"Ketika suster bertanya pada Sa'adah, kenapa dia memotivasi Nilam begitu yakin? Sa'adah menjawab dengan senyum terukir indah, bahwa Allah bersama prasangka hamba-Nya. Sa'adah yakin akan luasnya karunia Allah bahwa Nilam memiliki kesempatan sembuh."
Oleh. Afiyah Rasyad
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Netra gadis berwajah ayu itu menangkup nilanya langit. Hatinya tercabik atas penolakan dari seorang ustaz kondang yang begitu dicintainya. Akalnya kusut masai dan surai bersurai dari jiwa yang murni. Lisannya meracau nama-nama yang turut membuat hatinya ditumbuk-tumbuk.
Tak ada kuah lagi yang mengaliri wajah ayunya. Kerontang sudah jiwa mulus yang terperangkap dalam angan yang terlalu sempurna. Di langit itu, ia gantungkan seluruh angan-angan. Namun, salah tempat rupanya, angan-angan itu terjun bebas dalam kenyataan yang begitu menyakitkan.
"Nilam, ayo makan dulu," seorang suster paruh baya membawa nampan.
Gadis yang sejak tadi meratapi akal dan hatinya yang telah surai bersurai menoleh. Mata penuh kebencian memindai wajah suster itu. Nilam bergeming. Dia menatap tajam pada suster yang membawakannya nampan berisi hidangan.
"Makanlah dulu, jika kau tak makan, nanti calon imammu siapa yang akan mengurusi, hm?" Dengan lembut suster itu membawa Nilam ke meja makan.
Sudah lima purnama Nilam dirawat di rumah sakit jiwa ini. Patah hati yang dahsyat menyapanya di saat angannya sedang membumbung tinggi ke angkasa. Segenap rasa percaya diri menyertainya dalam acara suntingan itu. Ya, dia hendak mempersunting seorang ustaz yang diidamkannya sebagai calon imam. Dirinya merenda khayalan begitu indah, hingga akhirnya porak-poranda atas penolakan sang ustaz. Dia pun tertekan dengan tekanan jiwa yang amat dahsyat.
"Dia sudah punya bini, Suster. Tak mau jadi calon imamku. Padahal, aku lebih cantik. Hahahaha," Raut muka Nilam begitu redup dalam tawanya.
Suster Marni tetap sabar menyuapi gadis tak waras di hadapannya. Dia selalu mendengarkan gadis itu dengan sungguh-sungguh agar Nilam merasa dihargai. Sudah berapa kali dia hendak mengakhiri hidupnya hanya karena merasa tak didengarkan. Suster itu sesekali mengelus kepala Nilam yang tertutup kerudung besar.
"Apa yang kau sukai dari ustaz itu, Nilam?" tanya suster.
"Apalagi yang disukai dari seorang ustaz kalau bukan ahli agama? Setiap aku berjumpa di majelisnya, dia menatapku seakan memuja. Dia begitu agam, Suster. Kautahu itu."
Percakapan berakhir saat Nilam telah selesai menyantap hidangannya dan meminum obat. Suster segera membereskan bekas makan Nilam, lalu bergegas keluar. Suster merasa tidak tega dengan kondisi Nilam yang begitu depresi. Selama lima bulan di sini, tak ada keluarga yang menjenguknya, hanya beberapa orang yang mengaku sebagai temannya.
Gadis 22 tahun itu menelan begitu banyak kekecewaan. Sejak kecil dia dituntut sempurna oleh keluarga besarnya. Dia selalu rangking pertama selama dua belas tahun sekolah. Dia pun berhasil kuliah di universitas pilihan ibunya jalur prestasi. Dia tak pernah memikirkan tentang cinta layaknya gadis seusianya. Hingga sidang skripsi, ia didesak oleh orang tuanya untuk menikah. Maka, dia enggan menerima pilihan orang tua, dia berjanji akan mencari sendiri calon imamnya.
Dia menjatuhkan pilihan hatinya pada seorang ustaz yang telah beristri. Ustaz yang berasal dari ibu kota itu sering hadir di kampusnya. Dia memang aktif di lembaga dakwah kampus, sehingga ia sering mengikuti ustaz muda itu berceramah.
Hingga dirinya wisuda, calon imam pilihannya belum memberikan respon atas surat-suratnya. Bahkan, dia pun mengirimi istrinya surat tentang angannya untuk menjadi yang kedua. Angannya terus dia gantung setinggi langit untuk menjadi istri kedua ustaz muda itu. Namun, bagai pungguk merindukan bulan, tak ada sepotong kabar yang ia dapatkan.
Nilam pulang kampung atas permintaan orang tuanya. Dia bekerja di tempat yang dipilihkan ayahnya, tentu saja langsung diterima mengingat sang ayah adalah seorang tokoh di kotanya. Meski ayahnya memperkenalkan dengan seorang ikhwan di tempat kerjanya, angan nilam tetap bergerilya untuk mendapat jawaban dari sang ustaz. Dengan segenap keberanian, dia menghubunginya secara langsung.
"Afwan, ya Ukhti! Saya tidak bisa menduakan Ummu Aqila," jawab ustaz itu tegas.
Sejak saat itu, seluruh angannya runtuh seketika. Akalnya berubah menjadi sumbu pendek. Kewarasannya telah menyingkir dari kehidupannya. Sejak itu, orang tuanya murka dan membuangnya di luar kota. Nasib baik memihaknya, Sa'adah menemukannya berjalan tak tentu arah. Sa'adah adalah teman sekaligus guru kesayangannya, tempat mencurahkan segala isi hatinya.
Segera Sa'adah membawanya pulang. Namun, Nilam ditolak oleh orang tua yang sengaja membuangnya. Sa'adah yang mengetahui duduk persoalan, langsung bermusyawarah dengan suaminya untuk mengantarkan Nilam ke RSJ di kota terdekat. Pihak RSJ menyarankan Nilam untuk rawat inap. Sejak itulah dia menjadi penghuni RSJ.
Sa'adah dan beberapa temannya yang sering mengunjungi Nilam. Selama lima bulan perkembangannya belum ada progres, belum ada tanda dia akan waras. Padahal, suster itu sering menguping Sa'adah dalam memotivasi Nilam agar kembali waras. Terngiang dalam benak suster ketika Sa'adah menjelaskan tentang hakikat hidup.
Manusia, kehidupan, dan alam semesta semua berasal dari proses penciptaan. Allah Swt. menciptakan manusia dengan misi yang jelas, yakni untuk beribadah pada-Nya. Kemudian, kelak jika sudah usai masanya, manusia akan pulang ke alam baka untuk mempertanggungjawabkan amalan. Sa'adah tak henti menyemangati Nilam bahwa ditolaknya dia oleh ustaz bukanlah akhir kehidupan. Nilam masih sangat layak mendapatkan predikat takwa.
Ketika suster bertanya pada Sa'adah, kenapa dia memotivasi Nilam begitu yakin? Sa'adah menjawab dengan senyum terukir indah, bahwa Allah bersama prasangka hamba-Nya. Sa'adah yakin akan luasnya karunia Allah bahwa Nilam memiliki kesempatan sembuh.
Baru kali ini suster menjumpai orang jauh, bukan handai taulan, namun begitu murni kasih sayangnya. Kasih Sa'adah pada Nilam tampak suci tak berharap balas budi. Porak-porandanya kewarasan Nilam tak menjadikan Sa'adah meninggalkannya. Justru, dia membawa kesabaran yang tak terbatas dalam memotivasi Nilam. Suter hanya berharap, Nilam si gadis berparas ayu segera waras.[]