"Perbuatan-perbuatan baik akan melindungi kita dari berbagai keburukan dan sedekah yang dilakukan sembunyi-sembunyi akan menghindarkan diri kita dari siksa Tuhan." (HR. Ath-Thabarani)
Oleh. Rosmiati
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Udara malam kian menusuk. Sesekali tubuh mungil itu bergetar sendiri karena dingin yang mencekam. Tak ada warga desa yang berani keluar malam seperti ini. Namun, Halimah berani menerobos kengerian tanpa gentar demi menyelamatan nyawa seseorang. Wanita yang berada di situasi yang sulit itu terus berjalan mengendap-endap menyusuri tepi sungai yang sedikit curam.
Halimah benar-benar tak habis pikir kenapa suami dan rekan-rekannya tega menghabisi nyawa orang-orang baik di kampung mereka. Menyesal sungguh sangat-sangat menyesal. Mengapa selama ini ia tak berterus terang saja pada Suryadi kalau mereka kerap dibantu oleh seseorang yang berhati mulia saat Suryadi enggan untuk membanting tulang lagi bagi anak dan istrinya.
Halimah pun kembali berandai-andai. Jika saja ia bercerita, mungkin hati Suryadi akan urung untuk memasukan sosok guru ngaji yang sangat dermawan itu ke daftar orang-orang yang akan mereka bunuh.
Tiga bulan sebelumnya.
"Mas, bangun. Anak-anak lapar, belum makan sejak kemarin. Kasihan, mereka," desak Halimah kepada Suryadi, suaminya yang sudah beberapa bulan ini berhenti ke ladang.
Suryadi telah banyak berubah sejak kenal beberapa temannya seperti Rahman dan Supardi yang kerjanya keliling kampung bertemu warga.
Sejak gemar ikut perkumpulan mereka, suami Halimah itu menjadi bermalas-malasan. Malah, ketika Halimah meminta nafkah, Suryadi kerap menyalahkan Halimah karena tak mau ikut pertemuan bersama dirinya.
Halimah tentu bukan wanita yang mudah dibodohi. Ia kerap bertanya pada Suryadi, pertemuan apa gerangan yang kerap diikutinya hingga larut malam tersebut. Apalagi, Suryadi kerap dengan bangga mengatakan jika pertemuan itu kelak yang akan membawa mereka bisa hidup enak.
"Intinya kamu ikut dulu baru nanti tahu kerjanya apa. Yang penting bisa bikin kita makan enak tiap hari. Punya lahan, kendaraan, dan lain-lain."
Jawaban-jawaban semacam ini membuat Halimah tak tergerak hati sedikit pun, apalagi sampai ikut berkutat di dalamnya. Belum lagi, kala melihat perilaku suaminya yang justru berubah 180 derajat. Yang tadinya pagi-pagi sudah ke ladang, kini paginya ia habiskan tidur-tiduran akibat begadang semalaman. Ditambah lagi, kala melihat kawan Suryadi lainnya yang berlagak bak preman, Halimah makin tak berminat.
"Bu, kami lapar, Bu," rengek anak Halimah yang ketiga.
Air mata Halimah bercucuran menatap mata-mata sendu anak-anaknya yang sudah dua hari perut mereka tak tersentuh makanan.
"Iya, tunggu sebentar ya, Nak. Ibu carikan dulu. Ijah, jaga adik-adikmu. Ibu keluar sebentar, ya." pintanya pada sang sulung.
Halimah pun langsung menarik kain dan membalut kepalanya. Namun, langkahnya menjadi terhenti kala muncul rasa malu dari dalam hatinya untuk meminta pada tetangga. Ditambah, sikap suaminya yang terkadang kasar dengan mereka. Halimah pun mematung di muka pintu. Wanita yang memiliki orang tua di Magelang itu hanya bisa bercucuran air mata.
Karena dihampiri rasa tak enak hati, ia pun kembali membangunkan suaminya. Barang kali saja ia bisa meminjam uang pada dua rekan barunya itu. Kelihatannya mereka orang yang cukup berada.
"Kau cari sendiri makanan buat anak-anakmu! 'Kan kamu sendiri yang tidak mau hidup senang!" Bentak Suryadi tak terima suasana paginya diganggu oleh Halimah.
"Tetapi, Mas. Kasian anak-anak sudah kelaparan. Saya malu bila harus minta sama tetangga rumah," jawab Halimah memohon pada sang Suami.
"Saya bilang itu urusanmu!" Kembali Suryadi membentaknya.
Halimah yang tak mau mencari keributan, memutuskan untuk keluar dari rumah. Ia lantas berlari untuk mencari siapa yang kiranya mau memberi pinjaman padanya.
Di tengah perjalanan, tak sengaja Halimah bertemu dengan Pak Umar, seorang warga desa yang kerap datang mengajari anak-anak di dusun mereka.
Pak Umar adalah sosok yang ringan dalam berbagi, walau hidupnya biasa-biasa saja. Istrinya bahkan hanya seorang ibu rumah tangga. Namun, mungkin karena keluarganya gemar berbagi hingga Allah melapangkan rezeki. Sebagaimana janji Allah swt. kepada mereka yang gemar berderma di jalan-Nya yang termaktub dalam surah Al-Baqarah ayat 261.
"Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkainya ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas, Maha Mengetahui."
Nah, hari ini Halimah bertemu dengannya. Pak Umar sosok guru ngaji yang humble itu datang dengan membawa beberapa bungkusan makanan seperti beras dan singkong untuk dibagikan kepada warga yang membutuhkan.
"Para PKI itu hanya mau rakyat memiliki kekayaan 500 perak setiap rumahnya. Tidak boleh lebih dari itu," ucap Pak Umar kepada warga. Beberapa pria lanjut usia terlihat mengangguk-angguk.
Sudah menjadi kebiasaan Pak Umar, tak hanya datang untuk mengajar anak-anak membaca Al-Qur'an, melainkan juga mengedukasi warga agar tidak terpengaruh oleh janji manis para antek PKI yang kini sudah merambat hingga ke pelosok-pelosok desa.
Para gembong PKI kerap menargetkan kaum abangan, karena mereka mudah terbuai dengan segalah iming-iming PKI. Kelak, kaum abangan inilah yang akan tampil di garda terdepan dalam mengganyang para kiai, santri, kaum muslim, serta orang-orang yang menolak revolusi ala PKI.
Pak Umar yang pernah mencicipi bangku sekolah itu mulai membongkar rencana busuk PKI yang ideologinya memang bertentangan dengan Islam. Selain itu, PKI juga kukuh mengatur kehidupan warga, termaksud dalam urusah harta dan kepemilikan. Semua berada dalam kontrol negara. Setiap warga tidak boleh menyimpan harta di luar ambang batas ketetapan pemerintah komunis yang berkuasa. Tak lupa, Pak Umar juga menyampaikan aksi kekejian mereka yang tak segan membunuh warga, juga mencaplok tanah yang bukan milik mereka.
"Jadi, apa pun janji manis mereka, kita tidak usah ikut. Bahaya! Kita celaka di dunia, juga sengsara di yaumulakhir nanti, sebab paham komunis tak mengakui keberadaan Sang Pencipta. Sementara itu, kita sebagai muslim justru sebaliknya. Inilah sesatnya paham ini."
Tak lama setelah itu, Pak Umar kembali menyodorkan bungkusan singkong kepada beberapa warga.
Halimah melihat itu dari kejauhan. Istri Suryadi itu ingin sekali mendekat, tetapi lagi-lagi ia tak biasa berada di situasi yang demikian.
Namun, kondisinya kini berbeda. Tak semua anak perempuan masih menuai nasib yang sama kala sudah berumah tangga. Semua ada perputarannya. Dan lagi-lagi itulah ujian Pencipta atas hamba-Nya.
Itulah mengapa, setelah menikah dan tidak lagi hidup seatap dengan kedua orang tuanya, Halimah pun banyak belajar. Ada rasa malu yang harus ia buang selama itu bukan sesuatu yang diharamkan Allah. Semua demi anak-anaknya.
Halimah dengan berat hati mendekati warga yang tengah berkumpul untuk menerima sumbangan dari Pak Umar itu.
"Terima kasih, Pak. Semoga Gusti Allah membalas semua kebaikan Bapak dan juga keluarga." Ucapan demikian terus mengalir dari lisan warga.
Kini tibalah giliran Halimah. Namun, karena masih terngiang dengan nasihat abahnya dan memang pada dasarnya Halimah tak pernah meminta pada orang lain, membuat wanita itu meninggalkan tempatnya berdiri.
Hanya saja Allah Swt. sudah mengatur rencana-Nya. Dari situlah Halimah mendapatkan sesuap nasi untuk anak-anaknya.
"Kemari, Nak. Jangan pergi," panggil Pak Umar.
Halimah yang sudah berjalan beberapa langkah akhirnya harus berhenti.
"Ambillah ini, Nak. Mana tahu Ananda membutuhkannya. Hanya saja, mohon maaf ini tidak seberapa."
"Terima kasih, Pak. Sekali lagi terima kasih sudah sudi membantu saya. Semoga segala kebaikan Bapak dibalas dengan berlipat kebaikan oleh Allah Swt."
"Aamiin. Setiap jumat saya berada di sini. Jika ananda membutuhkan sesuatu, datanglah ke sini bersama warga lainnya."
Ya, sepekan sekali Pak Umar selalu menyempatkan waktunya berkunjung ke kampung ini untuk sekadar mengajari anak-anak membaca Al-Qur'an. Lalu membagikan sedikit kelebihan dari hasil kebunnya. Tak ada yang dikejar olehnya melainkan rida Allah semata.
Halimah pun kembali dengan napas yang terengah-engah. Ia khawatir ketiga anaknya sudah tak kuat menahan lapar. Langkahnya pun makin dipercepat hingga tak sadar peluh membasahi sekujur tubuhnya. Sementara itu, kedua tangannya memegang erat-erat pemberian Pak Umar.
Zaman ini benar-benar paceklik. Rakyat tak bisa berbuat banyak. Sebagian mereka harus mengurangi rutinitas ke ladang sebab takut disembelih para perampok yang tidak lain tidak bukan adalah komplotan PKI. Kondisinya pun makin parah kala hasil ladang dan sawah mereka semena-mena diambil kelompok Barisan Tani Indonesia (BTI). Alhasil, muncullah kelaparan di mana-mana.
Flashback selesai.
"Aduh!" rintih Halimah. Kakinya tergelincir di atas kerikil. Wanita itu langsung menutup mulut dengan tangannya. Halimah khawatir jangan sampai ada yang mengetahui keberadaannya. Istri Suryadi itu menunduk dan melihat ke segalah penjuru. Namun, lagi-lagi suasana kian sepi. Tak akan ada yang mau berkeliaran selain para kacung PKI.
Halimah pun kembali meneruskan perjalanannya. Ia harus mempercepat langkahnya agar tak kedapatan suami beserta rekan-rekannya.
Sementara itu, di rumah Halimah. Suasana ruangan menjadi sesak. Kepulan asap memenuhi seluruh ruangan.
"Ingat, rencana revolusi tak lama lagi akan segera kita wujudkan. Sesuai dengan titah prinsip dasar kita. Walaupun penduduk dunia tinggallah beberapa saja, tetapi semua berhaluan komunis, maka itu lebih baik. Jadi, habisi mereka yang tidak sepaham. Dan untuk daerah ini, berikut daftar targetnya!" tukas Rahman.
Lelaki itu dulu amat religius, tetapi kini mengikrarkan diri setia pada partai yang berlogo palu arit itu. Rahman berubah sejak ia bersekolah di Solo. Hal ini dikarenakan dirinya intens berinteraksi dengan para aktivis pemuda rakyat. Serta sering sarapan kata dengan media Lekra dan Bintang Timur yang merupakan media pro Komunis.
"Umar! Dia seorang guru ngaji yang kerap menghasut warga agar membenci pergerakan. Tak hanya itu, dia juga gemar membagi-bagikan makanan kepada warga. Dia harus menjadi target penting yang harus dimusnahkan!" sambut salah satu dari mereka.
Halimah mendengarnya. Betapa terkejutnya ia, Pak Umar yang beberapa waktu lalu baru saja memberinya segepok makanan untuk mengisi perut keluarganya dari kelaparan, kini ia akan dibunuh oleh orang yang sudah dibantunya.
"Balasan macam apa ini." tutur Halimah seorang diri sembari menyeka air matanya. Sungguh, hancur nian hatinya kala tahu aktivitas baru suaminya itu yang sudah jauh melenceng dari jalan yang hak.
Betapa berdosanya Suryadi, ia akan membunuh orang yang sudah menolongnya.
Itulah mengapa, dengan gagah berani, istri seorang gembong PKI itu membocorkan terlebih dahulu rencana keji suaminya kepada target yang akan dihabisinya.
Di bawah kerlip bintang, Halimah terus mengendap-endap dalam keheningan. Ia rela berjalan di bawah langit malam demi membalas budi sang dermawan.
Setelah sekian lama berjalan, Halimah mulai mendengar gemercik aliran sungai yang membelah malam dengan tenang. Gubuk Pak Umar pun tak jauh lagi. Halimah kembali melihat ke sekeliling. Dari jarak beberapa meter sayup terdengar seseorang yang tengah melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an.
Halimah pun yakin jika itu suara Pak Umar. Dengan tidak menunggu lama, Halimah pun mendekat.
"Assalamualaikum," ucap Halimah sembari mengetuk pintu.
Tak menunggu lama, terdengar balasan dari Pak Umar sendiri. "Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh."
Pak Umar menjawab, tetapi dengan hati yang tak enak. Siapa gerangan yang datang malam-malam begini.
Istri Pak Umar yang baru saja melahirkan beberapa minggu juga mendengar ucapan salam itu. Entahlah, keluarga itu malam ini sulit sekali menutup mata.
"Pak Umar. Saya Halimah. Pergilah, Pak. Pergilah jauh." Desak Halimah dengan tergopoh-gopoh.
Pak Umar yang berdiri di depan pintu tampak tak mengerti.
"Ada apa? Kenapa saya harus pergi malam-malam begini? Lagipula ini rumah saya."
"Bapak masuk dalam daftar beberapa warga kampung yang akan dihabisi oleh gerombolan PKI. Saya mendengarnya langsung. Pukul 01.00 nanti mereka akan memulai operasi. Sebelum terlambat, sebaiknya Bapak dan keluarga mengungsi saja. Saya masih tidak habis pikir kenapa orang baik seperti Bapak mau dibunuh. Padahal, Bapak sudah banyak membantu warga miskin di kampung ini," tutur Halimah dengan tak kuasa menahan haru. Betapa ia malu jika suaminya juga berada di belakang itu semua.
"Cepat pergi, Pak. Lihatlah, tinggal 1 jam lagi mereka akan datang mencari Bapak."
Tak menunggu lama, Suwarsih, istri Pak Umar keluar menyakinkan suaminya agar mereka segera minggat saja.
"Saya mohon, Pak, segera pergi dari sini. Waktu saya tidak lama. Saya harus segera kembali!" ujar Halimah pamit untuk kembali. Ia khawatir ketahuan suaminya. Halimah pun kembali menyelinap dari balik semak belukar sembari menutup wajahnya dengan selendang hitam.
Pak Umar pun segera masuk ke kamar dan menggendong putri pertamanya kain batik berwarna coklat. Tak ada yg mereka bawa selain pakaian di badan.
Suwarsih pun mematikan semua lampu dan mereka pergi melalui pintu belakang.
"Ke mana kita akan pergi, Mas?"
"Kita harus ke kampung Masku."
"Tetapi, kita harus melewati sungai, Mas. Kasian Humairah, dia masih kecil. Tentu tak kuat menahan dingin."
"Asih, kita tak ada pilihan lain. Kita jalan saja. Kita serahkan semua pada Allah Swt. Jika sudah takdir kita bertemu PKI, itulah keputusan Allah yang terbaik buat kita."
Suwarsih pun manut, mengikuti apa kata suaminya. Dan terang saja, dari kejauhan mereka mulai mendengar arak-arakan gerombolan PKI.
Pak Umar segera meraih tangan Istrinya. Mereka pun berjalan dengan menceburkan diri ke sungai. Derasnya arus sungai malam itu membuat wajah mungil putrinya terus terkena percikan air.
Pak Umar memeluk erat putrinya yang usianya belum genap dua bulan itu. Sepasang suami istri itu pun terus berjalan hingga malam menjelma makin pekat.
"Ganyang Santri! Ganyang Santri!" teriak arak-arakan dari sejumlah pengikut PKI. Halimah merapatkan kedua tangan ke daun telinganya. Dadanya perih bak diiris belati kala mendengar ucapan tersebut.
"Ya Allah ampuni suamiku. Kembalikan dia pada jalan yang lurus," pinta Halimah dalam tangisnya.
Sementara itu, komplotan yang dipimpin Suryadi terus berjalan. Mereka kembali melalui jalan yang beberapa menit lalu telah dilewati istrinya.
"Itu rumahnya. Ayo, bakar!"
"He, pembangkang, keluar kau dari rumah. Atau kami bakar kau dan seluruh anggota keluargamu hidup-hidup!" Seru beberapa pemuda dengan penuh rasa jemawa.
Namun, lagi-lagi tak ada sahutan. Suami Halimah itu pun akhirnya mendobrak pintu gubuk Pak Umar dan terang saja rumah itu telah kosong.
"Pak, bangun. Ada orang ribut-ribut di rumah Pak Umar," ucap Sarmia, istri Pak Mamat yang rumahnya tak jauh dari gubuk Pak Umar.
Pak Mamat pun sontak terbangun. Dan segera mengintip dari balik jendela.
"Astagfirullah, mereka PKI, Bu."
"Ya Allah, jadi bagaimana, Pak. Kita harus bagaimana?"
Sarmia kembali menengok ke jendela. Dan terang saja gubuk Pak Umar telah dilahap si jago merah.
Tak lama berselang. Terdengar pukulan keras mendarat ke dinding rumah Pak Mamat. Tak menunggu lama, parang tajam itu segera mendarat ke leher kedua suami istri tersebut.
"Mau ikut kami, atau sampean mau ikut Kiai!" sembur seorang kawan Suryadi dengan mata memerah seolah tengah kemasukan setan.
"Cuih! Seujung kuku pun saya tidak akan sudi mengikuti kalian. Dasar orang-orang se—"
"Tahan mulutmu!"
"Tidaaaakkkk! Paaakkk! Ampun, Tuan!Ampun! Aaaargghhhhh!" sebuah jeritan kesakitan terakhir kalinya keluar dari lisan Sarmia. Para PKI itu telah menghabisi sepasang suami tersebut.
Setelah puas melakukan perusakan, para gerombolan itu pun kembali.
Keesokan harinya, kabar kebengisan PKI itu pun menjadi perbincangan warga dan sampai ke telinga Pak Umar beserta istri dan kelurganya di desa sebelah. Tepat pukul 01.00 malam gubuk mereka didatangi PKI. Pak Mamat rekannya yang kerap keliling berdakwah sekaligus tetangga rumahnya menjadi korban menggantikan dirinya.
Pak Umar tak kuasa menahan tangisnya. Mengapa ia tak memanggil rekannya itu untuk lari malam itu. Sungguh, ia amat menyesal.
Pak Umar pun juga baru mengetahui bahwa ia telah diselamatkan oleh seorang istri gembong PKI yang selama ini kerap menerima makanan darinya. Betapa Halimah dikirim Allah Swt. untuk menyelamatkan Pak Umar dan keluarganya.
"Perbuatan-perbuatan baik akan melindungi kita dari berbagai keburukan dan sedekah yang dilakukan sembunyi-sembunyi akan menghindarkan diri kita dari siksa Tuhan." (HR. Ath-Thabarani)
Demikianlah sadisnya PKI. Tak peduli siapa dia, ketika bertentangan dengan mereka, maka yang bersangkutan akan ditumbangkan.
Semoga tak ada lagi ganasnya masa yang mengubur dalam sisi kemanusian yang sebenarnya sejak lahirnya telah lekat pada diri manusia. Semoga Allah Swt. memberi pahala syahid kepada mereka yang menjadi korban keganasan PKI pada masanya.
*) Kisah ini terinspirasi dari fakta sejarah kekejaman PKI di tanah air.
Selesai.
Ngeri banget kalau dengar kekejaman PKI ya. Sadis dan tanpa peri kemanusiaan. Mungkinkah mereka terus ada dan bermetamorfosis di negeri ini? Semoga tidak ya. Ngeri ...
Ya Robbi
Darahku mendidih dengan kelakuan suami Halimah. Untung sang istri masih berada di jalan yang lurus.
Barokallah, gore tapi tidak horor. Suka alurnya