Rasa bersalah bukan dihadapi dengan penyesalan berlarut-larut hingga menimbulkan keputusasaan, namun harus dilawan dengan sikap-sikap yang cerdas.
Oleh. Astuti Rahayu Putri
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Siapa yang tak pernah melakukan kesalahan? Tentu semuanya akan menjawab pernah. Bahkan sekelas nabi pun pernah melakukan sebuah kesalahan. Seperti Nabi Adam yang melakukan kesalahan dengan memakan buah yang dilarang Allah Subhanahu wataala sehingga ia pun diturunkan ke bumi. Kemudian Nabi Yunus yang meninggalkan umatnya sehingga ia ditelan ikan paus. Apalagi, kita ini yang levelnya hanya sebagai manusia biasa. Walaupun manusia diciptakan dengan kesempurnaannya, namun Allah telah menakdirkan manusia juga memiliki kelemahan. Allah Subhanahu wataala berfirman,
“Allah-lah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dan Dia Maha Mengetahui, Maha Kuasa.” (TQS. Ar-Rum {30}: 54)
Kelemahan pada diri manusia bukan hanya menyangkut kelemahan fisik saja, akan tetapi juga menyangkut kelemahan psikis atau mental. Sehingga dengannya manusia menjadi sangat labil, di mana hatinya mudah dibolak-balikkan oleh keadaan. Di titik ini setan sangat mengerti kelemahan manusia. Melalui segala tipu dayanya yang andal, menjadikan manusia rentan terjerumus dalam perbuatan salah dan dosa.
Setelah berhasil menjebak manusia dalam sebuah kesalahan. Godaan setan tak akan berhenti sampai di situ. Setan akan terus melakukan aksi liciknya dengan membuat manusia terlena akan segala kesalahannya atau menghadirkan rasa bersalah yang amat dalam sehingga merasa putus asa. Rasa bersalah ini yang malah membuat manusia semakin jauh dari pintu rahmat dan kasih sayang Allah. Jadilah manusia kian terpuruk dalam jeratan kesalahannya.
Mungkin kita pun pernah merasakannya. Merasa diri ini sudah terperangkap dalam sebuah jurang kesalahan yang sangat dalam dan gelap, tanpa ada harapan akan mendapat pertolongan. Hanya bisa diam dan tak ada yang bisa dilakukan, selain menghakimi diri sendiri bahwa begitu bodoh dan hinanya diri ini. Tersesat dalam celaannya sendiri, sehingga merasa buntu akan jalan keluar dari kesalahan-kesalahannya.
Padahal manusia dianugerahi akal yang membuatnya lebih istimewa dibandingkan makhluk lainnya. Melalui akal seharusnya manusia bisa memilih melawan atau hanya berdiam diri dengan kesalahannya. Karena sejatinya musuh terbesar kita bukanlah orang lain melainkan adalah diri sendiri.
Akan tetapi, tak semudah membalikkan telapak tangan. Karena terkadang kata tak seindah realitas. Namun bukan berarti mustahil untuk dilaksanakan. Kita butuh kekuatan dan keistikamahan untuk melawannya. Salah satu sumber kekuatan yang bisa kita andalkan adalah dengan bercermin pada kisah-kisah orang saleh terdahulu dalam memperjuangkan keimanannya. Seperti kisah inspiratif dari seorang sahabat Rasulullah, yaitu Ka'ab bin Malik, yang berhasil melawan rasa bersalahnya. Bahkan mampu membalikkan keadaan kesalahannya tersebut menjadi sebuah kemenangan.
Kisah Inspiratif Ka'ab bin Malik
Siapa yang tak kenal Ka'ab bin Malik. Salah seorang sahabat yang sangat dicintai Rasullullah karena keimanannya yang tak diragukan lagi. Sebab, namanya termasuk dalam daftar golongan orang-orang yang pertama masuk Islam. Selain itu, kontribusinya dalam membela agama Allah pun tak main-main. Ia tak pernah sekali pun absen memenuhi seruan jihad, terkecuali saat Perang Tabuk.
Di saat para sahabat lainnya dengan penuh semangat mempersiapkan keberangkatannya ke medan jihad. Ka'ab malah terlena dengan dunianya, dan tanpa disadari ia telah tertinggal jauh dan tak mungkin lagi dapat mengejar para sahabat yang telah berangkat menuju peperangan. Menyadari ketertinggalannya tersebut, Ka'ab pun diliputi rasa bersalah. Bagaimana bisa ia mangkir dari seruan jihad, padahal ia tak memiliki satu pun uzur syar'i yang memberatkannya? Lalu, bagaimana Ka'ab menyikapi kondisinya ini sehingga bisa kita jadikan sebuah pelajaran?
Pertama, sikap kejujuran Ka'ab ketika menghadap kepada Rasulullah setelah kembalinya beliau dari peperangan. Dikala para sahabat lainnya yang tidak ikut berperang mencari-cari alasan ketidakhadirannya, Ka'ab memilih jujur kepada Rasulullah bahwa sebenarnya tak ada satu pun uzur syar'i yang menghalanginya ke medan perang.
Poin penting yang bisa kita pelajari dari sikap Ka'ab ini adalah bagaimana ketika melakukan sebuah kesalahan kita harus jujur terhadap diri sendiri ataupun orang lain. Namun, terkadang kita malah memilih untuk berbohong demi menyelamatkan diri. Padahal Allah Subhanahu wataala memerintahkan kepada kita untuk selalu berkata benar.
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar." (TQS. Al-Ahzab: 70)
Kedua, sikap tawakal Ka'ab ketika menghadapi konsekuensi dari kesalahannya tersebut. Memilih berkata jujur akan kesalahannya, tidak berarti Ka'ab dimaafkan begitu saja. Rasulullah memberikan konsekuensi berupa pengasingan selama 50 hari kepada Ka'ab dan 2 sahabat lainnya yang memilih jujur.
Rasulullah ﷺ pun bersabda, "Karena dia sudah berlaku jujur, maka berdirilah sampai Allah memberi keputusan tentangmu."
Seluruh keluarganya, sahabatnya, bahkan di 10 terakhir masa pengasingannya istrinya pun sama sekali tidak boleh berinteraksi dengan Ka'ab. Ini merupakan ujian keimanan yang berat bagi dirinya. Apalagi godaan pun ikut menyertai. Di masa pengasingannya, ia mendapat ajakan dari seorang Raja Ghassan untuk ikut dengannya dan dijanjikan kemuliaan serta kedudukan. Namun, Ka'ab lantang menolak ajakan tersebut walaupun sebenarnya dirinya sudah lelah dengan pengasingan yang begitu menyiksa.
Ka'ab konsisten mengisi masa pengasingannya dengan beribadah kepada Allah dan bertawakal untuk mendapatkan ampunan dari-Nya. Tepat di hari terakhir masa pengasingannya, turunlah surah At-Taubah ayat 117-119, di mana dalam surah tersebut disampaikan bahwa Allah telah menerima tobat Ka'ab beserta dua sahabat lainnya. Betapa bahagianya dan bersyukurnya Ka'ab mengetahui bahwa Allah Subhanahu wataala sendiri yang menjawab tobatnya.
Poin penting yang kita bisa pelajari dari sini adalah bahwa ketika kita mengakui kesalahan kita dan ingin bertobat, bukan berarti kita lepas dengan yang namanya ujian. Bahkan, bisa saja ujian yang menerpa malah lebih keras dari sebelum-sebelumnya. Ini tandanya Allah sedang menguji level keimanan kita, apakah kita bertahan atau malah menyerah. Ingatlah, Allah Subhanahu wataala berfirman di dalam Al-Qur'an,
”Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka. Maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta." (TQS. Al-Ankabut: 2-3)
Kemudian, bersama ketakwaan yang penuh terhadap Allah Subhanahu wataala maka akan terbentang jalan keluar bagi masalah maupun kesedihan kita. Begitulah rumus kesuksesan yang ditunjukkan Allah kepada kita.
“Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya." (TQS. At-Thalaq: 2-3)
Sebagai wujud rasa syukur Ka'ab karena tobatnya diterima, seketika itu ia menyedekahkan hartanya di jalan Allah. Ia pun menghabiskan sisa hidupnya dengan selalu memegang teguh kejujuran. Bahkan beliau merupakan orang yang pandai menggunakan lisannya untuk mengajak manusia kepada Islam. Begitulah hebatnya Ka'ab yang berhasil memperbaiki kesalahannya sehingga menjadikan dirinya layak memperoleh kemenangan.
Khatimah
Allah Subhanahu wataala sebagai Sang Khalik tentunya yang paling mengerti kelemahan kita. Di saat kelemahan itu muncul sebenarnya Allah akan selalu memberikan solusi bagi kita. Solusi itu bisa datang dengan berbagai cara. Salah satunya dengan bercermin pada kisah-kisah inspiratif orang-orang terdahulu.
Melalui kisah Ka'ab bin Malik di atas, kita belajar bahwa rasa bersalah bukan dihadapi dengan penyesalan berlarut-larut yang akhirnya malah menimbulkan keputusasaan. Rasa bersalah itu harus dilawan dengan sikap-sikap yang cerdas. Sehingga solusi pun akan Allah hadirkan dengan hasil yang melebihi ekspektasi kita.
Wallahu a'lam bishawab.[]
Buah dari penyesalan dan kesungguhan Ka'ab bertaubat atas segala khilafnya, membuat dirinya mendapat ampunan yang indah dari Allah Swt...
Pelajaran besar untuk tetap menjaga iman dan ketika bersalah harus siap menerima segala konsekuensi dan segera bertobat.
Betul mbak. Seharusnya seperti itu sikap seorang muslim ya, ketika bersalah maka berani mengakui kesalahannya lalu bertobat. Meski kadang tak semua orang mampu melakukannya.
Barakallah.. ada nasihat dan motivasi yang indah di dalam tulisan ini
Masyaallah. Banyak pelajaran yang bisa diambil dari kisah ini. Barakallah mba@Astuti
Masya Allah, nasihat yang luar biasa. Baarakallaah, mbak
Baraakallah Mbak Astuti ❤️
Saya suka kalimat ini, Rasa bersalah itu harus dilawan dengan sikap-sikap yang cerdas.
Keren.
Allahuakbar
Masyaallah, nasihat dari tulisan ini menembus ruang terdalam dalam diri, melecut optimisme agar tak fokus pada kesalahan dan harus memperbaiki kesalahan. Barokallah, Mbak
MasyaAllah kejujuran dan istiqamah dalam pertobatan..jadi muhasabah akhir tahun ini.. barakallah mb Astuti
Jazakumullah khayran telah menulis motivasi semenyentuh ini, apalagi di akhir tahun. Tulisan ini sekaligus muhasabah. Semoga hari-hari mendatang bisa lebih apik menata hari, tidak denial dengan kesalahan dan kekurangan, sebaliknya mengakuinya dan membuat resolusi-resolusi demi perbaikan kualitas hidup
Naskah keren
Semoga kesalahan yang pernah kita lakukan menjadi guru terbaik agar kedepannya lebih baik lagi dalam berbenah diri.