Blood Sausage

"Setelah kejadian itu kami sekeluarga tetap berhubungan baik dengan Bu Minah sekeluarga, layaknya hubungan bertetangga seperti biasa. Hanya saja ibu dengan tegas menolak segala masakan pemberian Bu Minah meskipun yang ia berikan bukan dideh."

Oleh. Hesti Andyra
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com- Sudah lewat jam lima sore. Aku bergegas merapikan celemek. Tersenyum lebar tanpa sadar. Semua tugas rumah tangga hari ini sudah selesai. Cucian baju yang menumpuk sudah terlipat bersih dan wangi. Pernak pernik rumah tertata rapi. Lantai sudah disapu dan dipel sampai mengilap. Samar-samar tercium aroma segar karbol sirih dari cairan pembersih lantai yang tadi aku gunakan. Masakan untuk hidangan makan malam juga sudah matang, tinggal disiapkan di meja mendekati waktu makan malam nanti.

Dip .. dip .. ponselku berkedip. Sebuah pesan Whatsapp masuk. Rupanya dari Mas Bayu, suamiku tersayang, yang mengabarkan sore ini pulang lebih larut karena ada agenda rapat yang molor tidak sesuai jadwal. Belum sempat kubalas tiba-tiba sebuah pesan lain masuk. Kali ini dari Pandu, putra semata wayang kami. Jadwal les Pandu dimundurkan setengah jam karena baru dua siswa yang hadir di kelas Bimbel, delapan orang lainnya masih terjebak hujan yang turun sejak siang tadi. Untung saja Pandu cepat-cepat menuju tempat lesnya ketika hujan sedikit mereda sepulang sekolah tadi, kalau saja ia lebih lambat berangkat pastilah terjebak hujan juga.

“Sshh,” tanpa sadar aku mendesah perlahan. Kedua orang tercinta ini dipastikan baru kembali pulang selepas Isya’ nanti. Setiap sore aku menanti kepulangan keduanya. Rumah ini terasa kosong tanpa celoteh riang putraku dan lawakan garing suamiku.

Mencoba untuk mengatasi kesepian yang tiba-tiba menyergap, aku memutuskan menyalakan televisi, menonton salah satu program kompetisi masak kesukaanku, Australian Masterchef. Aku menyukai program masak versi Australia ketimbang berbagai versi negara lainnya, termasuk yang lokal. Juri-jurinya tidak berakting kaku atau dibuat-buat, tidak sok galak, dan mampu memberikan saran dengan bahasa yang baik tanpa terkesan menyudutkan atau menghina peserta kontes masak. Serta, yang paling aku tunggu adalah momen plating, menata hidangan dengan cantik di atas piring saji sebelum menuju meja juri. Beberapa tampilan plating pernah aku tirukan dan sukses mengundang pujian dari keluarga kecilku. Biarpun belum pernah mengikuti kursus masak formal, penataan piring sajiku bisa disandingkan dengan foto-foto kuliner yang berseliweran di media sosial. Meski begitu aku menyimpan sendiri keterampilan kecilku ini. Cukup hanya pamer di depan anak dan suami, tak perlu pajang foto yang bisa dilihat semua orang.

Sebagian besar hidangan di kontes memasak ini memang berasal dari bahan makanan nonhalal. Namun, banyak beberapa teknik masak yang bisa dipelajari dan diterapkan pada bahan baku yang halal dan thoyyib. Itulah alasan mengapa acara ini jadi satu-satunya program yang aku tonton, mengingat hampir semua program televisi lainnya tak jauh dari acara ghibah, pamer aurat, dan perilaku hedon. Berhubung acara ini hanya tayang satu kali dalam sepekan, maka TV di rumah kami juga hanya menyala satu kali dalam sepekan. Kami lebih banyak menghabiskan waktu bertukar cerita kejadian sehari-hari yang kami alami. Meski terdengar receh, ini adalah momen yang paling aku rindukan sepanjang hari.

Netraku terpaku pada layar. Menjelang putaran sepuluh besar, salah satu juri yang bernama Jock Zonrillo memberikan tantangan pada peserta untuk mengolah hidangan dari bahan dasar Blood Sausage atau Sosis Darah. Varian sosis berukuran besar yang menggunakan darah dan lemak babi, sapi atau ayam sebagai bahan dasar dan dikemas dalam selongsong usus hewan. Awalnya Blood Sausage adalah salah satu hidangan wajib sarapan pagi bagi penduduk Inggris yang kemudian meluas ke Australia, dan sebagian Eropa, seperti Irlandia dan Skotlandia. Umumnya disajikan di piring dengan roti dan scrambled egg sebagai pelengkap. Kota Bury di Lancaster, Inggris, sangat terkenal akan sosis darah. Demikian juga dengan Kota Clonakilty di County Cork yang mengekspor sosis darah sebagai makanan khas. Di daerah ini sosis darah dikenal juga dengan sebutan Black Pudding.

Seberkas ingatan berkelebat di benakku. Puluhan tahun yang lalu ketika aku baru berusia tujuh tahun, di awal tahun 80-an, aku dan keluarga tinggal di sebuah dusun terpencil di wilayah timur pulau Jawa. Kedua orang tuaku hanyalah buruh tani dengan penghasilan tidak menentu. Sekadar untuk mencukupi kebutuhan pokok sehari-hari. Sampai-sampai ayah jarang sekali pulang, demi menghemat pengeluaran untuk biaya transportasi karena sawah yang digarap ayah berada di dusun lain dan cukup jauh dari tempat kami tinggal saat itu. Meskipun penghasilan kami pas-pasan, ibu selalu berupaya memberikan masakan yang baik untukku dan kedua kakak perempuanku.

Aku ingat betul, di suatu sore yang bergerimis, pintu rumah kecil kami tiba-tiba diketuk. Rupanya tetangga baru depan rumah datang membawa satu rantang besar makanan yang ditutupi kain serbet kotak-kotak warna biru. Tercium aroma gurih dan tampak asap yang masih mengepul dari rantang itu. Aku dan kakak-kakakku kontan menelan ludah. Si tetangga menyerahkan rantang tersebut pada ibu sambil tersenyum manis seraya berpesan supaya kami menghabiskan masakannya, hadiah perkenalan dari tetangga baru.

Semua orang di rumah penasaran, berebut membuka serbet penutup rantang di tangan ibu. Mata kami terbelalak menatap hidangan asing di dalam rantang. Makanan ini berbentuk dadu sebesar tahu dengan warna coklat gelap, mirip seperti hati sapi rebus, namun terasa lebih lembut saat disentuh dengan ujung jariku. Sama sekali tidak terasa sekeras hati sapi masak yang pernah dibawa ibu sepulang rewang di rumah kepala kampung. Hanya saja warnanya tidak tampak menggiurkan. Namun, berkebalikan dengan warna dan bentuknya yang tidak mengundang selera, aromanya sungguh membuat air liur menetes tanpa sadar.

“Apa ini Buk? Kok bentuknya seperti tahu?” Mbak Ayu, kakak nomor dua memberanikan diri bertanya sambil mengendus.

“Ibu juga ndak ngerti, Nduk. Kata Bu Minah tadi namanya dideh.”

“Dideh?” Kami bertiga melongo, saling berpandangan.

“Boleh dicoba nggak, Buk?” Kali ini Mbak Ika, kakak pertama yang bertanya sambil matanya tak henti menatap rantang lekat-lekat.

Ibu tampak ragu-ragu mengangguk. Namun, melihat kami bertiga yang menatap dengan mimik muka memelas mirip kucing kelaparan, mau tak mau ibu terpaksa mengiyakan. Ini adalah kali pertama kami melihat makanan bernama dideh. Jangankan melihat atau merasakan, namanya saja sungguh terdengar asing di telinga.

Setelah ibu memberikan izin, kami bertiga bergegas mengambil nasi dan makan dideh sebagai lauk dengan lahap. Rasanya betul-betul enak. Gurih, empuk dan beraroma seperti ayam rebus. Jauh lebih lezat dari tahu atau tempe, lauk wajib yang kami temui saban hari.

Sejak saat itu kami sering mendapat kiriman dideh dari Bu Minah, tetangga depan rumah. Kata ibu, Bu Minah bekerja di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) dekat pasar. Selain bekerja, di sore hari ia bersama suami dan empat putranya membuat dideh untuk dititip jual di beberapa kios daging di pasar. Kabarnya Bu Minah adalah supplier tetap 10 kios daging. Pantas saja ia sangat murah hati pada kami sekeluarga. Yang ia berikan untuk kami hanya sebagian kecil dari hasil produksinya yang melimpah. Dulu Bu Minah tinggal di dekat RPH. Namun, seiring permintaan yang meningkat, ia membutuhkan rumah yang lebih luas untuk tempat produksi. Itulah mengapa Bu Minah dan keluarganya memutuskan pindah ke dusun kecil kami.

Setiap sore sepulang kerja, Bu Minah membawa sejumlah kantong plastik besar. Jujur kami ingin tahu apa sih yang ada di dalam kantong-kantong itu. Suatu ketika ibu memberanikan diri bertanya, Bu Minah menjawab bahwa kantong itu berisi bahan dasar untuk membuat dideh. Meskipun masih penasaran, tak satu pun dari kami yang cukup berani bertanya apa sebetulnya bahan dasar mirip cairan yang selalu terbungkus kantong plastik hitam itu.

Hingga di suatu sore menjelang Magrib. Aku dan ibu baru saja pulang dari menengok sepetak ladang jagung kami yang terletak di pinggir sungai. Tepat sebelum memasuki pintu rumah, kami berpapasan dengan Bu Minah yang sepertinya baru pulang kerja. Seperti biasa, tangannya dipenuhi beberapa kantung plastik hitam. Tapi tampaknya kali ini kantung yang dibawa Bu Minah terlalu banyak sehingga membuatnya kepayahan. Melihat Bu Minah kesulitan, spontan ibu dan aku berlari ke arahnya dan mencoba membantu membawakan beberapa kantung. Tak dinyana Bu Minah menolak dan merenggut dengan kasar salah satu kantung yang sudah berada di tangan ibu. Akibatnya kantung itu terlepas dari pegangan ibu dan jatuh ke tanah.

Seketika aku dan ibu tertegun. Cairan merah kental kehitaman mengalir keluar dari kantung yang terjatuh. Akhirnya rasa penasaran kami selama ini terjawab. Ternyata kantung itu berisi darah sapi, bahan dasar utama dalam pembuatan dideh, makanan buatan Bu Minah. Tiba-tiba aku merasa mual. Ternyata yang kami makan selama ini, pemberian lauk dari Bu Minah tak lain dan tak bukan adalah darah hewan yang dimasak dengan cara dikukus dengan tambahan berbagai macam rempah untuk menghilangkan aroma amis dan anyirnya.

Belakangan, kami baru tahu ternyata Bu Minah tak hanya menggunakan darah sapi sebagai satu-satunya bahan baku. Demi meningkatkan kapasitas produksi, Bu Minah mencampurnya dengan darah babi dan ayam yang relatif lebih mudah didapat. Darah ayam bisa diperoleh Bu Minah secara gratis dari para peternak ayam potong karena biasanya hanya dibuang, dianggap sebagai limbah.

Setelah kejadian itu kami sekeluarga tetap berhubungan baik dengan Bu Minah sekeluarga, layaknya hubungan bertetangga seperti biasa. Hanya saja ibu dengan tegas menolak segala masakan pemberian Bu Minah meskipun yang ia berikan bukan dideh.

Beberapa bulan selewat kejadian itu, sebuah Rumah Mengaji dibuka di kampung kami. Ibu mendaftarkan aku untuk belajar di sana. Suatu kali, aku memberanikan diri bertanya pada salah satu ustazah tentang boleh tidaknya makan darah hewan. Sebagai jawaban, beliau membacakan penggalan Surat Al-Maidah ayat 3 yang berbunyi, “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai dan darah” Jawaban yang kelak selalu terpatri di benak dan kerap membuatku sedih setiap kali teringat.

Ustazah juga menambahkan asal-muasal mengapa darah dilarang dikonsumsi. Dahulu kala, masyarakat Arab jahiliah menuang darah hewan ternak pada usus lalu membakarnya, kemudian memakannya ketika masak. Allah mengharamkan praktik memakan darah pada era Islam. Seperti yang disampaikan oleh Syekh Wahbah Az-Zuhayli dalam kitabnya Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, “Hikmah penyembelihan hewan adalah penjagaan atas kesehatan manusia secara umum dan penolakan mudharat dari tubuh manusia dengan memisahkan darah dari daging hewan dan menyucikannya dari darah karena mengonsumsi darah yang mengalir hukumnya haram karena membahayakan manusia; karena darah merupakan sarang kuman dan bakteri.”

Dideh atau dikenal juga dengan nama Marus, dan Blood Sausage adalah olahan makanan berbahan dasar sama hanya berbeda kemasan dan negara. Suatu jenis makanan yang terkategori haram menurut syariat Islam. Salah satu syariat yang harus dipatuhi umat Islam tanpa menawar lagi.

Hari itu, di sepertiga malam terakhir, seperti malam-malam yang telah lalu. Setiap kali ingatan itu menyergap benakku, aku kembali bersimpuh. Menangis atas kebodohan dan kesalahan di masa lalu. Memohon ampunan atas ketidaktahuan orang tua dan kedua kakakku. Meminta kemurahan hati sang Khalik agar mengampuni kurangnya tsaqofah kami. Serta senantiasa bersyukur atas ilmu yang telah kupelajari ketika aku mulai dewasa. Ilmu yang semakin menuntunku agar selalu hidup dengan memegang teguh syariat.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Hesti Andyra Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Mengambil Hati Generasi Stroberi
Next
Tragedi Kanjuruhan Fanatik Buta Pembawa Petaka
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle

You cannot copy content of this page

linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram