“Perwira tidak punya kenangan apa pun tentang ibunya. Di mata dan hatinya sekarang, kamulah ibu yang dia sayang. Mas juga tidak menyangka, setelah puluhan penolakan, akhirnya Perwira menerimamu dengan tangan terbuka. Kini, Perwira mendapatkan seorang ibu yang begitu sayang padanya.”
Oleh. Zulyana Aksan
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Melati menatap wajah tampan yang terlelap di pangkuannya. Angannya melayang ke puluhan tahun silam, saat ia dan sosok yang kini mulai terdengar dengkurannya itu masih memakai seragam putih oren.
“Eh, kamu jangan ke sana, nanti jatuh!” pekik Bayu saat melihat Melati yang melangkah tanpa memperhatikan ada kulit pisang yang tergeletak di lantai. Refleks, Bayu menarik lengan mungil Melati. Namun, tanpa sengaja membuat gadis kecil berkucir dua itu jatuh. Bayu terlalu kuat menariknya. Tangis Melati pecah dan Bayu hanya terpana melihat air mata yang tadi coba dicegahnya malah tumpah tak diduga.
“Kamu nakal!” jerit Melati marah sambil mengusap air matanya.
“Mas takut kamu terpeleset kulit pisang …,” ujar bocah kelas nol kecil itu membela diri. Ia sedih saat Melati malah mengatainya nakal.
“Kamu jahat!” potong Melati cepat sebelum Bayu menyelesaikan ucapannya.
“Tetapi, Mas cuma …,”
“Diaam!! Kamu bukan Masku. Aku tidak suka sama kamu. Nakal! Huuu huuuah …”
Melati berlari sambil menangis meninggalkan Bayu yang menatap kepergiannya dengan rasa bersalah. Bocah berbadan bongsor itu menundukkan kepala. Ia sedih Melati menuduhnya yang bukan-bukan, padahal ia sudah berniat baik.
“Aku hanya ingin menolong supaya kamu tidak jatuh,” gumam Bayu lirih sambil menarik napas berat. Ia sedih sekali saat melihat air mata Melati jatuh membasahi pipinya. Lebih sakit lagi saat ia melihat gadis itu menangis sambil menatapnya dengan penuh benci.
“Bayu kenapa? Kok sedih?” sapa Bu Sri.
“Melati bilang aku nakal. Padahal, aku mau bantu dia supaya tidak jatuh terpeleset kulit pisang,” adu Bayu sambil menyeka sudut netranya.
Melati tersenyum mengingat peristiwa itu. Ia sangat terharu. Sosok yang dahulu sangat perhatian padanya, sekarang telah menjadi imamnya. Seseorang yang kini menjadi pelindung dan menyayanginya sepenuh hati. Setetes air mata jatuh, tidak sengaja menitik di wajah Bayu. Bayu yang terlelap, kaget saat merasakan air hangat mengenai wajahnya. Refleks, ia membuka matanya dan melihat Melati terisak.
“Sayang, ada apa? Maaf, Mas ketiduran. Maaf sudah mengabaikanmu. Mas tidak sengaja terlelap.”
Bayu langsung bangkit dan memeluk Melati erat sambil mengusap punggung perempuan yang kini sudah sah menjadi istrinya. Bukannya diam, Melati makin terisak. Tubuhnya sampai terguncang dan itu membuat Bayu semakin dilanda rasa bersalah.
“Ya, Allah, Sayang, jangan buat Mas sedih. Ada apa kok sampai menangis begini?” ucap Bayu sambil mengurai pelukannya dan menatap wajah Melati dengan sepenuh cinta. Melati tersipu menyaksikan suaminya bersikap seperti itu dan segera menenggelamkan kembali wajahnya ke dada bidang milik Bayu. Ia malu kalau ketahuan sedang mengingat masa lalu.
“Aku ingat waktu kita kecil dahulu,” lirih suara Melati membelai pendengaran. Bayu sampai memasang telinganya baik-baik, takut salah dengar dengan apa yang diucapkan istrinya barusan.
“Memang kenapa saat kita kecil dahulu?” tanya Bayu bingung.
“Sejak kecil, ternyata kamu sudah perhatian sama aku, Mas,” ujar Melati sambil mengusap air matanya. Bayu menanggapinya dengan senyuman. Ia juga mengingat peristiwa demi peristiwa saat mereka kecil dahulu sampai saat berseragam putih biru. Semua Bayu ingat.
“Tetapi, aku selalu berburuk sangka sama tindakanmu. Maafkan aku, ya, Mas,” sambung Melati lagi seraya mengeratkan pelukan ke tubuh suaminya.
“Apa pun itu selalu ada maaf buatmu, istri kesayangan Mas. Cinta yang Allah titipkan buat Mas tidak akan pernah kubuat menangis lagi kecuali karena bahagia. Terima kasih sudah menjadi pendamping Mas dan bersabar akan segala kekurangan yang ada. Mas sadar belum bisa membuatmu bahagia, tetapi dengan izin Allah, insyaallah, semua akan Mas usahakan. Apa pun yang membuatmu senang akan Mas berikan sebatas kemampuan Mas. Mas sayang banget sama kamu. Kesayangan Mas.”
Melati merasakan getaran di hatinya saat mendengar apa yang Bayu ucapkan. Namun, selembar foto yang tidak sengaja ia temukan di dalam almari membuat hatinya sedikit nyeri. Perempuan berlesung pipi itu cemburu karena kekasih hati masih menyimpan foto orang lain.
“Mas … apa kamu masih mencintainya?”
“Mencintai siapa, Sayang?”
“Eh … mencintai almarhumah. Apa Mas masih mengingatnya?” kata Melati takut-takut.
Bayu menghela napas panjang. Ia tahu betapa sensitifnya perasaan perempuan yang kini ada dalam pelukannya. Ia harus pandai memilih kata agar orang yang kini sangat ia cintai itu tidak terluka. Sekarang, Melati adalah semangatnya. Hidupnya lebih berwarna saat perempuan kelahiran Bengkulu itu menjadi pendampingnya. Masa lalu yang dahulu menyiksa sudah tidak ada lagi. Bahkan, ia tidak pernah mengingat apa pun lagi tentang ibu dari anaknya tersebut. Namun, jika ia bohong, Melati tidak akan percaya dan kalau ia jujur, maka Melati pasti murka. Bayu berada pada dilema. Tatapan netra cokelat itu menunggu jawabannya.
“Saat dia meninggal, Mas merasa kehilangan. Apa lagi saat itu, bayi kami baru beberapa bulan. Yang Mas pikirkan saat itu adalah bagaimana anak Mas bisa meneruskan hidupnya tanpa ibu tempatnya menyusu. Sebab, saat itu Perwira masih minum ASI. Bertambah sedih lagi karena Mas tidak bisa membawanya serta ke rumah ini. Tidak ada yang akan menjaganya saat Mas harus kerja. Hingga Mas harus rela menitipkannya pada keluarga almarhumah.”
“Aku ‘kan tanya, Mas masih mencintainya atau tidak? Kok malah panjang begini jawabannya. Mas pasti masih cinta sama dia ‘kan? Terus, aku hanya sebagai pelampiasan saja. Begitu!?” Melati mengurai pelukannya dan memasang wajah cemberut.
"Ya, Allah … kejadian deh yang aku takutkan!" batin Bayu.
“Sekarang, kamu adalah istri Mas. Jadi, hanya kamu yang Mas sayang dan cinta. Tidak ada yang lain. Yang sudah mati tidak akan bangkit lagi. Terkubur selamanya. Sama dengan perasaan Mas kepada dia. Sudah tidak ada. Sekarang di hati dan hidup Mas hanya ada kamu, istri kesayanganku. Yang akan Mas jaga sampai akhir hayat Mas, insyaallah.”
“Umi jangan sedih, ya. Kalau Ayah nakal, kasih tahu aku. Pasti aku marahin Ayah. Aku sayang sama Umi seperti Umi sayang sama aku.”
Kata-kata Perwira terngiang di telingaku. Tatapan mata elang bocah tujuh tahun itu begitu membius. Aku lebih dahulu jatuh cinta padanya sebelum akhirnya menyetujui pinangan dari ayahnya.
Ya, Allah, bocah piatu itulah yang membuatku akhirnya bertemu kembali dengan Mas Bayu setelah 32 tahun lamanya kami dipisahkan oleh jarak dan waktu.
Setetes air mata jatuh dan Bayu merasa sangat bersalah melihat Melati menangis. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan kecuali mendekap istri yang disayanginya lebih erat. Tidak ada kata yang mampu ia ucapkan karena memang ia tidak pandai berkata manis. Harapannya, semoga Melati tidak kembali tersulut emosi dengan sikap diamnya kini.
“Aku tidak suka ada foto dia di kamar kita.”
Bayu menarik napas, menyesali kenapa foto itu masih tersisa. Seingatnya, semua sudah ia pindahkan. Bahkan, kebanyakan sudah ia bakar tanpa sisa karena ia tahu perempuan mana pun akan sangat jadi pencemburu. Jangankan istrinya yang hanya perempuan biasa, Ibunda Aisyah pun begitu cemburu melihat Rasulullah mengenang ibunda Khadijah.
“Maafkan Mas kalau masih ada yang tersisa. Mas mungkin lupa karena foto itu terselip. Buang saja kalau kamu merasa terganggu. Mas tidak akan marah,” ucap Bayu lembut sambil mengecup pucuk kepala Melati dengan hati-hati.
“Aku tidak tega membakar atau membuang fotomu, Mas. Sebaiknya, Mas berikan pada Perwira. Biar dia yang simpan semua tentang ibunya.”
“Perwira tidak punya kenangan apa pun tentang ibunya. Di mata dan hatinya sekarang, kamulah ibu yang dia sayang. Mas juga tidak menyangka setelah puluhan penolakan, akhirnya Perwira menerimamu dengan tangan terbuka. Istri Mas memang luar biasa. Allah memberikan hadiah terindah buat kami. Kini, Perwira mendapatkan seorang ibu yang begitu sayang padanya. Terima kasih, ya, Sayang.”
Melati merasa tubuhnya meleleh. Suaminya memang paling bisa membuat hatinya kembali adem. Walau di luar sana, orang-orang mengenal Mas Bayu dan menjulukinya sebagai beruang kutub, tetapi di depannya, Bayu selalu mampu memberikan kehangatan yang ia butuhkan.
Lalu, nikmat Tuhan yang mana lagi yang mampu Melati dustakan??[]