"Aku masuk ke kamar dan mengunci pintu. Aku sadar diri bahwa aku tak akan menang melawan Ayah. Aku juga paham mendebat orang tua itu tidak sopan. Maka, aku memilih pergi untuk menguatkan diri. Aku tidak mau melepas hidayah ini lagi. Selama ini aku mencari-cari jawaban. Setelah kutemukan, tak akan kulepaskan. Bagaimanapun juga, aku akan berusaha menutup aurat secara sempurna."
Oleh. Keni Rahayu
(Kontributor NarasiPost.Com, Penulis Buku Sebab Perasaan bukan Tuhan)
NarasiPost.Com- "Juara satu, lomba tahfiz tingkat Kabupaten Malang, diberikan kepada ananda Bela Nurul Fatiha,” suara MC membacakan pemenang lomba yang diadakan oleh sebuah lembaga sosial keagamaan. Alhamdulillah, terimakasih ya Allah.
Hai, namaku Bela. Itu nama artisku di sekolah. Kalau di rumah aku dipanggil Lala. Cukup imut untuk anak SMA kelas dua seperti aku. Tapi, aku menyukainya. Jika seseorang memanggilku "Lala", itu artinya ia teman mainku atau teman rumah, bukan kenalan di sekolah.
Sejak kecil, aku belajar di sekolah negeri. Aku tidak pernah belajar agama, secara khusus. Tapi orang tuaku cukup ketat mengajari aku salat dan mengaji. Aku bahkan dipanggilkan guru privat, sampai aku bisa hafal Qur'an 10 juz hingga kini. Tapi sekali lagi, ilmu agamaku stagnan seputar itu itu saja.
Sesekali, aku bertanya pada Mbak Enok, guru privatku. Darinya aku belajar bahwa memakai hijab itu wajib. Aku mulai memakai hijab sejak masuk SMA dan aku tidak lagi buka-pasang. Malu. Seperti aib jika ada teman sekolah yang melihat rambutku. Maka, aku istikamahkan memakai hijab. Tapi aku tak tahu lebih bagaimana seharusnya. Bagiku, celana jeans, kaos lengan pendek, jaket rajut pink kesukaanku dan hijab (tentu saja) adalah OOTD standar jika aku harus keluar rumah.
"Bel, kamu mau gak nulis buku tentang Al-Qur'an? Aku dengar kamu kemarin menang lomba hafalan Qur'an. Juara satu lagi. Selamat ya! Oh iya, kalau kamu mau nulis, nanti kita terbitkan buku solomu itu di penerbit kakakku. Balas segera ya!” sebuah chat di aplikasi Whatsapp masuk. Pesan dari Ranti, teman OSIS di SMP dulu. Kami dulu sering bermain bersama. Sekarang jarang, sebab kami berbeda SMA.
Aku ingat bahwa kakak Ranti adalah seorang penulis. Ia bahkan berkali-kali menerbitkan bukunya. Mungkin itulah yang melandasi pada akhirnya kakak Ranti membuka jasa penerbitan indie. Aku memang ada rencana menulis. Bahkan kutulis di list impianku semasa SD bahwa suatu hari nanti akan ada sebuah buku tertulis namaku di cover depannya. Tapi bagiku itu hanya mimpi, sebab aku tak tahu bagaimana mewujudkannya. Mendapat pesan dari Ranti, tiba-tiba hatiku hangat. Berdegup rasa di hatiku, berdebar. Ada sedikit kebahagiaan mengguyur perasaanku. Aku senang dengan tawaran ini. Aku tidak akan menolaknya.
"Aaaaaa aku mau banget nulis!” balasku pada Ranti.
Aku sadar diri, bahwa aku gak paham agama. Apa yang bisa kutulis jika ilmunya saja aku tak punya. Kubagikan keresahanku pada Mbak Enok. Beliau menyambut baik niatanku belajar agama.
Sebuah flayer digital dikirim ke Whatsapp-ku. "Great Muslimah, Back to Muslim Identity". Begitu judul acara yang tertulis di undangan. Tanpa pikir panjang, aku langsung mengosongkan waktu untuk menghadiri acara itu.
Hari-H
Aku cukup antusias, ah tidak, sangat antusias untuk mengisi minggu pagiku ini. Biasanya aku hanya akan rebahan di kamar sambil baca-baca. Oh iya, aku sangat suka membaca. Banyak buku agama kekinian yang mengajariku banyak hal. Hanya saja, pertanyaan-pertanyaan sering muncul setelah aku membaca buku. Banyak buku yang saling kontradiktif. Tak jarang aku bingung dan memendamnya sendiri. Salah satunya tentang aurat. Aku memahami bahwa menutup aurat adalah sebagaimana yang aku pakai keluar rumah selama ini. Selama tidak terlihat rambut, maka aman.
Aku tidak membuka auratku. Tapi, aku sering bertanya-tanya: jika pakaianku sudah menutup aurat, mengapa ada sebagian muslimah yang selalu memakai gamis? Mereka tidak pernah memakai jenis lain ketika keluar rumah. Seperti Mbak Enok, Ranti dan ibunya. Apa pun acaranya, gamis selalu mengisi playlist OOTD-nya. Hanya berbeda bahan, kadang kaos, kadang katun, kadang brokat. Aku juga bertanya mengapa cadar sering diperdebatkan. Alasannya, tak terlihat muka lah, ini lah, itu lah. Ah, entah. Aku hanya bisa berbaik sangka bahwa Allah akan memberi jawaban padaku nanti di suatu masa.
"La, Mbak Enok sudah datang,” kata Ayah di balik pintu kamarku.
"Iya, Ayah. Lala sudah siap berangkat,” balasku.
"Lala berangkat dulu, Ayah," kutarik lembut tangannya dan kucium.
"Hati-hati ya, Nak,” kata Ayah sembari mengelus kepalaku.
Jrenggggg. Ramaaaaai sekali. Aku sukaaaaa. Wah, begini ya ternyata vibes anak kajian. Selama ini, aku hanya menonton di Youtube. Aku pernah berpikir bahwa belajar Islam mungkin sedikit membosankan. Tapi, kesan pertamaku hadir di acara ini, sepertinya akan sangat menyenangkan. Panitia dan peserta yang hadir ramah-ramah. Ada yel-yel, kuis, dan hadiah buat peserta yang aktif. Ini sama serunya seperti acara Yukngaji yang sering kuikuti di channel YNTV. Aku semakin tak sabar mendengar materi dari kakak pengisi kajiannya.
Bagaimana perasaanku? Setelah mengikuti kajian hampir 2,5 jam ini, perasaanku campur aduk. Aku sangat senang, malu, sedih, marah, gemas. Semua perasaan menjadi satu. Kak Yumna, narasumber kajian kali ini menceritakan bahwa muslimah hari ini sangat jauh dari fitrah. Mereka tidak malu lagi membuka auratnya. Para muslimah hari ini bermudah-mudah bersama lelaki. Ditambah, mereka tidak PD lagi ketika pergi ke forum kajian begini. Ditutup dengan epik bahwa "we have to do something" untuk mengubah ini semua. Sebagaimana judulnya, "back to muslim identity", inilah sebuah jawaban dari segala permasalahan. Noted. Tangki semangatku terisi penuh. Doronganku menulis semakin besar. Tapi aku sadar, aku masih harus banyak belajar.
Di akhir sesi, aku tidak menyia-nyiakan kesempatan. Aku mengutarakan kegundahanku terkait aurat yang selama ini mengusik hati. Kutanya, bagaimana sejatinya menutup aurat bagi muslimah. Mindblowing. Ternyata, di dalam Al-Qur'an, Allah sudah menjelaskan bagaimana pakaian mulia untuk muslimah. Di QS. Al-Ahzab ayat 59, dikatakan "yudnina alayhinna min jalabiibihinna".
"Jalabib adalah jamak dari jilbab," kata Kak Yumna, "jilbab itu jika dicari di kamus besar bahasa Arab, dan melihat kebiasaan orang Arab pada saat ayat itu turun adalah pakaian longgar, tidak terputus, seperti terowongan. Itulah jilbab. Kita kenal hari ini dengan sebutan gamis atau jubah. Jilbab dipakai ketika keluar rumah, menutupi pakaian dalam rumah kita. Jadi, keluar rumah tetap pakai daster (baju harian di rumah) dan jilbab alias gamis. Satu lagi, khimar. Khimar adalah kerudung. Dalilnya ada di surat An-Nur ayat 31. 'khumurihinna ala juyubihinna', kita gunakan khimar alias kerudung ini untuk menutupi dada,” Kak Yumna menjelaskan sambil mengibarkan kerudung di bagian pundak kirinya.
Aku menelan ludah. Selama ini, aku mengira jilbab adalah kerudung. Tapi ternyata beda.
"Ah iya satu lagi," sahut kak Yumna, "Kaki adalah aurat, maka kita wajib menutupnya. Memakai kaos kaki adalah salah satu cara yang bisa kita gunakan untuk melindungi kaki kita dari mata orang asing,” tutup Kak Yumna. Aku menarik napas panjang sekali, tak bisa berkata-kata.
Sampai di rumah, pikiranku tak bisa diam. Aku malu sekali dalam perjalanan dari kajian tadi menuju rumah. Aku merasa ditelanjangi oleh setiap mata yang tak sengaja melihatku. Aku sadar, pakaian yang kugunakan selama ini belum memenuhi standar. Untung saja aku tadi memakai rok. Meski sepan, masih mending daripada aku pakai celana, kan?
Sejak saat itu, aku keluar rumah selalu memakai rok. Setelah kuhitung, rok di lemariku cuma ada tiga. Salah satunya selalu kugunakan saat les privat dengan Mbak Enok. Bahkan saat lomba tahfiz kemarin, aku memakai yang ini. Karena ini satu-satunya yang layak. Kebanyakan penghuni lemariku adalah celana jeans, celana kain, celana legging (Astaghfirullahaladzim). Aku tidak punya gamis satu pun. Kutelusuri di dalam lemari, hanya kutemukan satu. Itu pun sudah pendek di aku sebab itu baju zaman aku masih SMP. Ah, aku mau menabung agar bisa beli gamis.
Ayah mulai bertanya, mengapa aku selalu pakai rok sekarang. Katanya, itu bagus aku bisa melindungi tubuhku dengan kesadaranku sendiri. Ayah tidak ingin memaksaku jika aku tidak ingin melakukannya. Kusambut respons baik Ayah.
"Tapi Ayah, aku juga ingin memakai kaos kaki. Karena ternyata, kaki adalah aurat,” rengekku sedih. Tak diduga, respons ayah berubah. Senyum semringah berganti ekspresi tegang dan curiga.
"Kata siapa harus pakai kaos kaki?" nada bicara ayah mulai tinggi.
"Kata Kak Yumna, Ayah."
"Siapa itu Yumna? Kamu lihat sendiri kan Bu Nyai di kampung yang punya pondok pesantren ribuan itu, santrinya tidak ada yang pakai kaos kaki. Kamu dengar dari mana kaos kaki itu wajib?" nada bicara Ayah semakin tinggi.
"Maaf, Yah. Aku tidak bilang pakai kaos kaki itu wajib. Tapi menutup kaki itu wajib, karena kaki adalah aurat. Salah satunya dengan kaos kaki", jawabku.
"Malah sebenarnya pakai gamis itu wajib, Ayah. Bukan rok seperti ini", imbuhku.
"Apa? Kamu mau pakai gamis? Kamu mau jadi teroris? Jangan-jangan kamu mau pakai cadar juga?", bentak Ayah.
Aku mengalah dan berlalu. Aku masuk ke kamar dan mengunci pintu. Aku sadar diri bahwa aku tak akan menang melawan Ayah. Aku juga paham mendebat orang tua itu tidak sopan. Maka, aku memilih pergi untuk menguatkan diri. Aku tidak mau melepas hidayah ini lagi. Selama ini aku mencari-cari jawaban. Setelah kutemukan, tak akan kulepaskan. Bagaimanapun juga, aku akan berusaha menutup aurat secara sempurna.
Inilah yang mendorong aku untuk menerima tawaran Ranti. Aku sangat tertarik menulis buku islami. Sebab aku selalu merasa bodoh beragama. Aku memang salat, mengaji, hafal Al-Qur'an. Tapi aku tidak paham syariat Allah yang lain. Buktinya, kelas 3 SMA begini, aku baru ngerti bagaimana berpakaian syar'i. Padahal, aku muslim sejak lahir. Selama ini, aku belajar pengetahuan Islam dari buku. Aku sangat berterima kasih pada siapa pun penulis yang telah menyelamatkan kejahilan berpikirku. Itulah mengapa, aku ingin menyelamatkan orang lain, yang mungkin kondisinya sama sepertiku. Semoga tulisanku bisa jadi ladang yang bisa kupanen di akhirat nanti.
Seminggu kemudian, aku hendak hadir di acara kajian serupa. Tapi kali ini pesertanya tidak sebanyak kemarin. Aku diajak oleh Mbak Enok. Tentu saja aku sangat senang. Tapi, sebelum berangkat, Ayah mengetok pintuku. Aku sedikit takut. Sejak saat itu, kami lebih sering diam dan malah canggung. Tak banyak kalimat yang bisa kuucap di hadapan Ayah.
"Ayah mau bicara sebentar,” Ayah membuka percakapan. Aku hanya diam tak berani berkata.
"Maaf jika Ayah menyakitimu, Nak. Ayah hanya memberikan yang terbaik buat kamu. Ayah khawatir kamu jadi kelompok teroris atau semacamnya. Ayah menjagamu betul-betul sampai memanggil guru privat ke rumah.”
Aku hanya diam. Tak mengiyakan maupun mengelak.
"Kamu tahu kan Ayah sayang kamu?"
Aku mengangguk perlahan.
"Kalau begitu, kamu berikan HP-mu ke Ayah ya. Kalau ada yang menghubungimu bisa lewat Ayah dulu, atau dia bisa langsung ke rumah."
Aku kaget. Mataku melotot tidak percaya dengan semua yang dikatakan Ayah. Apa-apaan ini? Aku seperti telah berbuat dosa. Aku bukan sedang ketahuan pacaran atau mencuri. Aku hanya sedang berbenah diri, pergi mengaji. Kajian Islam yang selama ini kunanti-nanti, sekejap saja hilang tanpa restu lelaki yang kucinta ini.
Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki dari arah dapur. Suara itu semakin keras beriring suara laki-laki yang sangat khas. Aku sangat kenal suara itu. "Ayah, mengapa anak mau belajar Islam malah dihalangi? Bukankah ia sedang mencari jalan agar lebih dekat pada pencipta-Nya?" suara lelaki berusia dua tahun lebih tua dariku. Aku semakin terkejut dan refleks setengah berteriak, "Mas Angga?"
Ayah, bisakah langkahku pada akhirnya menggapai impian?
Tamat ~