Cahaya yang Tak Dirindukan

"Hidayah ibarat pancaran cahaya matahari yang selalu menyapamu setiap hari tanpa lelah. Namun, terkadang engkau begitu angkuh menutup pintu hatimu, tak memberikan sedikit celah untuknya masuk. Terkadang cahaya itu berusaha menerobos masuk melalui kaca jendela, tetapi kau singkap cahayanya dengan gordenmu. Cintamu kepada manusia mengalahkan cintamu kepada Sang Pencipta, Allah. Tak pernah kau beri sedikit ruang di hatimu untuk-Nya. Padahal Allah Swt. begitu sangat menyayangimu, bahkan melebihi sayangnya ibu kandungmu padamu."

Oleh. Wa Ode Mila Amartiar
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com- Mendadak sinar matahari membersit di antara awan hitam. Gerimis turun tak terbendung bersama kilas cahaya tipis. Pelan-pelan mulai membasahi pelataran kampus. Angin sejuk menyelinap menyelimuti tubuh. Begitulah suasana hari pertamaku kuliah di salah satu kampus di kota Kendari. Basah sedikit tidak menurunkan semangatku mengais ilmu.

Demi melanjutkan jenjang pendidikan, aku dan sahabatku, Sera, terpaksa harus merantau di kota ini. Kami tinggal satu kamar di salah satu kompleks kos-kosan depan kampus. Hitung-hitung demi menghemat biaya hidup yang kian pelik di kota orang.

Sera adalah teman baikku dari SMA. Ia adalah gadis yang cantik, cerdas, putih, dan tubuhnya tinggi semampai. Tidak heran baru satu minggu kami kuliah, sudah ada laki-laki yang kepincut dengan pesonanya. Namanya Doni. Wajahnya tampan, tinggi, dan terlihat seperti anak terpandang. Sera selalu berpakaian modis saat ke kampus, tidak sepertiku yang berpenampilan culun dan cuek terhadap lawan jenis. Mungkin inilah sebabnya sampai sekarang aku hidup menjomlo.

Sore itu, langit begitu indah dengan paduan gradasi jingga. Perlahan matahari makin dekat dengan peraduan malam. Pertanda langit malam ini akan ditemani kerumunan gemerlap bintang. Kami bergegas pulang dari kampus, terus melangkah menyusuri aspal yang berdebu. Berjalan memasuki lorong-lorong kompleks kos-kosan.

Tibalah kami di kamar kos yang pengap ini. Tempat melepas lelah sehabis bergelut dengan dunia perkuliahan. Sera terlihat penuh semangat. Belum sempat rehat sejenak, ia langsung sigap menggeledah lemarinya. Ia meminta izin kepadaku untuk kencan bersama Doni sebentar malam. Aku pun mengangguk, pertanda mengiyakan.

Aku yang masih kelelahan hanya bisa mematung menyaksikan Sera mondar-mandir di depanku. Ia begitu lihai dalam berdandan.

“Dina, coba lihat! Aku cocok pake baju ini atau ini?” tanya Sera.
“Mmmm…! Menurutku kamu cocok pake warna pink itu deh! Kulitmu ‘kan putih,” jawabku sambil menunjuk salah satu baju yang disodorkan.
Sekejap ia berubah menjelma menjadi gadis yang lebih menawan dari sebelumnya.
“Bagaimana? Aku sudah cantik belum?” tanya Sera dengan wajah semringah.
“Masyaallah! Cantik, cantik dan menawan!” jawabku sambil mengangkat kedua jempolku.

HP Sera tiba-tiba berdering. Doni telah menunggunya di depan kamar kos kami. Sera pun bergegas keluar menemui Doni.
“Aku pergi dahulu, ya, Din!” ujarnya sambil membuka pintu.
“Jangan pulang larut malam, ya..!” teriakku sambil melambaikan tangan.

Beginilah hari-hariku yang tanpa pacar. Menyendiri di sudut kamar dan sesekali menelepon orang tuaku di kampung. Walau hanya mendengar suara mereka, itu sudah cukup menambal kerinduan di hati ini. Terkadang aku membaca, mengerjakan tugas kuliah, dan memasak.

Semenjak Sera berpacaran dengan Doni, kami sudah jarang bersenda gurau seperti dahulu. Komunikasi hanya hal-hal yang penting saja. Saat di kamar, Sera sibuk teleponan dengan Doni. Setelah pulang kuliah, mereka kerap kali pergi kencan tanpa mengajakku. Sedih rasanya selalu jadi patung di kamar ini. Kadang saat mengerjakan tugas, tangan kanannya menulis sembari tangan kirinya pegang HP. Begitulah keseharian kami saat berada di kamar kos.

Hari berganti hari. Tak terasa tiga bulan sudah aku mengarungi dunia perkuliahan ini. Di kelas, aku sangat akrab dengan Muthiah. Tidak seperti teman-temanku yang selalu berpakaian modis, ia justru mengenakan gamis dan kerudung panjang saat ke kampus. Ia terlihat anggun dengan balutan hijab syar’i . Muthiah sering menghabiskan waktunya di masjid kampus. Hingga suatu hari, ia mengajakku untuk menghadiri sebuah seminar bedah buku.

“Din, besok kita kedatangan Ustaz Felix Siauw. Masyaallah…! Beliau itu salah satu ustaz favorit aku banget. Masih muda, cerdas, dan gaul lagi, tetapi dia sudah menikah. Hehe…!” rayu Muthiah sambil memegang tanganku.
“Mau.. mau..!” jawabku semangat.
“Besok itu, Ustaz Felix akan membedah salah satu bukunya yang berjudul ‘Udah Putusin Aja'. Keren lho bukunya,”
“Insyaallah, Tiah. Nanti kamu jemput aku, ya!”
“Insyaallah, siap!”

Keesokan harinya di tempat acara. Aku tertegun saat menoleh ke sekeliling. Dalam sekejap, ruangan ini dipenuhi kerumunan pemuda-pemudi. Untung aku dan Muthiah datang lebih awal dan berhasil mendapat kursi di depan. Senang rasanya bisa melihat dengan jelas saat Ustaz Felix Siauw menjelaskan. Jujur, aku sangat antusias saat mendengar kalimat demi kalimat dari sang ustaz. Beliau dengan gamblang dan berani membongkar akibat buruk dari pacaran.

“Suami saleh dan terhormat tidak mungkin didapat dengan jalan maksiat kepada Allah. Muslimah harus hati-hati dalam melangkah. Jagalah dirimu agar masa depanmu cerah nan indah. Lelaki yang baik senantiasa memantaskan diri untuk siap meminang calon istrinya. Jika belum menikah saja, ia berani menodaimu, maka jangan heran setelah menikah ia berani melakukan hal yang sama pada wanita lain. Toh, sama-sama bermaksiat kepada Allah. Hak dan batil tidak akan pernah bertemu, bagaikan fatamorgana yang menjanjikan kebahagiaan semu.”

Agar tidak monoton acap kali sang ustaz memberikan kalimat lucu.
“Semua laki-laki punya bakat terpendam dalam menggombal dan wanita, fitrahnya memang suka digombali.”
Seketika peserta pun tertawa kecil.
“Lelaki yang memiliki prinsip akan banyak belajar saat ia belum siap dan akan meminang saat ia sudah siap. Pacaran selalu dimulai dengan pengorbanan dan berakhir saat ada korban. Sebelum semuanya terlambat, baiknya akhiri semua.”

Seketika aku tersadar dan mengubah sudut pandangku tentang pacaran. Dulu aku menganggap pacaran adalah hal yang biasa. Hampir semua anak remaja di kampusku mempunyai pacar. Justru kalau tidak punya pacar, kami akan dianggap cewek tidak menarik dan kurang gaul. Sekarang sebaliknya, aku jadi tidak ingin pacaran, mendekatinya saja aku tak sudi. Pacaran adalah perbuatan mendekati zina. Zina adalah dosa besar.

Tak terasa dua jam sudah berlalu. Sama sekali aku tidak merasa bosan dan gerah. Tak disangka inilah awal dari perjalanan hijrahku. Muthiah menjadi orang pertama yang berperan penting dalam langkah awal cerita hijrahku. Ia memperkenalkanku dengan seorang musrifah bernama Kak Nafilah. Melalui beliau, aku belajar Islam dari dasar. Beliau mengajarkan aku tentang akidah Islam, syariat Islam, ukhuah Islamiah, dan masih banyak lagi. Makin aku belajar, makin aku merasa kurang akan ilmu.

Dengan banyak belajar agama, semangatku untuk beribadah juga bertambah. Ini turut berimbas dengan semangatku belajar di kampus. Bergabung di komunitas dakwah membuatku lebih menghargai dan menyayangi orang tuaku. Aku juga menjadi lebih peka dengan kondisi orang tuaku di kampung. Terutama, ayahku yang telah bersusah payah mengais rezeki demi menanggung biaya kuliahku. Ayahku hanya seorang buruh kasar. Jika penghasilannya tidak cukup untuk membayar uang semester, ibu terpaksa harus berjualan kue demi menambal ekonomi keluarga kami. Kegiatan dakwah tidak menghalangiku dari aktivitas kuliah. Terbukti aku selalu meraih nilai tertinggi di kelas.

Tak lupa aku selalu menasihati sahabatku, Sera. Aku sering mengajaknya jika ada kegiatan dakwah di kampus. Namun, ada saja alasan yang dilontarkannya. Terkadang aku berpikir mungkin caraku yang salah. Semenjak aku hijrah, hubunganku dengan Sera tidak seperti dahulu. Sera mulai sibuk dengan pacarnya, sedangkan aku sibuk dengan kegiatan dakwah. Aku pun merasa Sera sudah seperti orang asing. Terkadang ia memarahiku karena aku sering melarangnya untuk pacaran.

“Heran aku, Din. Kamu ‘kan baru belajar agama kemarin, tetapi sudah bertingkah seperti malaikat. Sok suci! Pakaian kayak ibu-ibu,” cetusnya dengan mata sinis.

Menyadarkan sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara untuk putus, tidak segampang membalikkan telapak tangan. Menjelaskan bahaya zina kepada orang yang belum paham, butuh kesabaran dan kerja keras. Pantas saja Allah Swt. berfirman, “Dan janganlah kamu mendekati zina.” (QS. Al-Isra’ ayat 32)

Allah Swt. melarang hambanya mendekati zina apalagi sampai melakukannya. Zina adalah dosa yang terasa nikmat bagi pelakunya, sehingga jika sudah terjerumus susah untuk melepaskan diri dari belenggunya.

Entah mengapa Sera berubah drastis akhir-akhir ini. Ia lebih mudah marah dan sangat sensitif. Nilai kuliahnya sering jebol setiap semester. Aku sering melihatnya melamun dan tatapannya kosong tanpa makna. Hingga tiba-tiba di suatu malam, aku terkejut melihatnya merintih kecil di sudut kamar.

“Ada apa, Ser? Cerita aja sama aku kalau kamu lagi ada masalah! Siapa tahu aku bisa bantu,” ucapku sambil memeluknya.
“A..aku, hamil, Din. Aku hamil. Sepertinya usia kandunganku sudah dua bulan,” ucapnya sambil sesekali menahan tangisnya.

Tak tebersit sedikit pun bahwa mereka berdua akan melakukan perbuatan itu. Dadaku seketika berdebar kencang, terasa deras darahku mengalir. Aku berusaha memutar otak demi merangkai kata menjadi kalimat. Aku tak ingin jika lisan ini membuat suasana hatinya makin kacau.

“Trus, Doni bagaimana? Dia mau tanggung jawab ‘kan?”
“Tidak. Dia tidak mau. Dia takut memberitahu orang tuanya. Dia juga bingung mau ngapain. Kami berencana untuk menggugurkannya saja.”
“Pliss, jangan Sera! Itu justru akan menambah dosa kalian. Kasihan janin dalam perutmu. Dia tak tahu apa-apa. Namun, kalian mau membunuhnya.”

Jujur aku sangat merasa bersalah pada Sera karena tidak bisa mencegahnya dari bahaya zina. Andai dulu aku berusaha lebih keras menasihatinya, mungkin hal ini tidak akan terjadi. Bulir air mataku seketika merembes memenuhi kedua pipiku. Makin ditahan rasanya makin membuat dadaku sesak. Akhirnya derai air mataku tumpah bersama rintihan Sera. Tangis kami pecah di kesunyian malam.

“Tidak semua laki-laki di dunia ini bejat dan pengecut seperti Doni. Namun, laki-laki yang baik tidak akan mau pacaran. Pacaran memang tidak selalu berakhir pada perzinaan. Namun, hampir semua zina berawal dari pacaran. Memang benar, pacaran terkadang membuat kita semangat belajar. Belajar beradegan dewasa. Mencintai lawan jenis tidak dosa, melainkan fitrah kita sebagai manusia normal. Makanya, Islam menjadikan menikah sebagai solusi yang mulia dan terhormat. Jangan mau menerima apa pun yang lebih rendah dari itu. Karena Islam hadir demi memuliakan wanita dan menjaga kehormatannya,” nasihatku sembari mengingat kembali isi ceramah Ustaz Felix Siauw tahun lalu.

Hari ini memang gelap, mungkin besok masih mendung. Namun, di balik awan, matahari tidak pernah berhenti bersinar. Hidayah ibarat pancaran cahaya matahari yang selalu menyapamu setiap hari tanpa lelah. Namun, terkadang engkau begitu angkuh menutup pintu hatimu, tak memberikan sedikit celah untuknya masuk. Terkadang cahaya itu berusaha menerobos masuk melalui kaca jendela, tetapi kau singkap cahayanya dengan gordenmu. Cintamu kepada manusia mengalahkan cintamu kepada Sang Pencipta, Allah. Tak pernah kau beri sedikit ruang di hatimu untuk-Nya. Padahal Allah Swt. begitu sangat menyayangimu, bahkan melebihi sayangnya ibu kandungmu padamu.

Begitu banyak kerusakan akibat hasil kemaksiatan yang dilakukan manusia. Namun, Allah Swt. tetap memberikan nikmat-Nya yang tak terhitung. Terkadang Allah Swt. membiarkan manusia merasakan kepahitan dunia akibat kemaksiatannya agar manusia dapat mengambil pelajaran dan lebih menghargai manisnya iman.

Aku mulai menyadari hakikat dakwah. Dakwah bukan karena kita lebih berilmu atau merasa lebih suci dari yang lain. Dakwah adalah bukti cinta. Aku tak bisa mencintai orang-orang terdekatku dalam diam. Aku mencintai agama Islam dan aku tak bisa berhenti menyampaikan keindahan tentangnya. Bagaimana cahaya iman menyinari hatiku dan mengubah hidupku. Aku ingin rasa ini dirasakan oleh semua orang.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Tim Penulis Inti NarasiPost.Com
Muthiah Al Fath Salah satu Penulis Tim Inti NarasiPost.Com. Pemenang Challenge NP dengan reward Laptop 256 GB, penulis solo Meraki Literasi dan puluhan buku antologi NarasiPost.Com
Previous
Hijrah Bareng Lebih Mudah
Next
The Power of Baper
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram