"Setiap pagi Wawan setia menyiram tanaman emasnya itu. Bahkan setiap malam Wawan rela begadang untuk menonton YouTube untuk mencari tahu trik-trik menyuburkan tanaman. Suatu hari Wawan mendapatkan ide untuk menambahkan bekas teh tubruk seduhannya ke dalam tanaman karena teh juga termasuk pupuk organik."
Oleh. Insaniyaah
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-"Wartakota melaporkan…2023 akan segera dimulai, bagaimana masa depan bangsa?"
"Amerika memprediksi bahwa beberapa negara akan mengalami resesi hebat,"
"Indonesia sendiri masih fifty fifty"
"Mah, berita di TV sama semua nih," sahut Wawan, pria dengan perut tambun yang sedang memencet remote tv dengan tangan kanannya.
"Iya berita yang lagi hot hotnya, Pak," timpal Wati yang tengah memotong kangkung di dapur. Jarak antara ruang TV dengan dapur itu bersebelahan.
"Apa sih emang resesi itu?" Wawan bertanya sambil menyeruput kopi arabica yang ada sedikit masam masamnya gitu.
"Bapak enggak tahu?" Wati menghampiri suaminya yang sedang asyik mengoper saluran berita sambil menikmati kopi di pagi hari.
"La, emang Mamah tahu gitu?" Wawan sedikit meledek.
"Wish jangan menyepelekan Mamah, Pak, gini-gini ilmu pengetahuan Mamah lebih luas dari Bapak," Wati terkekeh.
"Sok atuh, beritahu Bapak apa itu resesi," tantang Wawan.
"Jadi menurut Ariana resesi itu suku bunga bank-bank naik Pak akibat dari inflasi. Kenapa bisa inflasi? Ini diakibatkan sebuah negara mencetak mata uang yang melebihi jumlah barang produksi. Permintaan produksi naik, pun harga barang-barang naik dan menjadi langka. Nilai mata uang bakal anjlok dan enggak ada harganya. Orang-orang menyiasatinya sama barter barang, itu pun kalau punya barang, kalau enggak ya gigit jari aja," jelas Wati menggebu-gebu. Wawan menyimak dengan baik penjelasan Wati.
"Wah, gawat itu," tanggap Wawan sambil melamun.
"Gawat apa, Pak?" Wati yang ikut bengong.
"Nanti hidup kita gimana dong?"
"Kata ustaz di YouTube mah kita harus investasi, tapi enggak tahu investasi apa. Handphonenya keburu diambil bocil tuh." Wati melanjutkan pekerjaannya di dapur.
Selang beberapa menit Wawan terperanjat dari duduknya. "Gimana kalau kita tanam emas, Mah?" Wawan mengumbar senyum bahagia karena mendapatkan ide brilian untuk mengatasi masalah ini.
"Apa, Pak?" Wati belum ngeh dengan apa yang dibicarakan Wawan.
"Menanam emas buat persiapan resesi, Mah," jelas Wawan.
"Oh maksudnya nabung emas? Ide yang bagus, Pak. Nanti Mamah bantu buat mengurangi biaya belanja sama jajan si Damar ya, Pak." Wati tersenyum ceria.
"Iya boleh-bolehlah. Itu sebagai tambahannya. Sini mana emas Mamah. Kita tanam sekarang ya." Wawan mengambil paksa gelang emas yang menempel di tangan kiri Wati.
"Eh, eh." Wati bingung apa yang terjadi, "Maksudnya gimana ini?"
"Iya kita tanam emas ini di pot ya. Nanti kita siram tiap hari kasih pupuk, tambahin pestisida biar enggak ada hama," terang Wawan sambil melepaskan emas lain yang ada di tubuh Wati.
"Mana ada yang seperti itu. Ngaco Bapak mah. Emas itu terbentuk karena magmatisme berjuta-juta tahun yang lalu, Pak. Ini mau tanam emas biar banyak hanya dengan hitungan bulan mah mustahil," kilah Wati mendengar ide yang aneh itu.
"Eh, jangan salah pasti bisa. Bapak ambil 3 ya. Gelang 1 sama cincin 2."
"Ya Allah, Pak. Aneh-aneh aja. Terserah Bapak aja lah." Wati tak peduli dan melanjutkan memasak. Wati pun tak terlalu peduli emas yang menjadi perhiasannya itu diambil, toh itu kerja keras suaminya tatkala mencari nafkah sebagai manager di toko sembako dan bisa ditabung melalui emas itu.
Tak berapa lama Wawan mengambil barang-barang bertani dan juga bahan-bahannya. Ada pot ukuran diameter 50 centimeter tiga buah, sekop, tanah dan gabah, NPK, air, benih daun bawang serta alat menyiram.
"Mumpung masih pagi." Wawan mengeksekusi menanam emas dengan perasaan yang bahagia.
"Lho ko pakai benih aku, Pak?" Wati penasaran juga dengan apa yang dilakukan suaminya.
"Sstt, ini sebagai dalil aja biar enggak ketahuan sama tetangga kita nanem emas."
"Ada-ada saja Bapak ini. Sok atuh kalau udah beres mah, beresin lagi peralatannya. Bawa tanamannya ke loteng biar disatuin sama tanaman aku yang lain."
"Nggak usah lah di teras bawah aja. Capek bolak-balik ke loteng mah. Biarin tanaman bapak dicampur sama tanaman hias di bawah sini aja."
"Ya terserah Bapak saja lah!" acuh Wati akhirnya. Paling juga hanya sementara menyiram tanamannya pas semangat-semangatnya saja.
Tetapi perkiraan Wati salah. Setiap pagi Wawan setia menyiram tanaman emasnya itu. Bahkan setiap malam Wawan rela begadang untuk menonton YouTube untuk mencari tahu trik-trik menyuburkan tanaman. Suatu hari Wawan mendapatkan ide untuk menambahkan bekas teh tubruk seduhannya ke dalam tanaman karena teh juga termasuk pupuk organik. Semakin wangilah tanamannya.
"Om, ada Ateunya?" tanya Jamilah keponakannya saat Wawan menikmati seduhan kopi arabica di teras depan rumah sambil melihat tanaman daun bawangnya tumbuh subur. Eh, maksudnya tanaman emasnya.
"Ada tuh di loteng," jawab Wawan singkat, "Langsung ke atas aja Mil," lanjutnya.
"Ateeuuu," sapa Jamilah riang.
"Eh Jamilah. Pie kabare?" Wati tersenyum kekeh. Pasalnya baru dua hari yang lalu Wati ke rumah Jamilah, sekarang tampak seperti bertahun-tahun tidak ketemu.
"Kangen sama Ateu."
"Aku juga kangen," Wati terkekeh lagi.
"Ateu lagi apa?" tanya Jamilah yang duduk di kursi besi, tempat bersantai.
"Biasa, menunaikan kewajiban sebagai pemelihara tanaman." Wati menaikan sebagian alisnya.
"Gaya!" timpalnya.
"Oh iya, Teu. Tahu enggak?" Jamilah berhenti bertanya membuat Wati menggeleng.
"Bu Ijah, Bu Salma, Bu Desi, sama Bu Dewi lagi murang-maring (baca: gelisah) tuh dan ngomong terus ke semua tetangganya."
Mendengar nama keempat ibu-ibu itu, Wati langsung menghentikan pekerjaan menyiram tanaman. Karena mereka berempat adalah para aghniya di kampungnya. Sayang, harta yang dimiliki mereka tak sebanding dengan sedekah yang dikeluarkannya.
"Murang-maring kenapa?" Wati duduk di kursi besi yang lain dan menatap tajam Jamilah.
"Itu perhiasan mereka tiap malam menghilang satu persatu katanya. Dan banyak tikus di rumahnya," gumam Jamilah.
"Ko bisa ya?" Wati sedikit heran.
"Katanya sih ada yang jahil, Teu. Tapi yang bikin sakit hati Mamah tuh mereka bilang pasti yang jahil itu yang iri dengan kekayaan mereka," tutur lembut Jamilah yang terusik perasaannya. Anak usia 13 tahun itu sudah peka.
"Dasar ya mereka." Wati ikut tersulut emosi, "Kamu juga nih biang gosip. Biarin mereka mau bilang apa juga lah yang penting mah kita enggak kayak gitu. Na'uzubillah syirik itu namanya. Sudah menduakan Allah."
"Iya, Teu," singkat Jamilah.
"Oh iya Teu aku tuh sekalian ke sini mau minta …" Jamilah malu.
"Sok mau apa, enggak usah ragu."
"Mau minta beras." Jamilah terkekeh.
"Ya Allah tolong. Hayu ke dapur." Jamilah mengekor Wati ke dapur.
"Nih beras 2 kilo bisi berat bawanya. Sama tadi Ateu panen tomat sekalian bawa ya." Wati menyerahkan dua keresek kecil pada Jamilah.
"Sama ini uang jajan buat Milah." Wati merogoh saku gamisnya dan memberikan uang dua lembar sepuluh ribuan pada Jamilah.
"Ateu makasih banyak ya," ucap Jamilah sambil mencium punggung tangan Wati.
"Iya sama-sama." Wati mengelus punggung Jamilah, "Kalau ada apa-apa ke sini aja jangan sungkan." Wati dan Jamilah berjalan beriringan menuju pintu depan.
"Om, aku pulang," pamit Jamilah ketika Wawan masih nongkrong di depan tanamannya.
"Sok, Milah," sahut Wawan yang masih menatap tanamannya.
"Mah, kok, beberapa hari ini tanamanku berantakan terus ya medianya."
"Nggak tahu, Pak. Bapak kan yang ngurus," sahut Wati melihat kepergian Jamilah.
Wati jadi terpikir celoteh Jamilah yang kehilangan perhiasannya. Wati jadi bergidik jangan sampai hal itu terjadi padanya. Dia melirik gelang yang ada di tangan kanannya dan meraba kalung yang ada di belakang kerudung panjangnya.
"Ya Allah jangan sampai aku seperti itu. Sedekah aku kurang apa gimana ya?" Wati mulai introspeksi. Eh, tapi perhiasannya kan cuma itu, yang dipakainya sama yang ditanam suaminya. Wati mengembuskan napasnya.
Telah tiba datangnya resesi yang dinanti tapi juga tak diinginkan. Selain di berita, dampak dari resesi pun berangsur dirasakan masyarakat. Harga-harga barang mulai melonjak. Permintaan barang terutama sembako semakin tinggi. Penjual properti dan leasing banyak yang gulung tikar. Bahkan ada yang sampai menimbun barang agar barang semakin langka dan harga tak bisa dijamah kantong.
"Mah, mah." sosok Wawan yang baru saja pulang dari kerjaannya mencari batang hidung Wati.
"Kasih salam dulu gitu kek, Pak," sambut Wati dengan sindiran ketika Wawan mendapatinya di teras loteng.
"Lupa Mamah, saking bahagianya Bapak," balasnya.
"Bahagia apa Pak? Coba bagi-bagi sama mamah atuh." Wati ikut antusias atas kebahagiaan suaminya.
"Tadi di toko banyak banget yang cerita kalau resesi tiba." Wawan bersemangat sekali bercerita.
"Lah, ko denger cerita resesi malah bahagia, Pak?" Wati terheran.
"Ini saatnya kita panen emas kan, Mah." mata Wawan berbinar. Dia tak sabar membongkar pot daun bawangnya dan berharap menemukan harta karun di sana.
Berbeda dengan Wati yang tak ambil pusing tentang harta yang suaminya timbun di dalam pot. Akhirnya Wati hanya mengangkat bahu dan kembali duduk di teras. Huft.
"Hayu pokoknya Mamah harus saksikan keajaiban yang terjadi sama pohon Bapak." Wawan bergegas mengambil peralatan tani milik istrinya yang berada di teras loteng itu. Wati yang tak peduli tapi penasaran, mengekor ke mana suaminya pergi.
Di teras, Wawan sudah siap memanen tanamannya. Lagi-lagi keadaan tanaman itu tak sesuai ekspektasinya. Media tanam tanaman itu berseratak di lantai. Tapi kebahagiaan Wawan menutupi kejanggalan itu.
Mula-mula Wawan menggali media tanam di pinggir terlebih dahulu supaya tanaman daun bawang yang sudah montok-montok itu tidak rusak. Lumayan untuk bumbu bakso aci. Lima genggam daun bawang berhasil dikeluarkan oleh Wawan.
"Mah, nih daun bawangnya subur banget," sambut Wawan karena dia tahu istrinya tengah memperhatikan.
"Wah panen nih," sapa Bu Salma melewati rumah Wati dan tatkala itu Wawan tengah mengacungkan isi dalam pot.
"Mah, emas mah. Benarkan kata Bapak," teriak Wawan girang. Bu Salma terlonjak kaget. Wati dan Wawan panen emas?
"Bapak gali pot yang lain ya." Wawan menaruh emas-emas itu dalam nampan dan menggali pot yang lain. Wati yang memperhatikan pun ikut terheran-heran. Tanpa dikomandoi Bu Salma si biang gosip berburu ke rumah aghniya yang lainnya. Tak menunggu lama, Bu Ijah, Bu Desi, Bu Dewi tak lupa Bu Salma datang mendekat.
"Wah beruntung sekali kau Wati dapat harta karun yang banyak gitu. Dapat dari mana?" ledek Bu Ijah yang usianya jelita, jelang lima puluh tahun.
"Dapat nanem, Bu." Wawan menjawab dengan semangat.
"Nggak mungkin lah, Wan," tampik Bu Desi. Usianya hanya berbeda beberapa tahu dengan Wati.
"Beneran," tegas Wawan yang merasa tidak suka dengan kedatangan mereka.
"Lho kok itu seperti cincin saya?" tebak Bu Dewi langsung membawa emas yang berbentuk cincin itu dari nampan.
"Masa Bu?" Wawan tercenung.
"Beneran Wan. Kamu tahu kan beberapa bulan ini kami semua selalu kehilangan emas-emas kami yang sama ditimbun seperti kalian," kata Bu Desi meyakinkan.
Suasana teras Wawan dan Wati mulai ricuh dengan suara mereka berempat yang bervolume tinggi.
"Jangan-jangan kalian …" tebak Bu Dewi lagi.
"Ini juga, sepertinya perhiasan saya…" kata Bu Desi.
"Bu ibu sebaiknya kita bicarakan di dalam yuk," ajak Wati akhirnya, "Sekalian ngopi dulu, di dalam ada gehu dan goreng pisang. Tadi saya panen tauge," tawar Wati. Bu Ijah yang senang sekali dengan pisang goreng langsung masuk ke ruang tamu dan duduk di sofa. Sementara Wawan yang tadinya bahagia sekarang bermuram durja.
"Ibu-ibu pasti sudah dengar perihal resesi ya?" Keempatnya saling menatap satu sama lain, "Nah, suami saya pun begitu. Jadi, pas mendengar resesi 2023, suami saya berinisiatif untuk investasi emas dan caranya itu ditanam dalam pot."
Mendengar penjelasan Wati, ibu-ibu sosialita itu ikut manggut-manggut.
"Iya tapi kenapa tanaman Wawan yang berhasil. Tapi kita malah menghilang perhiasannya?" ungkap Bu Dewi. Bu Ijah yang sedari tadi melihat gorengan pisang hangat langsung melahapnya satu per satu sambil menyimak.
"Nah ini pasti ada apa-apanya. Saya kira ada salah paham di sini. Menurut ibu-ibu selama menanam ada sesuatu yang aneh enggak?"
"Semenjak saya tanam emas, di sekitar tanaman saya suka menemukan tikus yang buru-buru kabur."
"Hem… Saya juga bingung," ungkap Wati yang berpikir keras, "Tapi punten ya kalau ibu-ibu berprasangka saya pakai yang enggak-enggak, mohon maaf kami tidak berbuat keburukan seperti itu."
"Terus kenapa perhiasan saya ada di pot Wawan?" mereka yang ada di ruangan itu kembali merenung.
"Kalau betul itu perhiasan ibu-ibu mangga ambil saja…"
Mereka tampak gembira.
"Tapi harus ada buktinya ya," tambah Wati.
"Ide yang bagus tuh, Mah," sahut Wawan yang duduk di teras. Wati memang masih berusia kurang dari kepala 3, pernikahannya pun belum sampai lima tahun pertama, tapi perkataan yang bijaknya itu membuat ibu-ibu mengangguk.
"Oke, kalau mau bukti saya akan bawa foto saya pernah pakai perhiasan itu bahkan kalau perlu surat-surat pembeliannya sekalian. Tunggu!" balas Bu Ijah setelah kenyang dengan 5 potong pisang goreng panas yang ada di atas meja. Seketika mereka keluar rumah Wati. Tanpa menunggu lama, mereka sudah kembali dengan handphone di tangan beserta berlembar kertas yang diduga surat-menyurat pembelian perhiasan itu.
"Nih, ini surat pembelian gelang yang ini. Ini foto juga saya pernah pakai." Bu Dewi paling bersemangat mengklarifikasi. Semua orang yang berkumpul manggut-manggut.
"Baik Bu, kalau memang buktinya sudah lengkap saya kembalikan ya perhiasannya. Biarlah sesuatu yang janggal itu tidak terungkap yang penting kita tahu, kalau tanam emas di pot memang tidak bisa ya ibu-ibu." Wati mengembalikan satu per satu perhiasan itu pada masing-masing pemiliknya. Wawan hanya gigit jari.
"Saya hanya ingatkan saja Bu, kalau perhiasan yang tak terpakai lebih dari satu tahun itu ada zakatnya. Jadi, jangan lupa hartanya dizakatin ya, biar harta kita makin berkah."
Setelah mereka mendapatkan perhiasan miliknya, mereka berhamburan keluar tanpa pamit, hanya ada perbincangan di antara mereka bahwa mereka senang perhiasannya kembali. Entah soal zakat apakah mereka mendengar atau tidak. Huft.
"Terus Bapak menanam selama berbulan-bulan ini sia-sia dong," keluh Wawan bahwa perhiasannya sama seperti waktu pertama kali ia mau tanam.
"Enggak ada yang sia-sia, Pak. Kalau niatnya karena Allah. Lagi pula Pak, tuh daun bawangnya sudah aku timbang semuanya ada 9 kilo lebih." Wati terkekeh, sementara Wawan masih bersedih hati.
"Pak," Wati menepuk pundak suaminya.
"Tenang, Pak. Rezeki itu Allah yang mengatur. Kita cukup berikhtiar mencarinya. In Syaa Allah ada jalan. Kebun Mamah di loteng kayaknya cukup buat makan sehari-hari. Ubi kayaknya siap panen tuh, Bapak yang panen ya. Sayurannya enggak apa-apalah daun kelor, sawi tiap hari juga lumayan." Wati memberi kejutan pada suaminya tentang stok makanan yang tersedia.
"Mamah juga beberapa bulan ini sudah menabung. Ditukar dengan emas." Wati memberi kejutan lagi.
"Kalau uang ditukar emas sekarang mah enggak berguna, Mah," keluh Wawan lagi tak berdaya.
"Tenang. Mamah udah tukar kok. Tapi ditukar dengan mata uang dinar." Wati memberikan senyum terbaiknya. Wawan tak bisa berbicara apa-apa. Dia hanya mengusap lembut kepala Wati.
"Pak, tapi ko perhiasan yang ditanam Bapak cuma dua, ke mana cincin pernikahan kita?"
"Masa sih?" Wawan bengong.
"Tadi sudah dicek perhiasan ibu-ibu? Takut kebawa pulang," sanggah Wawan.
"Sudah, Pak. Aku yang periksa kok." Wati mengamati pot-pot yang sudah dibongkar Wawan tadi, "Ketimbun enggak ya?" Wati membungkuk di sekitar tanaman hiasnya.
"Astaghfirullah," Wati menjerit. Dia melihat moncong hewan di lubang dekat pagar. Setelah diamati moncong itu membawa benda melingkar berwarna emas, lalu menjatuhkannya diatas gundukan tanah bercampur teh tubruk.
"Beuritttt!"
The end[]