Pesona Bianglala

"Lala menata hati dalam rengkuhan kasih sayang Tante Sayyida. Pesona Bianglala menghapus titik bening dk kedua pipinya. Walau ia sering mengalami penderitaan di masa kecil, ternyata kata-kata tajam membuat hatinya yang lemah begitu rapuh. Beruntung dia telah mengkaji Islam, pikirannya tak menjadi keruh lantaran pembatalan lamaran itu."

Oleh. Afiyah Rasyad
(Kontributor Tetap NarasiPost.com)

NarasiPost.Com-"Maaf, Bu. Saya sudah tidak perawan lagi. Apa Ibu masih berkenan melamar saya sebagai menantu?"

Suasana di rumah besar itu menegang. Hawa panas tiba-tiba menyeruak di antara mereka. Hati gadis 22 tahun itu dilanda gerimis. Di sudut matanya, ada tetes bening yang mengintip. Semua tatapan penghuni ruangan itu menuntut penjelasan. Namun, Lala tak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun. Ibu bapaknya telah tiada. Kehidupannya sebatang kara berteman sepi dan duka.

Kebisuan itu merayap ke seluruh ruangan. Semua penghuni bungkam, termasuk laba-laba yang sedang membuat sarang. Lala sejak kecil sudah sebatang kara, berjibaku dalam derasnya persoalan kehidupan. Jiwanya ditempa dengan beban berat yang tak pernah berpihak padanya. Lala yang ringkih, namun tak rapuh.

Tante Sayyida mengelus tangan Lala lembut. Dia hendak menenangkan kegelisahan Lala.

"Bagaimana, Bu?" Tante Sayyida membuka percakapan.

Lima detik kemudian serangkaian kata yang cukup menikam terlontar dari Bu Ijonk. Memang bukan sumpah serapah yang terurai dalam suara cemprengnya, namun segala kekecewaan pada Lala tumpah-ruah tak bisa dibendung lagi. Bu Ijonk berbicara tanpa jeda dan terburu-buru.

"Intinya, kami tidak mau menerima menantu yang sudah tidak perawan. Anak kami ini sangat berhati-hati dalam pergaulan. Kami mohon pamit," ucap Bu Ijonk seraya berdiri diikuti keponakannya.

Bagaimanapun Lala manusia biasa. Rasa kecewa dan sakit di hati menyeruak dan berdesakan di dadanya. Meski dia bisa menebak hadirnya penolakan, namun dia belum bisa memprediksikan suasana hatinya. Bulir bening lolos begitu saja dari kedua netra indahnya. Tante Sayyida tak hentinya menyalurkan energi positif lewat pelukan erat. Dialah yang merawat Lala sejak kecelakaan waktu itu. Dia hendak menjelaskan perihal Lala yang tak perawan, Bu Ijonk tidak memberi kesempatan berbicara dan langsung pamit.

Rasa sayang Tante Sayyida pada Lala sama besarnya seperti rasa sayang pada keenam putranya. Lala hadir melengkapi keluarga kecilnya. Tante Sayyida tak menyangka, kata-kata Bu Ijonk begitu menusuk dan penuh tuduhan. Dia berpikir Bu Ijonk paham Islam dan akan arif dalam memandang suatu persoalan. Jika dia di posisi Bu Ijonk, tentu dia akan bertanya ihwal dan sebab apa calon menantu tidak perawan lagi. Padahal sebelumnya Tante Sayyida begitu berbahagia mendengar kabar baik dari Lala bahwa Bu Ijonk akan melamar Lala untuk putranya yang menempuh studi di Yaman.

Kebahagiaan itu terhempas. Tante Sayyida semakin mempererat pelukannya pada Lala. Hatinya ikut sakit melihat Lala bersedih seperti itu. Selama ini, ia melihat Lala gadis yang cuek dengan segala kesedihan diri. Bahkan, ketika dia memotivasi soal keperawanannya yang hilang, Lala begitu optimis dan akan menyampaikan secara langsung pada Bu Ijonk. Qodarullah, setelah Lala ungkapkan dengan jujur, tak ada klarifikasi ataupun tabayyun.

Lala tumbuh menjadi gadis belia yang menawan. Sikap dinginnya sebatas di permukaan. Hatinya mudah meleleh dengan segala penderitaan. Sekeping harapanlah yang membuatnya bertahan di tengah kerasnya kehidupan. Lala kecil yang ringkih memaksa diri membelah batu sungai secara tradisional. Setiap ayunan tangannya mampu membuat batu itu retak sedikit demi sedikit. Demi selembar lima ribu rupiah, dia rela melakukan pekerjaan kasar itu. Tubuh mungilnya selalu tertatih tatkala mengangkat sekaranjang batu yang telah terpecah. Itulah aktivitas Lala kecil hingga usia 11 tahun.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Kaki kecil Lala yang goyah karena jalanan licin tak mampu menahan berat badan dan beban batu sekaranjang. Tubuhnya oleng dan menggelinding bebas ke sungai. Batu-batu besar, tajam, dan juga beberapa pecahan batu lainnya menyapa Lala dengan sempurna. Kecelakaan itulah yang menyebabkan Lala terluka parah terutama dibagian organ kewanitaannya. Banyak orang menganggap bahwa Lala sudah kehilangan keperawanan dengan derasnya keluar darah dari bagian intim kewanitaannya. Ya, mereka menganggap bahwa selaput dara Lala sudah robek sebagai simbol keperawanan seorang gadis.
Lala kecil dirawat di rumah sakit tanpa ada orang yang menjenguknya. Tante Sayyida yang waktu itu menemani putranya sering bersua dengan Lala, namun tak pernah dia melihat Lala ditemani keluarga saat jalan-jalan di koridor rumah sakit.

Hati Tante Sayyida terpaut pada Lala, dia memberanikan diri bertanya pada suster yang sering menemani Lala belajar jalan. Perusahaan koral yang menanggung biaya rumah sakitnya, sementara sanak saudaranya tak ada keterangan sama sekali. Dari sanalah, Tante Sayyida mengorek lebih jauh kehidupan Lala di kampungnya. Dengan tekad bulat, dia menjadikan Lala anak asuhnya meski ia juga single parent karena ditinggal wafat suaminya.

Dalam asuhan Tante Sayyida, Lala tumbuh menjadi gadis pendiam, namun cerdas. Dia bisa menempatkan diri saat bersama Tante Sayyida. Dia ikut aktif terlibat dalam kajian-kajian bersama orang yang tulus menyayanginya. Keterikatan pada hukum Islam yang ditanamkan pada Lala berhasil menjadikan Lala sebagai muslimah yang taat kepada Allah dan Rasulullah. Dari jemaah pengajian Islam inilah Lala mengenal Bu Ijonk.

"Lala, ikhlaskan, Nduk!" Tante Sayyida membesarkan hati Lala.

Lala menghapus sisa air mata. Sementara hatinya tetap dilanda gerimis. Dia mendengarkan petuah Tante Sayyida dengan seksama. Urusan jodoh itu ditetapkan Allah. Dia dilamar adalah qadha, dia menolak atau menerima lamaran itu pilihan. Kalau ternyata ada hal yang memang Allah kehendaki, maka anggapan tentang jodoh bukanlah jodoh. Meski Bab Qadha Qadar telah dilaluinya, ternyata memang butuh kesabaran ekstra untuk meluaskan dan melapangkan dada.

Lala menata hati dalam rengkuhan kasih sayang Tante Sayyida. Pesona bianglala menghapus titik bening dk kedua pipinya. Walau ia sering mengalami penderitaan di masa kecil, ternyata kata-kata tajam membuat hatinya yang lemah begitu rapuh. Beruntung dia telah mengkaji Islam, pikirannya tak menjadi keruh lantaran pembatalan lamaran itu. Tangan lembut Tante Sayyida penuh ketulusan membawa Lala pada lorong harapan.

"Izinkan aku yang melamarmu La!"

Suara bariton datang dari balik tirai pembatas ruang tamu dan ruang keluarga Tante Sayyida. Dua kepala perempuan cantik yang saling menempel itu langsung menoleh. Hati Lala seakan berlompatan mendengar lamaran kali kedua. Rasa tak percaya membuat bola matanya melebar, menampakkan kilau biru keabu-abuan netra indahnya. Tante Sayyida pun agak tercengang mendengar penuturan Salman, putra keduanya itu.

"Mungkin Ummi heran, kenapa Abang tiba-tiba melamar Lala. Jangan pernah berpikir Abang kasihan padanya. Abang ingin menjadikan Lala anak Ummi seutuhnya. Sejak kecil itu yang Abang impikan. Apakah kau bersedia menjadi istriku, La?"

Air mata kembali mengalir deras. Kali ini bukan air mata kesedihan yang datang, luapan kebahagiaanlah yang menggiringnya keluar dari netra indah Lala. Tante Sayyida pun menangis haru dan bahagia. Dua perempuan yang saling menyayangi itu pun semakin erat berpelukan. Lala menerima lamaran Salman. Tak ada alasan untuk menolaknya, Salman laki-laki salih. Lala berazzam akan menjadi istri dan anak salihah bagi suami dan ibunya nanti. Pesona Bianglala kini siap menjemput bahagia.[]


Photo : Pinterest

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Penulis Inti NarasiPost.Com
Afiyah Rasyad Penulis Inti NarasiPost.Com dan penulis buku Solitude
Previous
Ilusi Keadilan, Kapitalisme Biang Kesengsaraan
Next
Dua Hal yang Ditakutkan oleh Nabi
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram