Surat di Medan Gerilya

Surat dari medan Gerilya

"… Kami melakukan pembalasan terhadap orang-orang yang berdosa. Dan merupakan hak kami untuk menolong orang-orang yang beriman."

Oleh. Rosmiati
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Tulungagung 1948

Semilir angin membelai pagi. Membawa helai padi melambai mesra. Tanaman-tanaman itu tengah mengeluarkan buliran biji. Tak jauh darinya terdengar gemericik air yang mengalir melalui tepi bedeng yang dibuat pak tani. Sungguh masa-masa panen akan tiba tak lama lagi. Yang menunggu tak sabar hati.

Sementara itu, Aminah, istri seorang warga yang ditinggal berjuang, sedang berdiri di antara hamparan sawah yang menghijau. Jemarinya begitu gesit memetik sayuran yang tumbuh tak jauh dari pengairan yang mengaliri sawah setiap hari.

Kampung Aminah masih terbilang aman. Sepi dari rongrongan senjata api, apalagi amunisi si kulit putih. Hanya saja, kampung ini sudah mulai sepi dari kaum lelaki. Mereka berpencar menggabungkan diri dengan beberapa batalion yang ada di sekitarnya. Ada yang ditolak saat mendaftarkan diri. Namun, mereka tak putus asa. Mereka mendaftar lagi di kesatuan lain. Begitu terus sampai diterima, walau harus jauh dari tanah kelahiran sendiri.

Yang saat ini tinggal di kampung adalah mereka yang telah uzur. Mereka yang benar-benar tak bisa lagi bepergian.

"Aminah, sudah ada kabar dari suamimu?" tanya Mbah Yatin yang juga turut memetik sayuran hari ini.

"Belum, Mbah. Biasanya Sobirin akan menitipkan suratnya kepada para pedagang yang bolak-balik Blitar-Tulungagung," jawab Aminah tersenyum walau ada rintik sendu di relung hati.

"Oalah. Sampeyan apa tidak sedih ditinggal berjuang?" celetuk Mbah Yatin.

Aminah mengangkat kepalanya sembari menoleh kepada nenek suaminya itu. "Lho, ya kangen, Mbah. Masa tidak. Tapi, ya saya mesti ikhlas. Demi kebaikan negeri."

"Nggeh. Sampeyan mesti ikhlas. Insyaallah, keikhlasanmu akan jadi doa buat suamimu. Mugi-mugi Allah beri kesehatan dan keselamatan."

"Aamiin … nggeh, Mbah."

"Ayo, kembali. Mbah sudah cukup metik sayurnya."

Kedua wanita yang terpaut usia puluhan tahun itu pun kembali dengan tempayan penuh dengan sayuran alami.

Dalam perjalanan pulang, keduanya tak sengaja bertemu dengan dua pria asing seumuran suami Aminah yang berjalan saling beriringan.

Tak jauh dari mereka turut juga dua wanita muda yang senyum sumringah kepada Aminah dan Mbah Yatin.

Mereka pun bertukar sapa saat berpapasan di atas jembatan penyebrangan. Namun, siapa sangkah jika pertemuan itu menyisakan tanda tanya besar bagi Aminah.

"Siapa mereka, Mbah? Rasa-rasanya saya baru melihat mereka di kampung ini," selidik Aminah. Sembari melihat punggung keempat orang asing itu yang mulai tertutup semak belukar.

"Entahlah, Nduk. Mbah juga rasa-rasanya baru melihat mereka," jawab Mbah Yatin.

"Ya, sudah. Kita teruskan jalan saja lagi. Sampai di desa kita tanyakan sama warga. Karena sepertinya mereka dari desa."

Keduanya pun kembali melanjutkan perjalanan.

Dan terang saja di desa warga mulai membicarakan pasal keempat orang asing tadi. Mereka datang dari Kediri. Mengakunya ingin mengajar warga yang buta huruf. Juga menawarkan kerjasama bagi para petani.

Para petani dijanjikan lahan untuk bercocok tanam. Siapa yang tak mau lahan di zaman paceklik begini. Tentu semua warga kampung mau. Dan terang saja, para warga yang belum bisa membaca dan menulis itu rata-rata telah memegang sebuah selebaran.

Aminah coba meraih selebaran yang luput dari warga. Angin membawanya hingga sampai ke ujung kaki Aminah. Tak menunggu lama, wanita lulusan pesantren itu kemudian membawanya ke rumah.

Di rumah Aminah tak menghiraukan sayuran yang telah dipetiknya. Padahal, ia ingin sekali melahapnya segera. Semua itu menjadi urung kala dirinya mendapati kesamaan antara redaksi pada selebaran yang didapatnya di jalan tadi dengan cerita kawannya dari Padang Panjang tentang awal mulai anggota PKI mengambil hati para kelompok tani ke dalam Barisan Tani Indonesia (BTI).

Wajah Aminah menjadi pucat pasi. Hatinya bergetar. Gerombolan PKI pimpinan Muso sudah sampai di kampung halamannya. Aminah menatap album foto suaminya yang ia gantungkan di dinding. Andai suaminya ada. Pasti mereka sudah bertukar pikiran.

Aminah tak membuang waktu. Ia segera menemui abahnya di belakang.

"Abah, kemarilah sebentar!" panggil Aminah cemas dengan membawa surat dan selebaran.

Abah Ismail yang masih menjemur jagung segera menepi karena mendengar panggilan putrinya.

"Ada apa to, Nduk?"

"Abah, cobalah baca ini," tukas Aminah sembari menyodorkan kedua kertas di tangannya.

"Allahu Akbar!" seru Abah Ismail.

"Darimana kamu mendapatkannya?"

"Dari warga, Abah. Tadi setelah memetik sayur di sawah, saya dan Mbah ketemu empat orang asing berjalan dari arah kampung. Aminah menaruh curiga pada mereka. Jangan-jangan mereka itu komplotan PKI, Abah."

"Ya, kita memang tidak boleh menuduh sembarang. Tapi, kita juga harus waspada dengan kedatangan orang asing. Ditambah lagi—"

"Abah!" teriak Bu Laily, ibunda Aminah dari arah belakang.

Aminah dan Abahnya pun sontak menoleh

"Abah, gawat! Di kampung sebelah semalam ada rumah warga yang dirampok. Para perampok itu mengincar rumah para pengusaha Cina dan juga beberapa toko pedagang muslim," ujar wanita yang sudah memasuki usia kepala lima itu.

Blitar, 1948

Ratusan mil dari dusun kecil Aminah, di sana suami Aminah beserta para pejuang tengah mempersiapkan serangan melawan keserakahan Belanda yang masih ingin menancapkan tajinya di negeri ini.

Murkini, seorang pemuda asal Mronjo yang terkenal pandai merakit peledak sedang konsentrasi membuat beberapa granat. Maklum, para pejuang tak punya sokongan dana yang yang besar.

Mereka hanya mengandalkan bantuan dari warga. Pun, warga hanya membantu alakadarnya. Maka mau tak mau para pejuang harus memutar kepala untuk memikirkan apa-apa yang dibutuhkan saat serangan. Termaksud salah satunya keperluan terhadap bahan peledak. Untungnya ada anak bangsa yang dibekali kemampuan oleh Allah swt.

Sementara itu, Sobirin, pejuang yang tengah dirindukan oleh istrinya, sibuk dengan secarik kertas usang yang disimpannya baik-baik dalam saku agar tak hilang. Surat itu untuk siapa lagi kalau bukan untuk istrinya terkasih, Aminah yang kini tengah mengandung anak pertama mereka.

Marjuni seorang pejuang yang masih terbilang muda di antara para pejuang lainnya datang dan duduk tepat di samping seniornya itu.

"Kenapa, Jun. Beginilah nasib pejuang yang sudah beristri," ledek Sobirin.

"Ah, memang kenapa?" balas Marjuni.

"Ya, enggak apa-apa. Mana tahu njenengan mau nulis surat."

"Ogah. Sampeyan yang beristri kok aku yang mesti nulis surat," ledek kembali Marjuni.

Sontak Sobirin pun tertawa.

"Tapi, gimana surat itu bisa sampai ke kampung?" tanya lelaki asal Yogya itu.

"Saya biasa menitipkannya kepada para pedagang yang bolak-balik Blitar-Tulungagung, Jun."

"Oh, nggeh … nggeh," pungkas Marjuni.

Sobirin setiap sepekan sekali turun ke kampung hingga tak jarang bertemu dengan beberapa warga hingga berkesempatan bercengkerama dengan para pedagang yang berasal dari kecamatannya.

Di sanalah ia menerima kabar pasal desanya, ayah, ibu, adik, serta istri terkasihnya Aminah yang ia tinggalkan setelah beberapa minggu menikah. Kini sudah ratusan hari ia tak pulang. Soal rindu jangan ditanya. Para saudagarlah yang menjadi penyampai rindu-rindu keduanya.

Dan terang saja, malam ini Sobirin mendapat giliran untuk turun ke kampung bertemu warga yang mendukung perjuangan.

"Hati-hati saat kau turun ke kampung, Bir. Kabarnya Belanda mulai memasang mata-mata di setiap dusun. Jangan sampai mereka mengenalimu," kata Murkini pada Sobirin.

"Baik, Mas."

"Dan satu lagi. Bawa beberapa anak buah. Insyaallah warga yang mendukung perjuangan sudah menyiapkan beberapa perbekalan. Nanti mampirlah ke rumah Pak Lurah."

Ya, saat itu warga tak pernah hitung-hitungan dengan para pejuang dalam menginfakkan harta benda mereka. Apa yang mereka punya, walau hanya seikat jagung tua, dibagikannya kepada para pejuang.

Padahal kalau dipikir, kehidupan mereka di masa perjuangan susahnya luar biasa. Namun, inilah hebatnya kaum muslim yang telah diikat dengan ikatan keimanan. Rela berbagi walau sulit kian menyiksa diri. Sebagaimana pesan baginda Nabi saw. bahwa tidak berkurang harta seorang hamba karena sedekah, dan tidak akan terzalimi seorang hamba karena sabar atas kezaliman yang menimpanya. Justru Allah akan berikan kemuliaan kepadanya. Lalu seseorang yang meminta-minta, sedangkan ia mampu, maka Allah akan bukakan pintu kefakiran terhadapnya.

Itulah sebabnya warga tetap semangat berbagi walau mereka sedang dirundung kesulitan tiada tara.

Waktu yang dinanti pun tiba. Sobirin bersama Marjuni serta Yusuf berangkat ke desa. Mereka berganti pakaian layaknya warga biasa. Ketiganya berjalan sejak matahari tergelincir. Mereka akan tiba subuh atau tengah malam. Di sana sudah ada Pak Lurah yang menunggu dengan senang hati.

Malam yang sunyi ditemani dengan suara jangkrik. Ditambah dengan hawa gunung yang dingin. Ketiga pemuda itu memberanikan diri berjalan kaki. Di tengah perjalanan, Sobirin mengeluarkan secarik kertas kepada Marjuni.

"Jun …."

"Ada apa? Mau istirahat lagi?" tanya Marjuni.

"Tidak. Ini."

"Apa ini?"

"Surat," jawab Sobirin singkat.

"Lah, buat apa? Kan sampeyan bilang mau nitip suratnya sama para pedagang. Gimana,sih?" ungkap Marjuni bingung.

"Ya, surat itu kau sampaikan ketika nanti aku telah meninggal."

"Astagfirullahaladzim. Istigfar, Mas. Kok ya ngomongnya begitu."

"Ya, begitulah, Jun. Kita tak ada yang tahu kan. Hari ini kita bersama. Besok? Ah, sudahlah. Ayo, jalan lagi. Simpan baik-baik surat itu."

Sobirin pun berlalu. Suami Aminah itu memimpin jalan paling depan. Sedangkan Marjuni terpatung kebingungan.

Berbeda dengan suaminya. Bagi Aminah, malam ini seolah merambat sangat lama. Ia nyaris tak bisa menutup mata. Bukan karena pengaruh kehamilannya yang masih trimester satu, melainkan entahlah, seolah ia tak ingin tidur dulu malam ini.

Lamat-lamat Aminah memasang kedua gendang telinganya. Kegelisahannya seolah membuahkan tanda. Ada suara orang kasak-kusuk.

Sementara itu, di tempat lain.

"Mas, ada orang di depan. Sembunyi!" ringis Marjuni yang kontan bersembunyi.

Sobirin menunduk. Tangan kanannya memegang senjatanya yang ia sembunyikan ke dalam bajunya. Suami Aminah itu memasang tajam-tajam kedua bola matanya. Siapa gerangan yang ada di depan mereka.

Di tempat lain.

Aminah segera bangun. Wanita itu mematikan lampu pelita yang menerangi ruang kamarnya. Derap langkah itu amat dekat dengan dinding rumahnya.

Putri Haji Ismail itu segera keluar ke ruang tengah dan depan untuk mematikan lampu. Ternyata abah dan uminya sudah berada di sana lebih dahulu. Terlihat bahasa isyarat dari kedua orang tuanya agar Aminah berhenti sejenak.

Suara itu makin dekat. Abah yang terbangun karena hendak melaksanakan salat malam, mendengar langsung kasak-kusuk di depan rumah mereka.

Bahkan lelaki yang sudah berusia 65 tahun itu sempat mengintip dari balik lubang kecil. Tampak beberapa lelaki berpakaian serba hitam longgar sembari membawa pentungan dan pisau yang lebar dan tajam. Mereka jelas komplotan PKI.

Aminah dan Ibunya cemas. Kedua wanita itu tak tahu lagi harus bagaimana. Akan tetapi, Abah Ismail menyuruh mereka tetap tenang dan terus berzikir. Orang-orang itu terus bergerak dan beberapa orang berkeliling rumah. Aminah beberapa kali menutup mata sembari memegang kandungannya yang baru berusia beberapa bulan.

Sekitar 15 menit, suara deru kaki tak terdengar lagi. Abah Ismail melihat keluar. Komplotan itu telah pergi. Entahlah, mungkin saja doa Abah untuk melindungi rumah agar tak mampu dimasuki oleh orang-orang yang berniat jahat itu diterima oleh Allah Swt. Seluruh anggota keluarga pun tak henti mengucap syukur.

Sementara itu.

"Minumlah dulu, Nak,"pinta Pak Lurah Sulaiman kepada Sobirin dan kedua rekannya.

"Terima kasih, Pak. Maafkan kami yang tadi sempat mengacungkan senjata. Maklum, kami pikir ada mata-mata Belanda," ucap Sobirin sambil tertawa.

"Ya, tidak apa-apa. Namanya juga kita saling waspada. Tak ada salahnya. Hanya saja, situasi sekarang makin runyam semenjak anak buah Muso di berbagai tempat kini mulai bergerak. Di beberapa kampung sudah mulai terjadi aksi perampokan, bahkan tak jarang mereka menghabisi warga yang menolak ajakan mereka."

Sobirin tertunduk. Begitu pula dengan Marjuni dan Yusuf.

"Kini, konsentrasi Belanda juga mulai terbagi. Di satu sisi mereka harus menghadapi serangan dari para pejuang. Di sisi lain PKI juga menjadi ancaman. Karena tak sedikit prajurit mereka mati di tangan para gerombolan itu," lanjut Pak Lurah.

"Ya, semoga warga tidak mudah terhasut dengan bujuk rayu anggota PKI," tukas Sobirin.

"Amin," sambut Marjuni dan Yusuf.

"Pemberantasan buta aksara dan pendalaman ilmu agama harus terus digalakkan di tengah-tengah masyarakat. Agar rakyat tidak mudah dihasut oleh orang-orang PKI," lanjut Suami Aminah.

"Oh ya sedikit kita menepi dari pembahasan PKI. Bagaimana dengan dukungan warga?" tanya Sobirin.

"Alhamdulillah, sumbangan warga sudah mulai berdatangan. Jagung, nangka, pisang, dan lainnya sudah terkumpul di bela—"

"Suara apa itu?" seru Marjuni.

Sebuah pesawat melintas beberapa kaki di atas mereka. Kontan semua berlarian keluar. Besi terbang itu menghilang dengan cepat. Para pejuang beserta warga pun mulai waspada.

Sobirin mulai memeriksa timah panas dari senjata yang dimilikinya. Begitu pula dengan Marjuni dan Yusuf, karaben telah berada dalam dekapan. Baru berlalu beberapa menit, tepat di pagi buta, pesawat musuh kembali melintas. Bom dijatuhkan, sebuah ledakan menghantam tanah lapang. Warga yang sedang berada di pasar lari tunggang-langgang.

"Lari! Lari! Cari tempat yang aman!" teriak Pak Lurah.

Setelah menjatuhkan ledakan, beberapa kendaraan Belanda mulai memasuki kampung. Para pejuang pun memilih bertahan. Mengingat jumlah mereka juga tak banyak.

Sobirin, Marjuni, dan Yusuf memilih berada di atas ketinggian. Mereka memutuskan untuk mengadang musuh dari depan kampung.

Sementara itu, Pak Lurah beserta anak buahnya tengah berusaha memasang kabel bom di sebuah jembatan penghubung. Mereka berharap, cara ini dapat menghalau Belanda memasuki desa. Mengingat di sana ada banyak kaum wanita, lansia, dan anak-anak. Sedangkan tentara yang siap berjuang dan memiliki senjata jumlahnya sangat terbatas.

Kasim, seorang anak buah Pak Lurah mengangkat jempolnya. Pertanda bom telah terpasang dengan baik. Pak lurah menganggukkan kepala sembari memberi kode agar Kasim segera keluar dari kolong jembatan.

Sebuah kode juga sampai kepada Sobirin. Tanda bahwa tentara Belanda tak lama lagi akan melintas.

Sobirin bergeser ke samping.

"Jun, ingat pesanku. Jika kelak aku kenapa-kenapa, jangan lupa kau sampaikan suratku pada istriku, Aminah," ucap Sobirin sembari menarik pistolnya.

Marjuni yang telah membidik musuh kontan berbalik ke arah seniornya itu.

"Insyaallah dengan izin Allah, kita akan sama-sama mengantar surat itu, Mas."

Sobirin tersenyum. Tak lama truk tentara Belanda telah berada di depan mata mereka. Keringat Sobirin jatuh hingga tak sengaja membasahi kulit Marjuni. Sedang bibirnya tak henti mengucap zikir.

Begitu pula dengan pak lurah yang berjarak beberapa meter dari mereka.

"Siap, Sim?"

"Siap, Pak!"

"Bismillahirrahmahirrahim …."

"Dooarrr!!!!!

Sebuah ledakan meletus dari dalam jembatan. Beberapa tentara Belanda yang berada pada radius beberapa meter terlempar jatuh ke sungai.

"Allahu Akbar!" Sebuah pekikan takbir keluar dari bibir Pak Lurah. Menandakan perlawanan akan segera dimulai. Tak pelak, akitivitas tembak-menembak pun tak bisa dielakkan.

Belanda yang datang dengan membawa prajurit yang banyak, terus melancarkan aksi serangan bertubi-tubi. Sementara itu, para pejuang yang bermodalkan amunisi seadanya membalas serangan dengan gagah perkasa.

Sedikit pun nyali mereka tak ciut dengan kecanggihan alat tempur yang dibawa Belanda. Karena bagi para pejuang, Allah swt. yang akan memenangkan mereka atas kaum kafir. Sebagaimana firman Allah swt dalam surah Ar-Rum ayat 47,

"… Kami melakukan pembalasan terhadap orang-orang yang berdosa. Dan merupakan hak kami untuk menolong orang-orang yang beriman."

"Yusuf, ayo ke depan!" ujar Sobirin.

Suami Aminah itu pun bergegas ke belakang.

"Mas, jangan menyerang sendirian. Jumlah kita tak banyak. Bila tak mampu menghalau, baiknya kita mundur saja!"

"Jangan, Jun. Kasian warga desa. Di sana banyak wanita, anak-anak, dan lansia," sela Sobirin dengan napas terengah-engah.

"Tapi, Mas. Risikonya sangat besar."

"Percayalah padaku, Jun. Jika ini sudah jalanku, biarkan aku kembali sebagai seorang yang syahid. Tetapi, jika belum ajalku, aku akan kembali bersama kalian."

"Mas …," cegah Marjuni. Sayangnya, suami Aminah itu telah berlari menerobos semak belukar. Dari kejauhan Marjuni melihat Sobirin mengeluarkan sebuah granat yang diambilnya dari Murkini sesaat sebelum turun ke kampung.

Dengan mengucap, "Bismillah" dan memekikkan takbir, granat itu ia ayunkan ke arah tank dan juga truk yang berisi amunisi milik tentara Belanda.

Marjuni dan Yusuf mendengar dengan jelas suara itu. Melihat kobaran api yang menyala, Marjuni dan Yusuf tersenyum puas.

Namun, tak lama berselang, rentetan tembakan terdengar oleh mereka. Sebuah jeritan kesakitan menggelegar membelah semesta. Marjuni berlari menuruni lembah. Yusuf pun bergegas menarik sahabatnya agar jangan maju mendekat.

Tubuh Sobirin ambruk di tangan empat sersan Belanda yang menembaknya dari belakang.

Di tempat lain, Aminah tercekat. Potongan mangga muda yang dimakannya menyangkut di kerongkongan dan nyaris memutus nyawanya. Sontak piring kaca lepas dari tangannya.

"Allahu Akbar!" ucapan terakhir dari lisan seorang komandan muda asal Tulungagung.

Marjuni dan Yusuf tertunduk pilu. Sementara itu, para warga yang membantu berjuang masih terus melancarkan serangan.

"Mundur! Mundur! Kita kembali!" teriak jenderal yang memimpin serangan Belanda pagi itu.

Belanda memilih mundur dikarenakan khawatir jumlah pejuang di kampung ternyata banyak. Sedangkan persiapan amunisi mereka telah habis. Padahal, di sana tak ada pejuang lagi.

Para tentara yang sebagian tergabung dalam KNIL itu pun memilih kembali. Perasaan lega menghampiri hati para pejuang.

Namun, mereka harus berduka atas peristiwa yang menimpa seorang pejuang bernama Sobirin. Marjuni dan Yusuf memeluk tubuh Sobirin yang kini terbujur kaku.

Pak lurah pun memerintahkan para pejuang yang tersisa untuk membuat tandu dan membawa suami Aminah itu ke kampung untuk dimakamkan.

"Beginilah kita dalam berjuang. Tak ada yang tahu dalam hitungan detik bisa saja kita dijemput kembali," tukas Pak Lurah di samping pusara Sobirin, anak muda yang tergabung dalam laskar Hizbullah, laskar yang dibentuk oleh Partai Islam, Masyumi.

Dua minggu kemudian.

Suasana perang sedikit senggang. Hal ini dikarenakan Belanda tengah sibuk mengejar antek dan gerombolan PKI. Kondisi ini dimanfaatkan oleh Marjuni untuk menyampaikan amanat rekannya, Sobirin ke kampungnya di daerah Tulungagung.

Lewat panduan seorang pedagang yang juga ingin ke sana, Marjuni memberanikan diri. Meski harus dengan berjalan kaki di tengah ancaman para perampok yang bergentayangan di jalan-jalan.

Setelah beberapa hari, tibalah surat itu ke tangan Aminah. Marjuni tertegun, rupanya Sobirin meninggalkan seorang istri yang tengah hamil muda.

Tak ada raut sendu dari balik wajah Aminah. Sebab pasal kepergian suaminya sudah sampai ke telingannya dari pedagang yang tiba lebih awal dari Blitar. Seluruh keluarga sudah ikhlas, sebab begitulah risiko dalam perjuangan.

Ketika selesai dengan amanah itu, Marjuni memutuskan untuk kembali lagi ke Blitar dengan berjalan kaki.

"Hati-hatilah di jalan. Gerombolan PKI ada di mana-mana. Bila masih ada umur yang tersisa, Nak Marjuni mampir lagi ke gubuk Abah ini," ucap Pak Haji Ismail.

"Insyaallah, Pak. Saya pamit pergi. Assalamualaikum."

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh."

Marjuni pun menyusuri jalan yang dikelilingi oleh pemandangan persawahan yang hijau. []

Keterangan:
Cerpen berlatar sejarah ini diangkat dari kisah para pejuang setelah tahun 1945.
Sampeyan : Kamu
Njenengan : Anda
Nggeh : Ya
Mugi-mugi: semoga
Nduk: panggilan untuk anak perempuan

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Rosmiati,S.Si Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Piri Reis, Kartografer Hebat Era Utsmani
Next
Menjaga Amanah Kesehatan
5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

6 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Dyah Rini
Dyah Rini
1 year ago

Masyaallah cerpen yang menggambarkan perjuangan para pahlawan dalam mengusir penjajah plus menghadapi pemberontakan PKI. Serasa melihat film berlatar sejarah & perang. Keren. Ditunggu krlanjutan ceritanya Mbak

Afiyah Rasyad
Afiyah Rasyad
1 year ago

Masyaallah kisah epic. Penuh hikmah dan petualangan.
Barokallahu fiik

Sartinah
Sartinah
1 year ago

Masyaallah ... membaca kisah pejuang yang gugur, langsung pikiran melayang ke para pejuang Palestina yang juga sedang mempertahankan tanahnya dari Zionis. keren ...

Dewi Kusuma
Dewi Kusuma
1 year ago

Cerpen yang mampu membawa hati
Keren Mba
Gerilya perjuangan mulia

Bedoon Essem
Bedoon Essem
1 year ago

Ya Allah, serasa ikut dalam suasana mencekam medan gerilya.. barakallah mb keren cerpennya..

Isty Da'iyah
Isty Da'iyah
1 year ago

Ya, Allah....
Gerimis hatiku membaca semangat perjuangan Sobirin dan kawan-kawan. Ketabahan dan kesabaran Aminah dan terlebih latar tempat itu adalah tempat kelahiran saya di Blitar.
Cerpen yang cakep bangettt

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram