran Langit. Setengah kaget, setengah tak percaya, Langit mengangguk ke arah Mak Ijah. Kakinya tiba-tiba lemas seakan tak bertenaga. Dengan gemetar, langkah lebarnya menyalip Mak Ijah yang jalan satu-satu. Dia lupa izin pulang terlebih dahulu pada guru di sekolah.

Kabar itu membawa raganya segera menghilang dari pandangan teman-temannya. Dada Langit bergemuruh mendengar kabar tak sedap ini. "Kenapa harus Emak?" Berbagai pertanyaan menari dalam altar pemikirannya yang semakin kusut masai. Langit bergegas dengan setengah menyeret kaki lemasnya, efek mendengar kabar tak diharapkan itu.

Mak Ijah yang jauh tertinggal di belakang merasa janggal dengan Langit. Bukankah dia biasanya naik sepeda, kenapa dia berjalan seribu bayangan begitu. Ke mana sepeda kayuhnya? Napas Mak Ijah tersengal-sengal balik ke desanya dengan jarak 2 kilometer dari sekolah Langit. Tentu saja napasnya tersengal, 4 kilometer ditempuh bolak-balik oleh fisiknya yang telah renta tak menafikkan rasa capek yang teramat sangat. Nasib baik untuk Mak Ijah, dia berjumpa Datuk Kahar, dia dibonceng adiknya itu pulang ke rumah.

Bulir keringat sebesar biji jagung menghiasi wajah dan tubuh langit. Riuh tetangga di halaman rumah menyambut kedatangannya yang semakin merasa tak karuan. Para sesepuh telah berkumpul di teras depan. Mereka memberi jalan pada Langit agar mendekat pada ibundanya. Hatinya merasa diremas-remas, ada semacam perasaan tak sanggup menerima kenyataan sehingga kakinya tertahan tuk melangkah menuju bilik Emak. Segala macam pikiran berkecamuk tak karuan. Detak jantungnya seakan berpacu di arena perang. Langit menengadahkan wajah ke langit yang digelayuti mendung hitam.

"Masuklah, temui emakmu, Le!" Mak Ijah sudah tiba di rumah Langit. Dia menepuk pundak langit dari belakang.

Kepala Langit tertunduk, lalu segera melangkah menuju bilik emaknya. Di sana, ada Mak Ti, tangan lincahnya membebat kaki Emak yang sudah ungu kebiruan. Wajah Emak pun ungu kebiruan. Meripatnya terpejam rapat hanya ada dengkuran halus yang begitu lirih nyaris tak terdengar.

"Sudah mulai normal napas Emakmu. Tapi, dia belum sadar juga. Mungkin sebentar lagi Pak Mantri datang, Le seng sabar, yo!" Mak Ti menyampaikan kondisi Emak pada Langit.

Nanar mata Langit menatap sekujur tubuh Emak yang membiru. Remuk dirinya mendapati Emak yang sudah melewati usia paruh baya menderita begitu. Terlintas bayangan Emak saat mencurahkan telaga kasihnya yang tak pernah kering. Tak sekali pun Emak memakinya meski jengkel akan kelakuan bebalnya. Lautan kesabaran Emak selalu siap menghalau terjangan badai dan ombak. Bahkan, saat dirinya dikeluarkan dari sekolah karena tuduhan tanpa bukti, hanya emak dan bapak yang mempercai dirinya.

Tubuh jangkung Langit perlahan mendekati Emak. Namun, Mak Ti menyarankan jangan terlalu disentuh khawatir efek petir masih membuat tumbuh Emak sakit. Langit menjatuhkan pilihan duduk di sebelah kanan Emak. Dengan penuh khidmat, dia salami tangan Emak yang agak kaku dan diciumnya dengan penuh linangan air mata. Tak pernah Langit bersedih, namun melihat tubuh Emak terbujur tak berdaya berhasil membuat jiwanya goncang.

"Langit, ke surau! Sudah mau Maghrib."

Suara Emak terngiang di gendang telinganya. Meski Langit telah lulus SMP, namun dia selalu lelet dalam beraktivitas. Sehingga, Emaklah yang menjadi alarm baginya. Emak akan marah jika ia enggan ke surau. Bagi Emak, mending dia tak usah sekolah jika tak mau ke surau untuk mengkaji Islam pada Wak Mamad.

Langit menatap Mak Ijah yang cekatan mengemasi beberapa pakaian Emak, termasuk alat makan dan termos. Ada tetangga lain yang menyiapkan bantal dan selimut. Langit tak berdaya melihat keadaan Emak yang sangat memprihatinkan. Setangkup harap larut dalam lantunan doa yang Langit lafazkan tiada henti. Dia berharap Emak kembali sembuh dan membersamainya hingga nanti. Langit tak kuasa jika hidup tanpa Emak.

"Al-jannatu tahta aqdamil ummahat."

Hadis itu terngiang di telinganya. Wak Mamad senantiasa memberi petuah untuk berbakti kepada kedua orang tua, terutama kepada ibu karena surga ada di bawah kakinya. Sementara Langit merasa sama sekali belum berbakti pada Emak. Air mata kembali luruh. Mak Ijah mentap Langit penuh iba. Tak pernah ia melihat Langit sesedih itu, bahkan saat bapaknya wafat enam bulan lalu.

Sorot pandangan penuh cinta terpancar dari mata Langit. Air mata penyesalan tak maksimal taat pada Emak menghantam jiwa dan nalurinya. Doa-doa terus Langit ucapkan dalam sunyinya perasaan. Mak Ijah membawakannya air putih untuk melepas dahaga yang mendera. Air seteguk tak mampu menghapus kerontangnya perasaan Langit kala menatap Emak masih setia menjadi kembang lincak.

Suara sirine ambulance meraung memecah sunyinya siang yang diselimuti mendung. Pak Mantri datang untuk memeriksa Emak dan membawanya ke rumah sakit agar Emak segera mendapat pertolongan. Mak Ijah meminta Langit bergegas mandi, berganti pakaian, dan salat Zuhur. Langit menurut.

Emak tetap tidak sadar meski Pak Mantri mencoba memberi pertolongan. Selang infus sudah dipasang di lengan Emak saat Langit usai berganti pakaian. Di sana sudah ada Wak Mamad dan guru SMA-nya. Langit segera meraih tangan kedua gurunya dan mencium punggung tangan guru-gurunya dengan penuh penghormatan. Wak Mamad ke sana karena memang rumahnya bertetangga dan baru dapat kabar ihwal Emak yang tersambar petir. Sementara guru SMA-nya mengantar sepada kayuh yang tadi ditinggal di sekolah.

"Ngit, kau baca surat Yasin di telinga emakmu setiap lepas salat. Jaga dia, jangan kau tinggal-tinggal," kata Wak Mamad menasihati murid kesayangannya itu.

"Semoga Allah kuatkan emakmu, memberinya kesembuhan dan kesehatan," Doa Wak Mamad tulus diamini para tetangga yang mendengarnya.

Langit segera masuk ke ambulance setelah semua perlengkapan dimasukkan. Mak Ijah turut serta. Meski ia tetangga biasa, namun Mak Ijah lebih dari sekadar tetangga. Kebaikannya sejak keluarga Langit tiba di kampung itu, Mak Ijah rela menjadikan sebagian rumahnya sebagai tempat tinggal keluarga Langit tanpa sewa. Sampai akhirnya, keluarga Langit mampu membeli sepetak pekarangan di samping Mak Ijah dan membangun rumah sederhana beralas tanah.

Perjalanan ke rumah sakit membawa Langit pada masa bahagia bersama Emak. Bayangan-bayangan itu menari di pelupuk matanya yang sembab. Sementara Emak masih bertahan dalam ketidaksadarannya. Zikir dan doa tak lepas dari lisan Langit. Tubuh Emak tak hanya membiru kini, tapi gosong, sekujur tubuhnya berwarna hitam. Hati langit kian perih membayangkan gerbang perpisahan di depan mata.

Langit memohon izin pada Pak Mantri untuk memeluk Emak. Tentu saja Pak Mantri mengizinkan. Langit segera duduk di lantai ambulance dan memeluk dada Emak erat. Linangan air mata kembali menghiasi kedua pipinya. Lirih Langit bacakan doa-doa dan kalimat thayyibah, termasuk syahadat dan kalimat tauhid seperti yang disampaikan Wak Mamad.

"Maafkan aku, Mak! Masih sangat kurang baktiku padamu. Jangan tinggalkan aku, Mak!" Langit memohon dengan berbisik di telinga Emak.

Mak Ijah merasa tersayat hatinya demi mendengar ratapan Langit. Belum lama dia ditinggal bapaknya, kini Emaknya pun tak sadarkan diri. Betapa kasihan Langit. Dia teringat anaknya yang meninggal saat tenggelam 16 tahun silam. Kalau masih hidup, mungkin anaknya seusia Langit. Tak terasa, air mata Mak Ijah ikut mengalir deras. Langit tak henti melafazkan kalimat thoyyibah. Dia belajar menerima keadaannya kini.

Hujan mulai turun mengiringi perjalanan mereka ke rumah sakit. Tangan Emak sedikit bergerak, namun meripatnya masih tertutup rapat. Langit menggenggam tangan Emak erat. Rona kebahagiaan mulai menelusup di hatinya. Ia semakin kuat melangitkan doa di antara derasnya tetasan air yang jatuh ke bumi. Belum sampai separuh perjalanan, Emak berucap dalam kondisi terpejam, uacapan terbata-bata.

"La … la … ngit … te … gak … kan Islam."

Suara Emak seketika menghilang. Langit kembali menatap Emak dengan kalut sembari memandu Emak membaca kalimat tauhid dan syahadat. Pak Mantri segera memeriksa denyut nadi dan jalan napas Emak. Stetoskop yang tepat di dada Emak membuatnya geleng-geleng kepala.

"Innalillahi wainna ilaihi rojiun. Maafkan kami tidak bisa menolong Bu Sumayyah!" Pak Mantri memegang pundak kanan Langit.

Kalimat istirja' kompak diucapkan Langit dan Mak Ijah. Luruh dunia Langit. Air mata semakin deras mengalir. Langit semakin erat memeluk Emak. Hujan begitu deras, ambulance berbalik arah mengantar jenazah Emak pulang, langit luas seakan ikut berduka atas pulangnya seorang emak yang selalu mendampingi anaknya dengan penuh ketabahan dan kesabaran, apa pun kondisinya.

Tetangga yang sudah pulang ke rumah masing-masing kembali keluar menuju rumah Langit. Banyak tetangga yang histeris merasa tak rela Emak wafat. Emak memang dikenal sangat baik pada para tetangganya. Dia dikenal sebagai sosok yang tidak mau dan tidak suka menggunjing saudara dan tetangganya. Emak selalu mengajak pada kebaikan dan mengajak mereka berpikir urusan kaum muslim lainnya. Dia ringan tangan, menolong siapa saja tanpa diminta dan tanpa pamrih. Bahkan, Emak selalu menjadi tempat penitipan anak-anaknya saat mereka ke ladang atau ke sawah.

Jenazah Emak langsung dimandikan dan dikafani. Lepas Asar, kuburan Emak sudah siap. Semua tetangga berduyun-duyun ikut mensalati Emak dan mengantarnya ke kubur. Walau hujan deras mengguyur bumi, para tetangga, bahkan tetangga kampung sebelah ikut ke proses pemakaman Emak. Jenazah Emak begitu cepat tiba di kubur. Langit benar-benar merasa kehilangan, namun ia teringat pesan Emak untuk menegakkan Islam.

Maka, Langit harus menerima kenyataan itu. Cepat atau lambat perpisahan dengan orang tuanya akan datang. Dia harus melaksanakan wasiat Emak yang memang menjadi kewajiban bagi tiap muslim. Usai pemakaman, Langit berazzam akan menjadi pembela Islam seperti permintaan terakhir Emak. Langit bertekad kuat akan melapangkan dadanya sesulit apa pun sampai ajal menjemput.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Penulis Inti NarasiPost.Com
Afiyah Rasyad Penulis Inti NarasiPost.Com dan penulis buku Solitude
Previous
Korupsi, Karma Demokrasi Tak Bersolusi
Next
Pungli: Memperkaya Diri dengan Cara Tak Terpuji
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram