Ya Allah, ternyata baper, minder, endingnya adalah kuper. Sepertinya aku rindu menulis. Rindu sahabat-sahabat hebat yang selalu mengingatkan dalam kebaikan.
Oleh. Eno Wasiat
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Challenge ke-3 NP.
Pena di jemariku terus menari tak terkendali. Seakan ada tarikan magnet dari ujung pena di kertas tak bergaris. Aku memang terbiasa menulis di kertas sebelum mengetiknya. Deadline tinggal menghitung hari. Tak peduli diri ini yang masih fakir di dunia literasi. Lembar demi lembar tertulis lancar. Karena yang kugoreskan hanyalah sebuah kejujuran. Mengungkap semua kisah indah dan cerita duka yang pernah menyapa.
Masyaallah, keringat mulai menjalari ujung jemari. Kabut di netra ini mulai menyelimuti. Satu demi satu butiran bening menggelinding. Sesaat kuhentikan goresanku. Setitik bening jatuh tepat pada tulisan ikhlas. Ah, seperti drama. Namun ini nyata adanya. Kata ikhlas di kertas mulai memudar atau mblobor dalam bahasa Jawa. Segera kupindahkan tulisan ke aplikasi G Note di hape jadulku.
Mencari pojok yang aman dan nyaman mumpung si kecil sedang tidur nyenyak. Serius, fokus mengetik karena deadline tinggal menghitung jam. Air mata semakin deras mengalir. Tidak kusadari ada sepasang mata yang sedari tadi mengamati.
“Ma, WA sama siapa kok sampai mewek gitu?” tanya suamiku.
“Eh, kenapa, Pa?” jawabku gugup.
“Mama baik-baik saja?”
“Iya. Mama sedang nulis cerita.”
“Oh,” jawabnya sambil berlalu menuju tempat wudu.
Selesai mengetik dan membaca satu kali. Langsung aku kirim ke redaksi. Tidak sempat mengedit atau koreksi kembali. Apalagi aku belum kenal yang namanya self editing. Tulisan sederhana mengalir seperti cerita. Alhamdulillah lega. Selesai sesuai waktunya. Namun, ada sesuatu yang tak biasa ketika selesai menulis True Story. Ada beban yang tiba-tiba ringan. Ada rasa sakit yang tiba-tiba reda bahkan menghilang. Menulis terasa seperti healing. Masyaallah.
Sebelumnya aku belum pernah mengikuti challenge menulis di media seperti NP dan lainnya. Apalagi tulisan ideologis. Allah mempertemukanku dengan seseorang dalam sebuah kajian dan mengenalkan pada media dakwah dengan cara membuat tulisan. Challenge ke-3 NP merupakan karya pertamaku.
Bahagianya saat mendapat kabar tulisanku yang berjudul Mendekap Asa di Ruang NICU atas izin Allah terpilih sebagai pemenang pertama. Alhamdulillah, bisa berbagi kisah dan musahabah. Sekaligus sebagai terapi. Tak ada lagi mendung bergelayut di netraku saat aku berkisah. Berganti dengan rasa syukur yang semakin tak terukur.
Challenge ke-4 NP
Kembali aku mengikuti challenge ke-4 di rubrik True Story. Karena hanya tulisan ini yang pada saat itu aku mampu dan sukai. Pengetahuan menulisku masih terbatas. Belum terbiasa menulis motivasi, apalagi opini.
Sesaat anganku kembali pada kehidupan di pulau yang penuh tempat keramat. Kalimat demi kalimat mengalir cepat. Alhamdulillah, atas izin Allah tulisan keduaku yang berjudul Goresan Cakrawala Senja dipilih sebagai pemenang ke-2. Meskipun bukan yang terbaik, namun membawa energi yang luar biasa. Aku mulai merasakan nikmatnya menulis. Apalagi mengikuti berbagai komunitas penulis dan sharing ilmu dari para senior yang sudah berpengalaman.
Blacklist
Aku mulai memberanikan diri dengan tulisan selain True Story. Tetap setia kirim naskah di NarasiPost.Com. Karena belum banyak redaksi lain yang aku ketahui. Tulisan pertamaku tayang di sini. Dan semakin semangat membuat tulisan berikutnya. Naskah kedua aku kirim ke NP lagi. Lima hari berlalu belum juga tayang. Aku berpikir mungkin tulisanku kurang menarik. Karena memang masih amatiran. Segera aku tulis pesan singkat ke Pemred NP, Mom Andrea. Aku tulis bahwa aku menarik kembali tulisanku. Sudah merasa konfirmasi ke redaksi, langsung saja tulisan aku kirim ke media lain. Sungguh aku belum mengerti aturan/kode etik dalam hal ini. Dan beberapa menit kemudian tulisanku tayang di media lain.
Deg! Jantung ini terasa berhenti berdegup. Satu pesan singkat terbaca di notifikasi. Dari Mom Andrea. Aku masih sibuk membersamai murid-muridku belajar sore itu. Jadi tidak sempat membuka pesan dari aplikasi hijau. Beberapa anak tinggal menunggu jemputan, buru-buru kubuka pesan beliau.
“What’s? Aku dibilang plagiator? Sungguh, aku tak mengerti dengan tuduhan ini.”
Sekarang jantungku berdegub semakin tak terkendali menahan emosi. Plagiat adalah tindakan yang memalukan buatku. Seakan aku telah melakukan tindakan kriminal. Hal yang selalu aku hindari dari dulu saat di bangku sekolah. Saat SMP, aku pernah mendapatkan nilai nol. Aku tak malu. Lebih baik nilai jelek dari pada harus menyontek.
Tertegun melihat deretan kalimat kesal dan marah dari Mom Andrea. Sesaat hanya aku read. Karena masih fokus dengan beberapa wali murid yang datang dan menanyakan beberapa hal tentang anak-anaknya. Dan aku belum bisa fokus membaca semua pesan beliau. Takut salah jawab. Terakhir yang aku baca di notifikasi adalah, aku di-blacklist dari NarasiPost dan tidak boleh mengikuti challenge berikutnya. Astagfirullah … , ada apa, ya? Makin pening kepalaku. Menjawab pesan panas dari Mom Andrea, atau meladeni emak yang sedang curhat di depanku. Sementara kulirik di grup aplikasi hijau ramai sekali. Beberapa panggilan masuk tidak sempat aku jawab. Ya, Allah … help me, please …
Tetap berbaik sangka. Segera aku baca pesan Mom Andrea setelah semua muridku pulang sore itu. Mencoba mencermati kalimat demi kalimat. Masyaallah … , aku mulai mengerti apa yang terjadi. Aku terlalu buru-buru. Maafkan diriku yang masih fakir ilmu. Ternyata aku memplagiasi tulisanku sendiri. Segera aku meminta maaf ke Mom Andrea dan menjelaskan duduk masalahnya. Aku memang pendatang baru di dunia literasi. Belum banyak aturan yang aku pahami. Apalagi rumitnya urusan redaksi.
Permintaan maafku tidak dijawab. Baiklah, saya undur diri. Segera aku pamit dari grup. Kuterima semua dengan legowo.
Baper Membuat Minder
Sebagai new comer, aku merasa telah melakukan tindakan pelanggaran di dunia jurnalis. Beberapa hari merasa seolah aku ini adalah seorang kriminalis. Jemariku mulai ragu untuk kembali menulis. Ah, mungkin ini bukan duniaku. Sensitif melanda. Beberapa komentar teman seakan sedang menyindirku. Padahal belum tentu. Meskipun ada juga yang terus memotivasiku. Aku mulai mengurangi aktivitas di sosial media. Menghilang dari komunitas NP. Ketika postingan NP lewat di beranda Facebook, hanya aku scroll saja.
Wahai hati, ayo bangkit, dan kita tata kembali. Ya, mungkin cukup di sini kisahku dengan media ini. NarasiPost.Com. Terima kasih telah memberiku banyak pelajaran berharga dan inspirasi.
Untuk sementara waktu, aku menunggu dan menyibukkan diri dengan aktivitas lain seperti biasa. Karena Mom Andrea belum menjawab permintaan maafku. Dan kata-kata beliau tetap aku pegang. Mundur dari challenge NP berikutnya.
Ya Allah, ternyata baper, minder, endingnya adalah kuper. Sepertinya aku rindu menulis. Rindu sahabat-sahabat hebat yang selalu mengingatkan dalam kebaikan. Aku mulai bergabung dengan komunitas baru. Kadarullah aku diberi kesempatan membina dan menyampaikan sedikit ilmu jurnalistikku kepada santri-santri di pondok anakku. Bersama mereka membangkitkan kembali girah para santri yang menyukai dunia literasi. Dan ternyata salah satu penyembuh luka yaitu dengan memafkan diriku sendiri. Suatu ketika aku melihat postingan NP lewat di beranda FB-ku. Jari ini otomatis mengetuk like dan mulai tertarik membaca isinya.
Ternyata kisah Mom Andrea. Masyaallah, ternyata beliau juga memiliki kisahnya sendiri. Kami benar-benar makhluk yang lemah. Butuh kasih sayang Allah pada setiap langkah. Harus rida.
Suatu hari tiba-tiba ada pesan singkat dari Mom Andrea. Sudah lama tak pernah berkomunikasi.
“Hai, Eno. Kok nggak ikut challenge lagi? Kamu ‘kan sering menang?”
Deg. Masyaallah, kaget dan bahagia. Mungkin ini cara beliau memaafkanku. Dengan pertanyaan seperti itu berarti saatnya pembebasan dari status blacklist. Kusambut sapaan itu dengan alasan yang aku buat sendiri. Aku tak mau mengungkap kembali kejadian tak mengenakkan saat itu. Bagaimanapun NP adalah media yang pertama kali menghidupkan jiwa menulisku setelah beberapa tahun mati suri. Dan telah membuatku jatuh cinta pada tulisan pertama.
Challenge ke-7 NP, kembali kugoreskan pena penuh gelora. Semua uneg-uneg yang berkecamuk di dada mengalir begitu saja. Alhamdulillah, meskipun bukan yang terbaik, Kesaksian Marni terpilih sebagai pemenang ke-3. Dan hadiahnya berupa piala. Hahaha … cukup unik. Bukan hanya aku yang bahagia, tetapi murid-muridku juga merasakan hal yang sama. Piala sebagai salah satu hadiah, seolah berlomba dengan mereka yang masih sekolah. Bahkan mereka selalu antusias membaca buku yang ada tulisanku.
Ya Allah, semoga bisa menginspirasi para generasi. Mengajak mereka berpikir kritis dengan tulisan ideologis. Jadikan menulis sebagai candu yang nikmatnya membuat rindu. []
Masyaallah. Cerita bapernya bikin yang baca jadi terharu. Barakallah mba@Eno.
Maaf "dari sononya" begini nih, Kalau ngetik ada si bocil di samping
Ya Allah mbak, keren banget, memang mbk dari sosonya udah berbakat, mmg segala sesuatu yang dimulai dari rasa suka akan membuat kita gembira... Wah Semoga suatu saat Mom Andrea mengundang mbak jadi narasumber, saya terkesan
"I know about blacklist"
Sebuah pelajaran berharga Mbakkuh. Semangart selalu Mbak Eno Wasiart. Love u coz of Allah
MasyaAllah tabarakallah mb Eno ceritanya nano-nano..keren
Semoga tidak baper dan minder lagi semangat ya
Masyaallah hebat luar biasa pertama kali menulis langsung di media keren dan bergengsi.
Masyaallah, barakallah mbak Eno. Keren tulisannya.
Masyaallah...Aku baca ini sambil deg2an, ikut sedih banget ke hati. Gak bisa bayangin jika aku yang berada di posisi ini mungkin gak secepat itu aku bisa bangkit lagi. Keren mbak, suasananya bisa berasa banget ke pembaca... Barokallah mbak Eno...
Keren mba.
Masya Allah ....
Baarakallaah Mbak ....
Masyaallah keren naskahnya.
MasyaaAllah.. barakallah Mba.. serasa baca cerpen,, aku pun hanyut merasakan betapa sedihnya diblacklist itu..
Move on mu keren mbak, penggambaran emosinya kuat banget. Kalau aku keknya gak bisa nulis seperti itu. Hehe
Barakallahu fiik mbak Eno. Senang baca tulisan mbak. Semoga makin melejit dan bisa menghasilkan karya lain. Aamiin