"Dulu ia mengenal gadis itu ceria, suka bermain bersama anak-anak di bawahnya, dan bersahaja. Kini meski ia mengakui gadis itu jauh lebih cantik dan menarik, tetapi prinsip 'no child' benar-benar mengganggu pikirannya."
Oleh. Choirin Fitri
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com- Aku mau menikah denganmu asal kau jangan menuntut aku melahirkan anakmu."
Vanesa berkata santai pada seorang laki-laki yang terbengong-bengong mendengar ucapannya. Ia tak peduli. Baginya memiliki anak pasti sangat merepotkan. Terlebih, bisa menghancurkan karier dan badannya yang dirawat sepenuh hati.
Rafli menelan ludah. Pahit terasa. Sebenarnya ia tahu wanita yang ada di depannya memiliki prinsip 'no child', tetapi mendengar sendiri ternyata lebih pahit. Laki-laki berambut ikal itu menghela napas berat. Mengusap mukanya dengan kasar. Tak ada kata yang bisa ia jawab seketika.
Vanesa sibuk memperhatikan kuku-kuku di jemari lentiknya. Sesekali ia menengok ke arah lawan bicaranya yang kehabisan kata. Baginya tak ada yang perlu ditutupi. Jika mau menjadikannya istri, prinsip 'no child' adalah harga mati.
"Gimana? Kamu sanggup?" akhirnya setelah lama tak ada tanggapan, gadis itu bicara.
Rafli gamang. Kalau bukan karena wasiat ayah si gadis untuk melanjutkan perjodohan yang telah dilakukan kedua ayah mereka, ia mungkin akan lari. Buat apa menikah kalau tidak menghasilkan keturunan? Pertanyaan itu masih belum bisa terjawab jika gadis yang hendak dijadikannya istri punya prinsip yang berseberangan dengannya.
"Kalau kamu enggak mau segera jawab, aku pergi lho! Aku ada janji untuk menicure pedicure," ucap Vanesa mengambil tas mungil yang tergeletak di meja.
"Baik, aku…."
"Aku apa?" Vanesa tidak sabar.
"Aku akan mencoba memahami prinsip hidup kamu. Insyaallah, kita segera menikah."
"Jawab gitu aja, lama amat," ucap Vanesa kesal, "Aku pergi dulu ya! Jangan lupa ajak keluargamu ke keluargaku segera!"
Rafli mengangguk. Ketika lawan bicaranya menghilang dari pandangan, ia mengacak-acak rambutnya. Ia tak habis pikir teman masa kecilnya akan menjadi jodohnya. Apalagi perubahan yang terjadi jauh dari ekspektasinya.
Dulu ia mengenal gadis itu ceria, suka bermain bersama anak-anak di bawahnya, dan bersahaja. Kini meski ia mengakui gadis itu jauh lebih cantik dan menarik, tetapi prinsip 'no child' benar-benar mengganggu pikirannya.
Rafli menuju kasir. Membayar tagihan makan yang belum sempat dimakan dan minta dibungkus saja. Ia segera berlalu. Bungkusan makanan diberikan pada seorang anak yang sedang mengamen di lampu merah.
Mobil berwarna metalik melaju. Dalam kurun waktu sepuluh menit berhenti di pelataran rumah yang tampak asri. Ia mengucap salam pada seorang wanita yang dipanggilnya ibu.
Secangkir teh hangat disuguhkan Bu Nanik pada putra sulungnya. Sepiring kue brownies yang masih hangat juga diletakkan di atas meja.
"Tidak biasanya kamu mengunjungi ibu di jam-jam sibuk seperti ini, Le?"
"Iya, Bu. Maafkan Rafli yang jarang menengok ibu!" Rafli menjawab setelah meneguk teh melati buatan ibunya.
"Pasti ada hal penting yang mau kamu sampaikan," ucap Bu Nanik sembari mengulurkan sepiring kue brownies, "Makanlah! Ibu baru saja membuatnya, masih hangat."
Rafli mencomot sepotong kue dan memakannya lahap. Rasanya seperti sudah lama sekali ia tak memakan kue seenak ini. Sepotong habis, ia ambil potongan berikutnya. Hingga, lima potong yang disuguhkan ibunya tandas.
"Kamu ini lapar atau memang doyan?"
"Dua-duanya, Bu," ucap Rafli cengengesan.
Bu Nanik hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah putranya yang telah berusia kepala tiga.
"Jadi, kamu kapan nikah? Sudah ketemu Vanesa kan? Makin cantik ya dia?"
"Kereta saja kalah kalau ibu sudah bertanya," ujar Rafli tertawa. Ibunya pun ikut tertawa.
"Benar yang ibu bilang, Vanesa memang cantik, tapi…."
"Tapi, apa? Lamaranmu ditolak? Kok, bisa?"
"Bu, jangan menyela dengan pertanyaan dulu, biar Rafli ceritakan."
"Iya, iya, maaf!"
Mengalir dari bibir Rafli perbincangan dengan Vanesa dan prinsip hidupnya. Ibunya menyimak sambil geleng-geleng kepala. Tak habis pikir di zaman sekarang ada pemikiran semacam itu.
"Le, kamu enggak bisa mengelak dari perjodohan ini. Itu wasiat mendiang ayah Vanesa. Ayahmu sudah mengiyakan untuk menjadikannya menantu dan menjaganya saat ayahnya mau meninggal."
"Aku tahu, Bu. Hanya saja, tak mungkin kan aku tak memiliki keturunan? Aku juga ingin punya anak, Bu."
"Ibu mengerti, Le. Tapi, cobalah dulu! Ibu yakin setelah menikah, ia akan berubah pikiran."
"Kalau tidak?"
Bu Nanik menggidikkan bahunya. Rafli menarik napas dalam. Mau tak mau ia harus mengambil langkah. Dia merapal doa agar kelak setelah menikah, Vanesa akan berubah pikiran seperti kata ibunya.
"Gue bakal menikah." Vanesa menunjukkan cincin yang melingkar di jari manisnya.
"Wow, sama siapa? Kita-kita enggak pernah lihat lo jalan ama cowok, udah mau nikah aja. Jangan-jangan suami lo cewek ya?" Arsi menatap sahabatnya heran.
"Idih amit-amit. Gini-gini gue masih normal ya, Bestie! Gue enggak mau jalan sama cowok yang biasanya hanya doyan tubuh pacarnya. Setelah dihamili ditinggal. Heeemmm, ngeri banget itu," ucap Vanesa dengan wajah begidik ngeri.
"Trus, lo mau nikah sama siapa?"
"Jelas ama cowok lah. Cowok yang menerima prinsip hidup mati gue, 'no child'."
"Emang ada?"
"Ada. Nih buktinya," ucap Vanesa kembali memamerkan cincinnya, "Gue bakal menikah secepatnya. Lo tungguin aja ya tanggal mainnya!"
"Allahumma inni as’aluka min khoirihaa wa khoirimaa jabaltahaa ‘alaih. Wa a’udzubika min syarrihaa wa syarrimaa jabaltaha ‘alaih."
"Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu kebaikan dirinya dan kebaikan yang Engkau tentukan atas dirinya. Dan Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekannya dan kejelekan yang Engkau tetapkan atas dirinya."
Gemetar tangan Rafli memegang kepala Vanesa dan mengecup ubun-ubunnya. Selama ini ia tak pernah memegang wanita selain ibu dan adik perempuannya. Kini, ada istri yang di pundaknyalah terdapat tanggung jawab besar. Dunia akhirat.
Vanesa merasakan ada nano-nano rasa yang berkelindan dalam dirinya. Meski dia banyak bergaul dengan laki-laki di kantornya ataupun di tempatnya nongkrong, sungguh berbeda dengan sentuhan laki-laki yang telah menghalalkannya. Ada rasa nyaman dan aman yang tak bisa ia ungkapkan.
Setahun berlalu.
"Van, gimana udah positif?" Vanesa langsung tersedak saat makan malam di rumah bundanya.
"Aduh, maaf-maaf, kamu minum dulu, Nak!" Bunda Ana panik.
"No child, Mom. No child," sahut Vanesa setelah meneguk setengah gelas air putih.
"Heeemmm, padahal Bunda berharap kamu akan berubah pikiran setelah menikah. Ternyata…."
"Bun, Mas Rafli udah setuju dengan keputusanku sejak sebelum menikah. Aku enggak mau repot. Apalagi sekarang butikku sedang laris-larisnya."
"Tapi, Nak, buat apa kalian punya harta banyak jika kalian tak punya penerus?"
Vanesa acuh. Ia tetap melanjutkan makannya. Rafli yang baru keluar dari kamar mandi tertegun. Pertanyaan ibu mertuanya menohoknya. Selama ini ia belum merasa ambil pusing. Beberapa kali meminta agar Vanesa berhenti mengonsumsi pil KB tidak pernah sukses.
Pria itu merapal istigfar. Setahun ia menjadi kepala keluarga, nyatanya ia belum juga bisa menjadikan istrinya berubah prinsip. Hanya beberapa bulan ini istrinya mau menutup aurat dan mengalihkan butiknya menjadi butik muslimah. Prinsip istrinya belum juga berubah.
"Mas, ibu masuk rumah sakit. Saat menyebrang, ada yang menabraknya." suara perempuan di ujung telepon.
"Innalillahi wa inna ilaihi raajiiuun. Sharelok, Mas segera meluncur. Kujemput, Mbakmu dulu," sahut Rafli panik dan langsung mematikan telepon genggamnya.
Rafli segera melajukan mobilnya ke butik Vanesa. Ia telah memberikan pesan singkat agar istrinya siap dijemput. Keduanya segera menuju rumah sakit yang disampaikan adiknya.
Bu Nanik merasa senang sekali Rafli dan istrinya datang. Ruangan perawatan kini penuh dengan keluarga mereka. Ayah Rafli duduk di samping ibunya. Adik Rafli bersama si kembar yang berusia 4 tahun sibuk bermain di lantai. Adik iparnya pun turut serta.
"Ibu, senang sekali kalian mau menjenguk ibu," ucap Bu Nanik saat Rafli dan Vanesa bergantian mencium tangannya yang diperban.
"Ibu bagaimana? Bagian mana saja yang sakit?" tanya Rafli sembari mengamati kondisi ibunya.
"Alhamdulillah hanya lecet-lecet sedikit. Tidak lama lagi juga sembuh."
"Nenek cepat sembuh ya, biar bisa main lagi dengan kita!" ujar si kembar bersamaan.
Bu Nanik tersenyum gembira sambil mengangguk. Ia melihat Vanesa juga bermain bersama kedua cucunya.
"Sudah tiga tahun lewat. Kalian benar-benar tidak mau punya momongan? Coba lihat ibu! Ibu sudah tua, sering sakit-sakitan, ditambah lagi sekarang kecelakaan. Beruntung Ibu memiliki anak-anak yang baik seperti kalian. Kalau masa tua tidak punya anak, bagaimana? Mau ikut siapa?" Bu Nanik menangis sedu sedan. Ia pun merasa gagal. Padahal, selama ini ia sudah mencoba memahamkah menantunya tentang pentingnya memiliki keturunan. Bahkan, keyakinannya bahwa menantunya akan mengubah prinsip setelah menikah belum juga menunjukkan hasil.
"Bu, jangan menangis! Kami jadi merasa bersalah. Alhamdulillah, Vanesa sudah hamil satu bulan. Doakan yang terbaik ya, Bu!"[]