"Air mataku meruah. Setelah mengumpulkan kekuatan, aku bergegas masuk. Mak Manini terbaring beku di atas balai-balai. Sebuah bantal lapuk menyangga kepalanya. Tubuhnya tertutup kain panjang."
Oleh. Haifa Eiman
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Sekira lima ratus meter, ada plang di kiri jalan bertuliskan Puskesmas Pembantu Kemuning. Ah, akhirnya tujuanku di depan mata. Jantungku berdegup kencang. Harap-harap cemas.
Waktuku terlalu banyak habis di jalan. Motor kuparkir di depan Pustu, menyeberang jalan, dan bergegas menuju halaman rumah berdinding anyaman bambu kusam. Satu set meja kursi kayu kuno dikeluarkan dari dalam rumah. Firasatku tidak enak. Setengah berlari menuju pintu, tetapi langkahku terhenti. Seseorang berseragam putih-putih keluar dengan wajah muram. Kedua tangannya sejenak menangkup wajah. Setelahnya diikuti seorang laki-laki paruh baya dengan raut kehilangan cahaya. Aku bisa membaca gelagat ini.
Aku berdiri tercekat. Tulang-tulangku seolah dilolosi. Terlebih setelah samar-samar tercium aroma ratus. Rupanya Allah tidak mengizinkan membersamai Mak Manini di ujung napasnya. Nenek sepuh itu tidak sempat melihatku datang memenuhi keinginannya. Air mataku meruah. Setelah mengumpulkan kekuatan, aku bergegas masuk.
Mak Manini terbaring beku di atas balai-balai. Sebuah bantal lapuk menyangga kepalanya. Tubuhnya tertutup kain panjang. Kusingkap bagian atasnya, kucium keningnya. Masih hangat. Kutimpakan telapakku di atas kedua tangannya yang bersedekap. Ujung-ujung jarinya perlahan mulai dingin. Kubelai rambut putih peraknya yang digerai. Bagaimana nenek ini di akhir kehidupannya? Apakah tetap Puteri Dewi yang disebutnya?
Di sebelahku seorang ibu mengeluarkan buku Yasin dan tahlil. Aku beringsut mundur. Harus ada seseorang yang menyiapkan penyelenggaraan jenazahnya. Aku mencari Yuk Narti yang masih tetangga Mak Manini.
“Maaf, telat, Yuk.”
“Ndak apa-apa, Mbak,” sahutnya, “Oya, sini, Mbak,” ajaknya seraya menggamit tanganku. Dia membawaku ke teras rumah di samping rumah duka. Di sana ada kursi-kursi dan meja plastik yang disediakan untuk para pelayat. Aku memilih berdiri di sebelah Yuk Narti. Aku tidak bisa duduk berlama-lama. Walau bagaimanapun, tetap saja ini namanya ikhtilat.
Di hadapanku, duduk dua orang yang kutemui di pintu masuk. Melihatku berdiri, lelaki berseragam tenaga medis berdiri lalu diikuti oleh lelaki paruh baya.
“Mbak Inggar, ini Pak Karjan, Ketua RT di sini. Dia yang nemani Mak Manini bersama Pak Dokter….” Yuk Narti menoleh ke arah dokter muda di sisi Pak Karjan.
“Saya Haikal. Dokter internsip Puskesmas Tamansari. Kebetulan hari ini jadwal saya di Pustu Kemuning. Ehm, maaf saya harus kembali ke puskesmas.”
Seseorang yang juga berseragam putih-putih melambaikan tangan ke arahnya di depan Pustu.
“Monggo, monggo, Dok!” sahut Pak Karjan.
“Pak Karjan, ini Mbak Inggar putri Pak Taufan Harimurti. Dia ini Puteri Dewi Nirmala yang dicari-cari Mak Manini.”
“Oh, putrinya Pak Camat.” Pak Karjan mengangguk-angguk. Dia lalu melanjutkan, “Mak Manini itu, Mbak, sejak saya datang hanya Puteri Dewi yang diingat dan disebut berulang-ulang. Saya bisikkan kalimat thoyyibah, sama sekali ndak ngefek. Tetap Dewi Puteri yang diejanya. Padahal saat itu kondisinya sudah sangat payah. Seakan-akan kalau dibawa ke Pustu, belum sampai pintu Pustu dia sudah mengembuskan napas terakhirnya. Dokter Haikal maksa membawanya ke puskesmas, tapi tidak saya bolehkan.”
Terus terang aku semakin sedih mendengarnya.
“Saya inisiatip membacakannya surat Al-Baqarah. Tubuhnya bergetar hebat. Tangan dan kakinya mengejang. Matanya membeliak.”
“Pak, maaf, bisakah tidak menyebut-nyebut aib almarhumah?” selaku.
“Maaf,” ucapnya lalu melanjutkan cerita saat merukyah. “Saya membaca Al-Baqarah sampai selesai. Dokter Haikal menalkin di telinganya. Tidak ada perubahan. Saya lalu melepas beberapa benda dari tubuhnya. Ada tusuk konde, giwang, dan peniti. Semuanya emas. Ada juga liontin bermata merah di genggamannya. Setelah itu, tubuhnya mulai melemas. Dengan terputus-putus Mak Manini berpesan untuk memberikannya pada Puteri Dewi.”
Kudukku meremang.
“Ini semua perhiasannya,” katanya sambil memperlihatkan benda-benda yang disebutnya di dalam kantong plastik bening setengah kiloan.
Aku meraihnya lalu mengeluarkan sebuah tusuk konde. Benda penguat sanggul agar tidak mudah lepas ini juga difungsikan sebagai hiasan rambut pemakainya. Panjangnya kutaksir 15 cm. Ujungnya runcing seperti tusuk sate. Dari kaki, semakin ke atas semakin membulat dengan dua ukiran melati dan sehelai daun. Tangkai melatinya berulir hingga mengenai gagang tusuk konde. Tusuk konde lainnya polos tanpa hiasan. Kuamati ada pahatan aksara Jawa, hanacaraka.
“Mbak, Mak Manini sudah berwasiat untuk memberikan perhiasan-perhiasan ini. Mbak terima ya biar dia tenang.”
“Maaf, saya tidak berkenan, Pak.” aku menolak dengan sopan.
“Mbak, Mak Manini itu tidak mati-mati karena mencari Puteri Dewi. Sekarang yang dicarinya sudah ketemu, makanya dia bisa mati. Jadi, Mbak Inggar harus menerima perhiasan ini. Mungkin di masa lalu, ini memang milik seorang putri.”
Duh, bagaimana pemahaman Pak Karjan ini? Ajal sepenuhnya kuasa Allah. Tidak ada campur tangan makhluk di sana. Tidak ada makhluk yang dapat menahan dan mempercepat datangnya ajal. Jadi tidak ada hubungannya antara melepas pernak-pernik perhiasan di tubuh Mak Manini dengan datangnya ajal.
“Ah, tidak! Tidak, Pak. Saya tidak berhak. Saya hanya pendatang di sini. Silakan ditelusuri sanak saudara Mak Manini. Mereka yang paling berhak, Pak. Mereka ahli warisnya.”
“Dia hidup sebatang kara. Mbak Inggar apa tahu cerita hilangnya kotak perhiasan di petilasan Putri Dewi Nirmala?”
Aku menggeleng.
“Maaf, tapi saya tetap tidak bisa menerimanya. Saya orang asing. Maaf, saya harus membantu menyelenggarakan jenazah!” aku menangkupkan tangan di dada dan berlalu dari hadapan Pak RT. Ganti aku menggamit lengan Yuk Narti yang bengong menyaksikan perdebatanku dengan Pak Karjan.
Situasi ini benar-benar di luar dugaan. Bagaimana bisa mereka mencampurkan mitos dengan fakta? Adat dengan agama? Bisa gila debat kusir dengannya.
“Tapi yang disampaikannya itu benar, Pak. Ajal itu tidak sedetik pun bisa diundur atau dimajukan. Apa yang kita lakukan tadi sebatas membantunya mendapatkan akhir yang baik. Meskipun kita tahu ….”
Langkahku terhenti demi mendengar sayup-sayup lanjutan obrolan Pak Karjan. Aku tahu siapa yang berbicara dengannya.
“Ayo, Mbak Inggar!” ajak Yuk Narti.
**
Malam harinya, berita kematian Mak Manini viral di kecamatan bahkan ada media daring lokal yang mengangkatnya ke dalam berita dengan judul bombastis. Judul berita pertama, "Mak Manini akhirnya Berpulang setelah Berjumpa Titisan Tuan Putri yang Diasuhnya". Ish! Dikiranya reinkarnasi apa ya? Berita kedua, "Perhiasan Bertuah Mak Manini Kini Tanpa Tuan". Yang senada, "Perhiasan Mak Manini Siap Dilelang, Hati-hati Terkena Tuahnya". Ini berita apa lagi? Duh, kapan pinternya kalau beritanya tidak mencerdaskan begini?
Di berita itu tertulis kisah asmara antara Puteri Dewi dan Damar Sasongko. Namun, Raja Raung mengusiknya dengan mengajukan pinangan pada ayahanda Puteri Dewi Nirmala. Terang saja Damar Sasongko marah. Keduanya pun duel dan pemenangnya Raja Raung. Tahu kekasihnya tewas, Dewi Puteri semakin menolak dinikahi Raja Raung lalu terjadilah kutukan bahwa Puteri Dewi Nirmala tidak akan pernah menikah seumur hidupnya. Ada lagi versi kutukan lainnya. Dewi Puteri dikutuk jadi patung oleh Raja Raung. Katanya juga, di bawah patung Dewi Puteri terdapat kotak perhiasan. Sayangnya kedua benda itu hilang. Diduga Manini menemukan sebagian perhiasan itu. Ketika dikenakan, dia terkena kutukan Raja Raung.
Gemas bin kesal membacanya. Kulempar ponsel ke atas kasur. Aku hendak menemui ayah di ruang kerjanya yang ternyata sedang mengobrol bersama ibu di ruang tengah.
“Tadi apa nututi Mak Manini, Kak?” tanya ibu. Tangannya mengode agar aku duduk di sampingnya.
Aku menggeleng. “Tapi tadi ada Pak RT sama dokter Haikal yang nemani. Mak Manini sempat ditalkin juga. Meski ….”
“Kenapa?” kejar ayah penasaran, “Dia tidak bisa menirukan syahadat?”
Kembali aku menggeleng. Ibu mengusap-usap lenganku, “Tiap orang akan kembali dengan amal-amal yang menjadi kebiasaan di akhir hidupnya.”
“Aku tahu, Bu. Tapi, aku kasihan banget ke Mak Manini. Bayangkan, dia hidup sebatang kara. Makan dari belas kasihan orang-orang. Selama puluhan tahun begitu dan berakhir seperti kemarin. Itu tragis! Di dunia sudah susah. Apalagi di akhirat kelak?”
“Sepakat,” sahut ayah.
“Ayah, bisakah bikin program memberantas TBC akidah?”
“Itu ranah Bu Dokter di samping Kakak dan dokter Haikal juga.”
“Bukan tuberkulosis, tapi takhayul, bidah, dan khurafat. Masa mereka itu bilang begini, begini,” ceritaku pada ayah, “Proyek mengaspal jalan kayanya jadinya kalah genting dari persoalan ini.”
“Siap, Kak! Ayah akan susun secepatnya. Oya, tentang mengaspal jalan, ayah sudah rundingan dengan Pak Karjan, perhiasan Mak Manini akan dilelang ke kolektor benda antik dan hasilnya untuk perbaikan jalan.”
“Masyaallah. Alhamdulillah.” aku menghampiri ayah dan memeluknya.
“Ternyata keresahan kita sama karena memang parah banget, sih. Padahal yang dialami Mak Manini itu mungkin termasuk demensia. Betul, Bu?”
“Demensia? Bisa jadi, sih. Bisa jadi penyakit mental lainnya. Ibu kurang begitu paham,” ujar ibu lembut sembari meletakkan Scientific Dental Journal-nya di rak buku di samping kursinya, “Dokter Haikal PPDS-nya berencana ambil psikiatri. Coba besok ibu tanyakan.”
“Oya, Ibu sudah baca berita yang di media lokal? Ayah sudah baca juga?” Ayah dan ibu tidak menjawab. Kuanggap keduanya sudah membacanya. “Apa tidak ada rencana untuk meminta menghapus berita itu? Itu menyesatkan akidah umat! Atau menuntut Pemred-nya?”
“Sudah. Tapi yang paling mendesak, Ayah akan menuntut orang dalam berita ini,” tegas ayah seraya menyodorkan ponselnya.
"Mitos Tusuk Konde Keramat Hoax, Dokter Haikal Siap Menikahi Putri Cantik Camat Tamansari"
Innalillah!
“Betul, Bu. Nenek itu pasti berhalusinasi. Pemikiran tentang keberadaan tuan putri itu terus diyakini bahkan dibawa mati. Ya Allah, kasian.” suaraku tercekat di tenggorokan.[]
Photo : Freepik.com